Ini adalah pengalaman kehamilan pertama yang saya alami ketika tinggal di Jepang. Berjuang hanya bersama suami hingga melahirkan.
Sudah 1 tahun lebih setelah pernikahan tapi masih belum ada tanda-tanda hadirnya si buah hati. Namun, menjelang 2 tahun pernikahan, hari itu saya iseng untuk test pack padahal baru telat sehari. Yang saya pikir, ‘ah… sepertinya bakal negatif lagi nih hasilnya’, tapi setelah melihat hasilnya, masya Allah tidak tahu bagaimana rasanya melihat 2 garis dengan jelas tanpa samar-samar.
Dengan gemetar memegang hasil test pack, masih berasa kurang percaya campur senang. Pagi itu segera ambil air wudhu, sholat subuh, setelahnya saya langsung sujud syukur. Alhamdulillah… Ya Allah. Akhirnya diberi amanah juga untuk mempunyai anak.
Saking senangnya campur kurang percaya, saya test pack sampai 2 kali (kebetulan punya stok test pack dari Indonesia yang dibawakan teman saat main ke Jepang).
Artikel terkait: “Perjuangan Hamil dan Melahirkan Versi Aku, Si Penderita Penyakit Takikardia”
Dua kali tes hasilnya tetap sama, garis dua. Rencana ingin memberikan kejutan buat suami yang kala itu sedang dinas malam. Namun, gagal. Respon suami pastinya sangat senang mendengar berita ini, dan untuk lebih meyakinkan saya membeli test pack made in Japan, dan ternyata hasilnya sama.
Hari itu juga saya diantar suami pergi ke rumah sakit kandungan untuk cek kehamilan saya. Setelah tiba di rumah sakit, saya menanyakan pihak rumah sakit apakah ada dokter perempuan untuk memeriksakan kandungan. Kebetulan hari itu dan jam segitu ada dokter perempuan, Alhamdulillah lega rasanya, tinggal di luar negeri yang susah untuk mendapatkan dokter perempuan muslim tapi tetap saya sebagai muslimah berusaha mencari yang sesama perempuan.
Dan menurut dokter, kantung janin saia belum terlihat dengan jelas, wajar karena usia kandungan saya saat itu masih 4 minggu. Dokter menyuruh untuk datang kembali seminggu kemudian. Setelah seminggu saya datang lagi ke rumah sakit dan Alhamdulillah kantung janin mulai agak membesar dibanding minggu lalu, dokter menyuruh saya untuk datang lagi setelah 2 minggu.
Pengalaman Kehamilan Pertama: Diberi Fasilitas Memadai di Jepang
Setelah saya datang kembali, Alhamdulillah lagi janin sudah terlihat dan usia kandungan saat itu sudah 8 mingguan. Dokter menyuruh saya untuk pergi ke kantor macam kecamatan/kelurahan kalo di Indonesia, untuk meminta buku ibu dan anak, dan buku ini akan terus dipakai saat periksa kehamilan dan melahirkan.
Bukan hanya buku ibu dan anak saja yang akan diberikan oleh pihak kecamatan/kelurahan, tapi juga kupon yang digunakan untuk periksa kehamilan. Karena dengan menggunakan kupon tersebut, biaya yang dikeluarkan saat periksa hanya sedikit bahkan gratis tidak bayar sama sekali. Memang sudah menjadi aturan di Jepang untuk yang sedang hamil. Kita pun mendapat tunjangan melahirkan dari pemerintah. Karena kalau enggak, bisa mahal banget.
Trimester pertama, masya Allah nikmatnya, mual muntah, enggak bisa banyak melakukan banyak hal, hanya bisa rebahan di tempat tidur, mual muntah berlebih, berat badan turun drastis. Tapi alhamdulillah bayi dalam kandungan sehat-sehat saja, dokter memberikan obat anti mual agar mual-muntah sedikit mereda.
Artikel terkait: Ingin Sukses Menyusui? Ini 4 Hal Penting yang Perlu Busui Ketahui
Trimester kedua, Alhamdulillah sudah mulai seperti biasa, makan enak, bisa melakukan aktivitas lagi. Dan bahkan saya bisa jadi guide mamah beserta adik perempuan saya jalan-jalan. Kebetulan saat usia kandungan memasuki 4 bulan, mamah dan adik berkunjung ke Jepang selama 1 bulan buat nengokin anaknya plus berlibur. Saat itu, di Jepang sedang musim gugur.
Yang saat trimester pertama, suami yang selalu masak tapi ketika mamah ada, mamahlah yang selalu memasakan.
Memasuki trimester ketiga, ada sedikit problem sehingga dokter memberikan obat, karena saat itu saya sering merasakan kontraksi yang dikhawatirkan bisa sebabkan kelahiran prematur. Saya meminum obat penguat kandungan sampai sekitar usia kandungan 38 minggu. Dan Alhamdulillah bayi di kandungan sehat dan baik-baik saja. Posisi bayi pun sudah berada di bawah sejak memasuki trimester tiga.
Pak Suami selalu menemani istrinya untuk periksa kehamilan, tidak pernah absen untuk mengantarkan ke rumah sakit. Dia juga selalu menemani saya untuk berjalan kaki, senam hamil di rumah. Berterima kasih dan bersyukur sekali selalu diperhatikan.
Menjelang Melahirkan…
Di Usia kehamilan 38 minggu sudah mulai pembukaan 1. Saya pikir dengan banyak berjalan kaki bisa cepat ke pembukaan selanjutnya, dan juga saya pikir minggu–minggu itu kemungkinan melahirkan. Tetapi sampai seminggu setelahnya, masih saja pembukaan 1, saya pun lebih banyak lagi berjalan kaki. Saat itu musim semi, seminggu sebelum melahirkan suami mengajak saya untuk jalan–jalan pagi sambil menikmati bunga sakura yang sudah mekar sekalian berfoto ria ,hehehe.
Sampai mendekati HPL masih belum juga terasa mulas, belum ada tanda–tanda akan melahirkan. Lagi–lagi hanya braxton hicks (kontraksi palsu). Dan akhirnya sehari sebelum HPL (Minggu, 14 April 2019) pagi–pagi sekitar pukul 06.00 ketika ingin buang air kecil terdapat darah keluar. Pak Suami langsung menelpon rumah sakit memberitahuan kondisi saya, tapi pihak rumah sakit menyuruh untuk menghitung frekuensi rasa mules dan menyuruh untuk ke rumah sakit kalau sudah mulas 10 menit sekali.
Artikel terkait: Pengalaman Anemia Saat Melahirkan, Mendadak Tidak Bisa Melihat hingga Pingsan
Saat itu mulas saya baru 30 menit sekali. Siang harinya saya sempat ke mal bareng suami dan teman sembari menunggu rasa mulas. Malam harinya saya mulai merasakan kontraksi yang konsisten dan benar–benar mulas 15 menit sekali. Suami dengan rajinnya menghitung kapan saya mulas, berapa menit sekali saya mulas. Setelah mencoba menelpon rumah sakit lagi, saya pergi ke rumah sakit sekitar pukul 22.00. Dan pembukaan sudah pada pembukaan 3. Lama juga,ya, dari pembukaan 1 sampai pembukaan 3, butuh berminggu–minggu .
Meskipun sudah pembukaan tiga dan setelah menghitung frekuensi kontraksi, dokter menyuruh saya untuk pulang saja dahulu karena kemungkinan lahiran mungkin keesokan harinya. Lalu saya pun pulang, tapi baru saja sampai depan rumah, ini mulas rasanya bener–benar tak tahan. Tapi apa boleh buat, di rumah berdua saja dengan suami yang masih tetap rajin menghitung frekuensi kontraksi saya sampai mulas terasa tiap 10 menit sekali bahkan kurang dari 10 menit. Dan 2 jam berlalu menahan rasa mulas akhirnya kembali ke rumah sakit sekitar pukul 03.00 dini hari.
Setelah diperiksa ternyata sudah pembukaan 6. Masya Allah… istimewa sakitnya kontraksi. Saya salut ke suami yang dengan sabar menuntun dan mendukung istrinya yang sedang kesakitan. Hanya dengan ditemani suami. Karena yang awalnya berencana untuk mengundang keluarga datang ke Jepang tapi akhirnya tidak jadi dan suami meyakinkan bahwa kita berdua bisa melaluinya.
Detik-detik Persalinan
Di saat kontraksi mulai terasa, suami terkena tendangan maut dari istrinya, hehehe, bukan hanya itu, cubitan dan pukulan pun dirasakan suami, bahkan dia pun merasakan bagaimana rasanya air ketuban yang keluar yang mengenai tangannya.
Tidak cukup sekali dia menangis melihat istrinya berjuang dan menjerit kesakitan. Saat – saat itu benar – benar jeritan yang saya keluarkan sekerasnya semasa hidup saya,hehehe. Perawat dan Bidan pun sudah sabar sekali terkena bawelan dan omelan saya waktu itu. Padahal saya terbilang pendiam tapi saat itu mendadak jadi bawel banget.
Di ruang persalinan, suami saya membantu bidan memegangi kaki saya dalam proses melahirkan. Dokter hanya mandorin saja. Oh ya lupa, bersyukur sekali hari itu dokter yang jaga adalah dokter perempuan. Padahal, seisi ruangan dipenuhi petugas perempuan semua, perawat, bidan, dokter tapi saya tetap konsisten dengan kerudung saya, karena ketika masih belum di pindah ke ruang bersalin saya berjaga–jaga siapa tahu ada petugas atau dokter laki–laki.
Akhirnya… Berhasil Melahirkan Bayi Perempuan
Berjam-jam dede bayi belum kunjung juga keluar. Dan Alhamdulillah dengan support suami dan semangat dari suami, tepat di hari itu adalah HPL saya yang menurut hasil riset American Academy of Pediatrics menyebutkan hanya 5 persen wanita yang melahirkan sesuai HPL.
Dengan berat sebesar 3253 gram dan panjang 49,2 cm, pukul 12.13 siang hari lahirlah seorang bayi perempuan dengan selamat . Waaah… persalinan yang cukup panjang dan melelahkan. Saat itu sempat–sempatnya saya merasakan kantuk dan hampir saja ketiduran, tapi kalah dengan rasa sakit yang saya rasakan, hehehe. Alhamdulillah saya melahirkan normal.
Alhamdulillah lega, plus bahagia yang saya rasakan, begitu juga dengan suami yang setia menemani sampai istrinya melahirkan. Kita berdua menangis bahagia ketika bidan meletakan bayi dalam dekapan. Alhamdulillah sudah menjadi Ibu dan saya pun sudah bisa mengASIhi bayi perempuan saya beberapa jam setelah melahirkan.
Di Jepang, setelah melahirkan, saya dirawat selama kurang lebih 5-6 hari kalau melahirkan normal dan kondisi ibu dan bayi sehat. Berbeda lagi kalau melahirkan SC bisa lebih dari seminggu.
Pengalaman Kehamilan Pertama dan Kedua Tidak Ditemani Keluarga
Mengurus dan merawat newborn berdua saja dengan suami di negeri orang lumayan melelahkan. Apalagi anak pertama, yang mungkin butuh adaptasi dan ilmu bagaimana merawat bayi.
Tapi Alhamdulillah kami bisa melewati semuanya. Sampai sekarang, anak saya sudah mau berusia 2 tahun. Dan Alhamdulillah saya sedang hamil anak kedua menginjak usia kandungan 8 bulan.
Lagi-lagi tanpa bantuan dari keluarga ketika trimester pertama mengalami mual-muntah hebat dan mengharuskan saya harus dirawat di rumah sakit. Anak pertama saya titipkan ke teman ketika suami bekerja. Peran teman ketika berada di luar negeri dianggap seperti pengganti keluarga.
Itulah pengalaman kehamilan pertama saya saat tinggal di Jepang. Rencana akan mengundang keluarga ke Jepang untuk menemani anak pertama ketika saya melahirkan nanti pun gagal karena terhalang pandemi. Saya berharap semoga bisa berjalan dengan lancar dan normal ketika melahirkan nanti. Begitu juga dalam mengurus balita sekaligus bayi.
***
Ditulis oleh Bunda Yani Oktafyani.
Baca juga:
Harus Tinggal Terpisah dengan Anak, Inilah Kisahku Sebagai Seorang Ibu
Mengalami Hipospadia, Anakku Harus Dioperasi Saat Usianya Masih 8 Bulan