Menghadapi masa pubertas remaja zaman now , rasanya ngeri-ngeri sedap bagi orang tua yang lahir sebagai generasi milenial. Terlebih lagi, pesatnya arus informasi yang begitu mudah didapatkan melalui kelincahan jempol menekan tombol pada gawai pintar. Secara biologis, pubertas remaja puteri ditandai dengan darah yang keluar dari vagina secara periodik. Di sisi lain, perubahan pola pikir, perilaku, dan emosi turut mewarnai peralihan dari anak-anak menjadi remaja yang aduhai dan kritis. Aku ingin berbagi cerita soal haid pertama putri saya.
“Bu, kakak kayanya mens deh, bu. Ada bercak cokelat di CD kakak,” ujar anak sulungku. “Oh iya, ya kak. Alhamdulillah, berarti kakak resmi jadi ABG. Hehe,” jawabku. Ah, sulungku di usia 10,5 tahun ini mengalami menarche, haid pertamanya. Sempat cemas, apa tidak terlalu cepat ya, mengingat dulu saya dan teman sebaya haid pertama terjadi di usia 11-13 tahun. Dan, menurut dokter spesialias anak saya, masih wajar menarche di usia 10 tahunan tersebut.
Setahun sebelum haid pertamanya, saya memang sudah melihat adanya perubahan fisik pada si kakak. Tubuhnya makin berisi, payudaranya pun mulai bertumbuh. Kadang kala, saya menanyai kakak, apakah sudah mulai tumbuh rambut halus di pubis dan ketiaknya. Dia menjawab iya sambil malu-malu. Di usianya saat ini, secara fisik dengan tinggi badan 153 cm dan beratnya 49 kg, penampilan si sulung sudah seperti anak SMP. Secara emosional, kakak juga semakin ngemong dengan kedua adiknya, tetapi juga cukup sensitif dan cepat tersinggung jika diganggu adik-adiknya.
Sudah Memulai Pendidikan Seks sejak Dini
Jauh sebelum peristiwa haid pertama putri saya, sejak ia masih balita, saya sudah mulai melakukan edukasi seksual kepadanya. Seperti menjelaskan adanya perbedaan genital dan organ tubuh yang membedakan perempuan dan laki-laki. Lalu, memberitahukan kenapa perempuan bisa hamil dan menyusui.
Sebisa mungkin pendidikan seks, saya sesuaikan dengan umur anak-anak, sehingga mudah diketahui dan dimengerti. Bahkan, anak-anak pun sedari batita, sudah saya perkenalkan darah haid dengan memperlihatkan pembalut sewaktu saya menstruasi. Saya mengatakannya ibu sedang mens dan menggunakan pampers, hehe. Sekaligus saya mengajarkan bagaimana menggunakan pampers itu dan membersihkan pakaian yang terkena darah haid.
Mengadaptasi situasi menarche ini, saya memberi wejangan kepada si kakak agar memperhatikan kebersihan di area sensitifnya. Mengganti pembalut setiap 4 jam sekali, membersihkan alat genitalnya dengan sabun khusus yang ber-PH rendah 3.8 sampai 4.2, minimal sabun bayi, dan mengeringkan area sensitif selepas bercebok. Saya juga mulai memberikan tablet tambah darah 1 minggu 1 kali selama 1 tahun untuk mencegah anemia pada remaja. Jangan lupa pula, mencatat pada kalender hari pertama dam lamanya haid secara rutin.
Ketika sudah selesai menstruasinya, alih-alih ingin memberitahu bagaimana tata cara mandi janabat, ternyata putri sulung saya lebih dahulu mengetahui dengan bertanya kepada Mbah Google. Ah, begitu gampangnya informasi diperoleh di era digital sekarang ini. Hal ini menuntut orang tua juga melek teknologi agar bisa belajar bersama dengan putra-putrinya.
Artikel terkait: Mungkinkah Haid dan Hamil Terjadi di Saat Bersamaan? Simak Penjelasan Ahli Berikut Ini!
Minim dan Tabunya Pendidikan Seks di Era 90-an
Haid pertama putri saya juga mengingatkan saya akan masa lalu, masa ketika saya masih remaja. Beda sekali dengan yang saya alami selama remaja dulu di tahun 90-an. Persoalan kesehatan reproduksi, alat kontrasepsi, hubungan dengan lawan jenis atau bahkan sesama jenis, begitu minim dan tabu untuk dibicarakan. Ketika kecil dulu, saya ingin tahu kenapa ibu tidak melaksanakan puasa Ramadhan selama seminggu, dan dijawab oleh ibu bahwa dirinya sedang sakit perut. Belum lagi, ditakut-takuti oleh guru mengaji, jika seorang perempuan sudah mens berarti dianggap aqil baligh, dewasa. Katanya, dosa ditanggung semuanya jika melakukan banyak perbuatan yang dilarang Tuhan. Siksa kubur serta neraka menunggu.
Bahkan, semasa SMP sepertinya pendidikan seks belum diperkenalkan di sekolah. Dalam pikiran polos saya, jika berciuman di bibir itu bisa mengakibatkan kehamilan. Belum lagi, di masa itu juga, kasus sodomi oleh Sumanto atau Robot Gedek sedang ramai diberitakan. Saya sama sekali tidak mengerti apa itu sodomi dan malu menanyakan kepada orang tua, serta guru di sekolah.
Pendidikan seks yang saya dapatkan sewaktu SMP dan SMA, hanya edukasi sekedar kehati-hatian di dalam berinteraksi antara laki-laki dan perempuan. Katanya jika berdua-duaan laki-laki dan perempuan, maka yang ketiganya adalah setan, hehe. Pelajaran biologi hanya mengajarkan alat reproduksi, fungsinya, dan bagaimana pembuahan bisa terjadi. Benar-benar kami tidak mengerti bagaimana cara dari proses sel sperma bisa membuahi sel telur hingga menjadi zigot.
Artikel terkait: Mengenal 4 macam warna darah haid; mana yang normal dan tidak
Generasi Z, Generasi yang Cepat Dewasa dan Serba (Ingin) Tahu
Berbeda dengan era generasi Z sekarang ini, survei menunjukkan sudah cukup banyak remaja di Indonesia sudah aktif secara seksual. Data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) Tahun 2017 menjabarkan bahwa 50% remaja laki-laki dan perempuan 30% mengaku pernah melakukan hubungan seks pranikah. Perilaku seksual remaja ditemukan sebesar 4,92% remaja yang sudah berperilaku seksual aktif yaitu 56,9% pernah kissing, 30,7% necking, 13,8% petting, 7,2% oral sex, 5,5% anal sex, dan 14,7% pernah melakukan sexual intercourse.
Menurut Jurnal Ilmiah Kesehatan (2020) tentang “Media Komik Sebagai Alternatif Media Promosi Kesehatan Seksualitas Remaja”, banyak faktor yang mempengaruhi remaja melakukan seks pranikah. Di antaranya adalah informasi, norma subjektif, dan intensi perilaku seksual. Dengan demikian, pemberian informasi yang baik didukung dengan norma subjektif yang positif serta intensi perilaku seksual yang rendah maka akan menjadi faktor preventif bagi perilaku seksual pranikah pada remaja.
Data banyak remaja yang sudah aktif secara seksual dari SDKI 2017 di atas juga hampir mirip dengan survei nasional yang dilakukan negara seberang samudera, Australia. Media daring abc.net.au (27/1/2021) memaparkan bahwa survei nasional dengan data yang dikumpulkan di tahun 2018 menemukan 47% responden siswa SMA di Australia telah berhubungan seksual. Khusus untuk siswa kelas 12, jumlahnya mencapai 55%.
Apalah artinya suatu data, jika secara kritis banyak remaja di Australia menyuarakan bahwa kurikulum pendidikan seks bukanlah sekedar kesehatan reproduksi dan pencegahan penularan penyakit menular seksual semata, tetapi persoalan kesenangan dan kehidupan seks remaja pada umumnya. Tamsin Griffiths, seorang remaja di Melbourne pernah melakukan survei terhadap 500 siswa SMA tahun 2020 dan menemukan pengajaran pendidikan seks sudah ketinggalan zaman.
Artikel terkait: 6 Penyebab Haid Dua Kali dalam Sebulan, Waspada Bisa Jadi Tanda Penyakit
Tamsin mengatakan saat ini remaja umumnya berhubungan seks untuk kesenangan, tetapi pendidikan di sekolah memperlakukan seks sebagai aktivitas reproduksi. “One-night stand dan seks kasual sudah sangat umum saat ini. Namun kurikulum hanya mengajarkan tentang seks sebagai fungsi reproduktif semata,” katanya. Lebih lanjut Tamsin mengatakan bahwa kurikulum tidak mencerminkan komunitas LGBTQI + dengan tepat. Ketika dirinya membandingkan dengan keadaan teman-teman, begitu banyak pengalaman remaja yang tidak terwakili dalam kurikulum.
Survei dan hasilnya yang dilakukan oleh Tamsin dapat dimaklumi karena memang kultur kebebasan yang dianut di Australia. Sementara itu, kultur di Indonesia ini bisa dikatakan “diam-diam serba bebas”. Jangankan survei soal common sex, remaja Indonesia cenderung masih malu-malu membicarakan seks. Namun, yang dikatakan Tamsin dan hasil survei nasional terkait perilaku seks remaja baik di Indonesia maupun Australia, mendeskripsikan begitulah yang terjadi sekarang ini.
Akan tetapi, bisakah aspek seks menjadi kesenangan bagi remaja dimasukan ke dalam kurikulum pendidikan seks di sekolah? Karena tanpa informasi dari sekolah pun, perihal seksual pun sangat mudah didapatkan hanya dengan berselancar di dunia maya. Menjadi dewasa bukan sekedar aktif secara seksual, tetapi bisa berpikir sebelum berkata ataupun bertindak juga bagian dari proses kedewasaan. Salah satu contoh sederhananya seperti putri sulung saya yang sudah tidak takut lagi menggunakan kompor gas dan bisa membuat telur ceplok, hehe.
Ditulis oleh Dwi Handriyani, UGC Contributor theAsianparent.com
Artikel UGC Contributor lainnya:
"Sering Memeluk Anak, Saya Sangat Rasakan Manfaatnya"
Yuk Pahami Cara Mengelola Konflik dengan Anak Melalui Teknik 3R, Apa Itu?
5 Hiburan Rakyat Murah Meriah yang Digemari Banyak Balita
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.