Intimidasi terhadap korban pelecehan seksual masih terus terjadi. Baru-baru ini netizen dihebohkan dengan tersebarnya video penganiayaan anak di bawah umur yang menjadi korban pemerkosaan.
Peristiwa menyayat hati menimpa seorang gadis berusia 13 tahun di Malang. Video direkam oleh pelaku yang menganiayanya beramai-ramai. Korban juga diperkosa oleh tersangka yang merupakan tetangganya sendiri.
Kejadian bermula saat korban (HN) mendapat pesan dari tersangka (Y) untuk bertemu dan berjalan-jalan. Korban diajak mampir ke rumah tersangka dengan dalih beristirahat.
Di rumah itu, tersangka justru memperkosa HN. Korban yang masih duduk di sekolah dasar itu diikat dan diancam menggunakan pisau. Usai memerkosa, istri pelaku datang memergoki tersangka. Bukannya menolong, istri pelaku justru mengintimidasi korban dengan sebutan pelakor.
Tak berapa lama, korban dijemput oleh 8 orang yang diduga suruhan istri Y yang kemudian menganiaya HN. Mirisnya, tersangka merupakan teman-teman sebaya korban. Atas peristiwa tersebut, korban mengalami luka fisik dan mental yang sulit disembuhkan.
Peristiwa yang menimpa HN menunjukkan masih maraknya intimasi terhadap korban pelecehan seksual. Sebenarnya apa penyebab korban pelecehan seksual mendapatkan intimidasi? Bagaimana penegakkan hukum pelecehan seksual di Indonesia.
Artikel Terkait: Anak 13 Tahun Dianiaya setelah Diperkosa, Korban Alami Luka Fisik dan Mental!
Korban pelecehan Seksual Sering Mendapat Intimidasi
Sumber: unsplash
Korban pelecehan seksual harus menanggung beban berlipat ganda. Trauma yang teramat parah setelah menjadi korban pelecehan seksual menjadi salah satu beban terberatnya.
Melansir laman Deutsche Welle Indonesia, korban pelecehan seksual kerap mendapatkan intimidasi oleh masyarakat sekitarnya, dipermalukan oleh teman-temannya, bahkan mendapat penghakiman sebagai orang yang tidak benar.
Tradisi masyarakat yang masih saja memandang korban juga bersalah menjadi salah satu penyebab intimidasi. Selain itu, sebagian besar masyarakat juga menganggap korban pelecehan seksual sebagai aib.
Bukannya merangkulnya, justru mengucilkannya. Ada Beberapa hal terkait intimidasi terhadap korban pelecehan seksual, di antaranya:
1. Victim Blaming Menjadi Penyebab Utama Intimidasi terhadap Korban Pelecehan
Masih banyak yang berpendapat bahwa pelecehan seksual merupakan salah korban. Setelah korban dilecehkan, orang-orang justru mempertanyakan alasan korban datang ke lokasi kejadian.
Mereka juga menyoroti cara berpakaian korban yang dianggap terlalu seksi. Pakaian yang terbuka dianggap sebagai penyebab terjadinya pelecehan.
Bahkan pelecehan yang dialami korban dianggap terjadi karena kelalaian korban sendiri yang tidak bisa menjaga diri. Padahal, pelecehan seksual terjadi murni dari niat jahat pelaku.
2. Dianggap sebagai Aib
Korban pelecehan seksual sering kali dianggap sebagai aib yang harus disimpan rapat-rapat oleh keluarga sekitarnya. Keluarga takut dengan anggapan masyarakat bila tahu korban sudah tidak perawan lagi.
Bukannya melaporkan, korban akhirnya memilih memendam pelecehan yang dialaminya.
3. Sering Menjadi Bumerang bagi Pelapor
Sumber: unsplash
Tidak semudah itu melaporkan pelecehan seksual. Perlu penguatan mental sebelum seseorang memutuskan pelecehan seksual yang dialaminya. Bahkan, melaporkan pelecehan seksual justru bisa menjadi bumerang bagi korban, ia harus menerima intimidasi, teror dari pendukung pelaku, cemoohan dari orang terdekat, bahkan pengasingan.
Artikel Terkait: Tragis! Guru lakukan pelecehan seksual pada muridnya hingga depresi
4. Korban Ketimpangan Relasi Kuasa
Hal ini sering kali terjadi saat pelaku merupakan orang yang berkuasa dan berpengaruh dalam masyarakat. Korban tidak tahu harus meminta pertolongan ke mana. Saat pelaku merupakan orang yang berpengaruh, pelecehan yang menimpa korban justru dianggap suka sama suka.
Alih-alih menyalahkan, yang paling dibutuhkan korban adalah dukungan dan motivasi yang menguatkan mentalnya.
Lemahnya Penegakkan Hukum Pelecehan Seksual di Indonesia
Sumber: unsplash
Semua pihak yang membela korban pelecehan seksual tentu mengharapkan hukuman yang setimpal bagi pelaku. Namun, sayangnya hukum di Indonesia terbilang masih sangat ringan untuk pelaku pelecehan seksual.
Istilah pelecehan seksual bahkan tidak ditemukan dalam hukum positif kita, terlebih di KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) hanya mengenal istilah perbuatan cabul.
Perbuatan cabul dalam KUHP diatur dalam Buku Kedua tentang Kejahatan, Bab XIV tentang Kejahatan Kesusilaan (Pasal 281 sampai Pasal 303). Perbuatan tersebut diartikan sebagai segala perbuatan yang dianggap melanggar kesopanan/kesusilaan dapat dimasukkan sebagai perbuatan cabul.
Misalnya, perbuatan cabul yang dilakukan laki-laki atau perempuan yang telah kawin (Pasal 284), perkosaan (Pasal 285), atau membujuk berbuat cabul orang yang masih belum dewasa (Pasal 293). Pelaku pelecehan seksual di Indonesia dapat dijerat dengan pasal pencabulan Pasal 289 hingga Pasal 296 KUHP dengan hukuman paling lama 5 tahun penjara.
Artikel Terkait: Pelecehan Seksual Anak Membuat Masa Depan Hancur Sebelum Dimulai
Lebih khusus lagi, pelaku pemerkosaan terhadap anak dapat dijerat dengan undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, penjatuhan sanksi pidana berupa pidana penjara dengan penambahan maksimum umum pidana penjara adalah 15 tahun dan minimum khusus 3 tahun. Selain itu, diancam denda paling banyak Rp300.000.000,00 dan paling sedikit Rp60.000.000,00.
Pemikiran salah masyarakat yang masih terus menyalahkan korban menjadi faktor utama maraknya intimidasi terhadap korban pelecehan seksual. Padahal yang paling mereka butuhkan adalah dukungan dan perlindungan. Jadilah masyarakat yang melindungi korban, bukannya malah menghakiminya!
Baca Juga:
Cara mendeteksi anak mengalami pelecehan seksual, cacat ya!
Bagaimana Menjauhkan si Buah Hati dari Pelecehan Seksual?
Dituduh Lakukan Pelecehan Seksual, Ini Bantahan Gofar Hilman
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.