Halo, Parents. Aku mau sedikit bercerita tentang momen tak terlupakan saat melahirkan yang kulalui bersama suamiku.
Sabtu, 16 Maret 2019, pukul 05.30 pagi, setelah solat subuh tiba-tiba ada air mengalir di pahaku. Aku kaget karena aku pikir ketubanku pecah. Saat itu juga aku minta antar ke klinik bersalin dengan suamiku.
Sesampainya di sana aku langsung menceritakan semuanya ke bidan yang sedang berjaga. Aku dan suami diminta untuk ke ruang observasi untuk dicek bukaan dan CTG. Ternyata, aku masih bukaan 1 dan hasil CTG normal. Bidan menyarankan untuk sering melakukan senam hamil di rumah dan sering berjalan kaki. Senang rasanya sudah bukaan satu, yang artinya sedikit lagi aku bisa bertemu dengan buah hatiku.
Setiap pagi aku rutin jalan kaki keliling area rumah dan melakukan senam hamil, tetapi masih belum kunjung merasakan kontraksi. Aku curhat ke suamiku tentang perasaanku yang sedikit khawatir takut enggak bisa lahiran normal.
Semua sudah aku lakukan dan hasil nya tetap nihil. Tiba-tiba suamiku bilang “kayanya ada yang kelewat deh, coba kita praktek lagi proses pembuatan dedeknya.” hmmm mungkin bisa kita coba. Aku ingat apa kata dokter kandunganku, “berhubungan badan” juga bisa merangsang kontraksi.
Momen Tak Terlupakan Saat Melahirkan yang Aku Lalui
Rabu, 19 September 2019, pukul 07.10 pagi, tiba-tiba aku merasakan kontraksi. Tanpa basa-basi aku minta antar ke klinik bersalin lagi dengan suamiku. Di sana aku langsung bilang ke bidan kalau aku sudah merasakan kontraksi.
Bidannya menjelaskan ke aku kalau kontraksi itu ada dua, Brixton Hicks (kontraksi palsu) dan Kontraksi Asli. Aku dan suami diminta ke ruang observasi. Sekitar 15 menit aku menunggu karena kebetulan hari itu ada dua orang yang melahirkan.
Akhirnya, bidan datang dan cek bukaan. Hasilnya masih stuck di bukaan satu. Aku sedikit kecewa, untungnya suamiku selalu menyemangati aku dan dia percaya hari ini pasti kita ketemu sama buah hati kita.
Artikel terkait: Perjalanan Kehamilan Pertama yang Diterpa Duka, Ibuku Meninggal Dunia
Sebelum pulang, aku dan suami mampir ke warteg dulu untuk beli lauk. Ketika aku turun dari motor, celanaku basah banget.
Suamiku kaget, “Kamu pipis di celana, ya?”
Aku spontan jawab, “Hah? Enggak, kok.”
“Ya sudah, kamu tunggu di motor aja, biar aku yang beli lauk sebentar.”
Sesampainya di rumah, aku langsung buru-buru ke kamar mandi dan ganti pakaian. Setelah solat dzuhur kontraksi mulai datang lagi, tetapi kali ini rasanya sedikit lebih kuat dari yang sebelumnya.
Aku masih bisa bercanda sama suamiku. Aku masih bisa ketawa terbahak-bahak nonton stand up comedy. Aku masih bisa beraktifitas seperti biasa. Rasanya kurang lebih seperti nyeri menstruasi.
Balik Lagi ke Klinik Bersalin
Hingga pada akhirnya, pukul 05.00 sore kontraksinya semakin sakit dan aku cuma bisa merintih kesakitan di kamar tidur sambil tarik baju suami dan cubit tangannya. Selesai salat maghrib, aku dan suami balik lagi ke klinik bersalin karena aku ngerasa ada sensasi ngeden gitu. Untungnya pada saat itu jalanan lumayan sepi jadi cepat sampai ke kliniknya.
Di sana aku langsung buru-buru dibawa ke ruang bersalin. Bidan cek tensi darah dan suruh aku untuk cek urin. Setelah selesai itu semua aku langsung dicek bukaan lagi, hasilnya aku sudah bukaan 5. Sambil nunggu, aku inisiatif untuk bolak balik jalan menyusuri ruangan bersalin.
Pukul 09.00 malam kontraksinya makin sakit banget, saking sakitnya aku sampe ngeden padahal itu dilarang banget sama dokter dan bidan karna bisa bikin robekan di area perineum sedikit besar.
Bidan cek kondisiku karna aku kelihatan pucat banget. Jujur aja rasanya itu nano-nano, dalam hati seneng banget one step closer ketemu anak pertamaku, tetapi disisi lain badanku sakit banget + menggigil. Entah kenapa aku bisa sampe kedinginan padahal AC di situ udah dimatiin dan aku pake sweater.
Artikel terkait: Hanya Ditemani Suami, Inilah Pengalaman Kehamilan Pertamaku di Jepang
Detik-detik Melahirkan
Mamaku yang awalnya masih semangatin aku jadi keikut nangis karena nggak tega liat aku nahan sakit. Setelah bidan cek bukaan ternyata hampir bukaan lengkap! Yang tadinya aku lemes gak berdaya tiba-tiba berubah 180 derajat jadi semangat menggebu-gebu.
Selagi para bidan mempersiapkan alat tempurnya, aku dan suami saling menyemangati satu sama lain. Tiba saatnya bidan memberi aba-aba untuk ngeden saat mules.
“Bu, udah mules belum, Bu?”
Aku jawab, “UDAHHHHH.”
“Ayok bu, tarik napas pelan-pelan, ngeden.”
“Ayok lagi’ bu, tarik nafas lagi, ngeden.”
“Masha Allah, pinter banget, ayok bu sekali lagi ngeden bu, rambut dedek nya udah keliatan.”
“Alhamdulillah…”
Artikel terkait: Pengalaman Anemia Saat Melahirkan, Mendadak Tidak Bisa Melihat hingga Pingsan
Pukul 09.36 malam, lahir malaikat kecilku, dengan berat badan 3.300 gram dan panjang 48,8 cm. Lega banget rasanya. Aku pikir selesai sudah perjuanganku, ternyata belum. Aku harus “dibersihkan” dulu plasentanya + dijahit bagian perineumnya. Nikmat Tuhan mana lagi yang aku dustakan.
“Mbak, ini berapa jahitan, ya?”
“Sedikit kok, Bu.”
Sedikit, sih, iya. Ngilu+sakit+perihnya itu lho yang aku gak bisa tahan. Setelah jahit menjahit selesai, suamiku diminta untuk mengadzankan anakku. Selesai diadzananin, anakku nangis kencang banget.
Rasa ngantuk pun datang, aku memejamkan mata sebentar, tiba-tiba bidan nya marah.
“Ibu gak boleh tidur dulu, tunggu 2 jam baru boleh tidur.”
“Emangnya kenapa, Mba?”
Suamiku langsung nenangin “Pamali sayang, supaya gak kebawa kamunya.”
Emang bener, ya?
Perjuangan Berat yang Melahirkan Kebahagiaan
Sakit dan nyeri yang aku rasain mungkin gak sebanding sama kesabaran suamiku, mamaku dan mbak bidan yang harus berhadapan sama aku pas lagi ganas-ganasnya.
Untuk suamiku, terima kasih sudah merelakan baju kesayangannya sobek, tangan kanannya luka karena aku cakar dan rambut nya sedikit rontok karena aku jambak.
Untuk mamaku, terima kasih ya Ma atas semangat dan doa nya. Berkat itu semuanya berjalan dengan lancar. Dan mbak bidan, terima kasih sudah sabar dan telaten banget ngadepin pasien kaya aku. Aku gak kebayang jadi mereka capeknya kayak apa yang harus berhadapan dengan ibu-ibu hamil menjelang melahirkan setiap hari.
Tiada perbedaan proses persalinan normal maupun SC, karena dua-duanya cuma satu taruhannya, yaitu nyawa. Untuk semua perempuan di dunia ini, apa pun itu profesi kalian, dari ibu rumah tangga, dokter, bidan, polisi, dan sebagainya, kalian hebat!
Demikian sepercik momen tak terlupakan saat melahirkan yang aku alami. Semoga bisa diambil apa-apa yang bermanfaatnya. Terima kasih, Parents!
***
Pengalaman ini ditulis oleh Bunda Debbie Jasika.
Baca juga:
Parents, Ini Alasan Mengapa Kebiasaan Membandingkan Anak Harus Dihentikan
Menanti Kehadiran Buah Hati Selama 3 Tahun, Ternyata Ini Rasanya Menjadi Ibu
"Jadi Omongan Orang, Masalah Kesuburan, hingga Keguguran," Itulah Perjuanganku Mendapat Momongan