Parents, pernah mendengar istilah internalizing behavior sebelumnya? Gangguan perilaku ini juga bisa dialami anak-anak. Bagaimana gejalanya dan cara mengatasinya? Yuk, simak lebih lanjut di artikel ini.
Ketika memikirkan tentang perilaku negatif atau berbahaya, biasanya kita membayangkan tindakan yang kasar, agresif, atau merusak yang ditujukan kepada orang lain. Apa yang tidak disadari banyak orang adalah bahwa gangguan emosi dan masalah kesehatan mental sebenarnya dapat menyebabkan pengidapnya menyerang diri sendiri.
Sering Disembunyikan, Internalizing Behavior Justru Berbahaya
Gangguan internalizing behavior merupakan reaksi seseorang terhadap stres dan emosi negatif yang dapat merusak diri sendiri dan sering kali disembunyikan. Oleh sebab itu, perilaku ini tidak mudah dikenali seperti bentuk-bentuk perilaku eksternalisasi (tindakan merusak yang ditujukan kepada orang lain atau benda).
Gangguan emosi yang tidak terlihat seperti ini bukan berarti dampak kerusakannya lebih sedikit. Faktanya, penelitian menunjukkan bahwa perilaku seperti itu yang terjadi terus-menerus dapat menyebabkan kerusakan serius pada kesehatan mental, harga diri, dan hubungan seseorang secara keseluruhan.
Kesulitan Mengendalikan Emosi
Banyak anak dan remaja yang bergumul dengan pengendalian diri. Ini berarti mereka kesulitan mengendalikan emosi dan reaksi impulsif mereka.
Contoh umum yang sering kita jumpai adalah seorang balita melempar barang di toko karena ayah atau ibunya menolak untuk memberikan apa yang dia inginkan. Saat mengamuk, balita mungkin akan berteriak dengan keras, menghentak-hentakkan kakinya, dan bahkan melempar barang.
Perilaku ini biasanya terjadi pada anak berusia di bawah tiga tahun. Sebagian orangtua menganggapnya dapat diterima dan tidak terlalu mengkhawatirkan. Namun, lain cerita jika situasi tersebut terjadi pada anak berusia dua belas tahun. Pada usia tersebut, orangtua mengharapkan anak lebih dapat mengendalikan emosinya.
Meski tidak normal, banyak anak (yang tumbuh menjadi orang dewasa) yang harus terus berjuang untuk bisa mengendalikan diri sendiri. Ini menghasilkan perilaku negatif.
Perbedaan Externalizing dan Internalizing Behavior
Gejala Externalizing Behavior pada Anak
Beberapa dari tindakan ini, seperti yang disebutkan di atas, contoh adalah externalizing behavior. Perilaku ini ditujukan ke luar individu, baik kepada orang lain maupun lingkungan.
- Agresi verbal ekstrim (kehilangan kesabaran).
- Agresi fisik terhadap orang lain atau hewan.
- Menghancurkan benda-benda.
- Mencuri.
- Sengaja membakar benda.
Meskipun ’emosi negatif’ seperti kemarahan sebenarnya merupakan respons normal terhadap stres, reaksi yang diproyeksikan secara lahiriahlah yang menunjukkan bahwa seseorang memiliki masalah dengan pengendalian diri. Banyak orang yang menunjukkan externalizing behavior sering kali didiagnosis dengan satu (atau lebih) dari gangguan berikut:
Gejala Internalizing Behavior pada Anak
- Menarik diri dari Pergaulan.
- Merasa sedih.
- Merasa kesepian.
- Menjadi gugup atau mudah tersinggung.
- Tidak mau berbicara.
- Sakit kepala, sakit perut, dan gejala fisik lainnya yang tidak berhubungan dengan penyakit fisik apa pun.
- Mengalami masalah konsentrasi.
- Merasa takut.
- Merasa tidak dicintai atau tidak diinginkan.
- Tidur lebih lama atau lebih sedikit dari biasanya.
- Makan lebih banyak atau lebih sedikit dari biasanya
Perilaku ini mirip dengan anak-anak yang mengalami depresi tetapi tidak selalu berarti anak Anda mengalami depresi.
Gangguan Internalizing Behavior Biasanya Muncul dalam 4 Gejala Dasar
- Depresi: Gangguan mood yang umum tapi sangat serius, depresi, juga dikenal sebagai gangguan depresi mayor (depresi klinis).
- Gangguan kecemasan: Untuk anak dengan gangguan kecemasan yang serius, internalizing behavior bisa menjadi masalah yang serius. Sayangnya, kecemasan itu tidak kunjung hilang dan juga bisa memburuk seiring berjalannya waktu.
- Menarik diri dari lingkungan (asosial): Mekanisme untuk mengatasi emosi negatif yang umum bagi mereka yang mengalami stres yang berat.
- Masalah somatik (fisik): Gejala terakhir yang sering muncul dari internalizing behavior adalah melalui Somatic Symptom Disorder (SSD). SSD muncul sebagai gejala fisik tanpa penyebab yang mendasarinya. Ini ditandai dengan nyeri, masalah neurologis, dan masalah perut (keluhan gastrointestinal) serta gejala seksual.
Kapan Parents Harus Mencari Bantuan?
Lantaran sifat tenang dari gejala internalizing behavior, anak-anak mungkin tidak mendapat pengobatan secepat mereka yang memiliki gejala yang lebih mengganggu atau externalizing behavior.
Faktanya, karena mereka sering mengganggu dan terlihat oleh orang lain di sekitar mereka, gejala externalizing behavior pada anak-anak mendapat lebih banyak perhatian dan penelitian daripada gejala internalizing behavior.
Secara umum, anak perempuan menunjukkan lebih banyak gejala internalizing behavior daripada anak laki-laki.
Jika buah hati Parents menunjukkan gejala internalizing behavior, terutama jika gejalanya tampak parah, bicarakan dengan ahli kesehatan mental. Bisa jadi itu merupakan tanda depresi atau indikasi penyakit mental di masa depan.
Sumber: Better Help, Very Well Mind
Baca Juga:
Awas, ini dampak negatif gadget bagi kesehatan mental anak!
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.