Akhir-akhir ini semakin banyak anak yang didiagnosis mengalami gangguan emosional. Anak yang selalu gelisah di kelas dicap ADHD, dan anak yang kesulitan membaca langsung dianggap anak dengan autisme.
Tentu saja pada beberapa kasus, diagnosis yang tepat justru akan membuat anak mendapatkan perawatan yang baik untuk menangani kasusnya.
Namun, kapan seorang anak dianggap mengalami salah satu dari sekian banyak gejala gangguan emosional dan kapan ia hanya berperilaku layaknya seorang anak?
Para ahli sekarang mengingatkan untuk lebih berhati-hati saat memberi label bahwa seorang anak mengalami gangguan perilaku. Peneliti sekaligus terapis keluarga, Michael Ungar, Ph.D. adalah salah satu profesional yang keberatan untuk melabel segala sesuatu sebagai gangguan.
Ia menjelaskan, “Segala hal yang wajar dan kita hadapi sehari-hari sebagai orangtua lantas didiagnosis sebagai gangguan seharusnya tidak mengurangi dukungan kita terhadap kebutuhan jangka panjang anak untuk berkembang.”
Dr. Ungar melanjutkan penjelasan dengan menggambarkan jenis ‘gangguan yang dipertanyakan’ yang ia temukan dalam pekerjaannya menghadapi anak dan keluarga.
Artikel terkait: 7 Dosa orangtua kepada anak yang sering dilakukan tanpa Parents sadari
Gejala gangguan emosional anak yang mungkin tidak terindikasi sebagai gangguan
1. Gangguan perilaku
Anak-anak, terutama yang masih sangat kecil, seringkali membuat kesabaran kita sebagai orangtua cepat habis, apalagi jika mereka sedang tantrum. Sebenarnya, hal itu wajar sebagai bagian dari tumbuh dewasa.
Kapan Parents harus khawatir tentang perilaku mengganggu anak kita? Dan kapan sebaiknya kita menerimanya sebagai sesuatu yang biasa dalam tumbuh kembang anak?
Dr. Ungar mengatakan, “Dalam pengalaman saya, gangguan perilaku adalah label yang kami berikan secara profesional pada anak-anak yang mengganggu kita orang dewasa. Itu sama sekali tidak membutuhkan pengobatan. Dan label tersebut tidak memberi tahu kita mengapa seorang anak berperilaku buruk.”
Ia menjelaskan bahwa dengan memberi label seperti ini, seolah-olah kita menegaskan bahwa kesalahan sepenuhnya ada pada sang anak, menyiratkan bahwa mereka adalah sumber masalahnya. Padahal, ada kemungkinan anak berperilaku buruk karena kurangnya struktur atau disiplin di lingkungan mereka yang seharusnya diajarkan oleh orang dewasa.
2. ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder)
Hanya sedikit sekali jumlah anak yang memiliki kondisi neurologis seperti ini. Gejala utamanya adalah ketidakmampuan untuk fokus yang pada akhirnya menciptakan masalah di sekolah.
Dr. Ungar memahami bahwa ini adalah permasalahan nyata. Namun kemudian ia menanyakan pertanyaan berikut:”Mengapa ada 5% anak didiagnosis ADHD dan mengapa jumlahnya lebih banyak anak laki-laki ketimbang anak perempuan? Dan mengapa beberapa budaya lebih sering menggunakan diagnosis ADHD ini lebih dari yang lain?”
Ia menjelaskan bahwa yang sebenarnya terjadi adalah keinginan para pengajar dan orangtua untuk memastikan anak-anak duduk diam serta menyesuaikan diri di dalam kelas. Model pendidikan kita memang belum berubah sejak seratus tahun terakhir: duduk di meja berjam-jam sambil mendengarkan guru berbicara.
Tantangan bagi Dr. Ungar adalah menempatkan anak hiperaktif di kelas yang berbeda dengan kelas tradisional. Bila si anak masih menunjukkan perilaku yang sama, maka ia yakin anak tersebut mengalami gangguan emosional yang nyata.
Dengan kata lain: “Mari kita pastikan bahwa apa yang kita lihat bukanlah lingkungan yang tidak teratur ketimbang anak yang tidak teratur.”
3. Gangguan kepribadian
Dr. Ungar menjelaskan bahwa semakin banyak orangtua dan ahli berusaha meyakinnya bahwa beberapa anak memiliki Borderline Personality Disorder (gangguan kepribadian ambang) atau Narcissistic Personality Disorder (gangguan kepribadian narsistik).
Borderline Personality Disorder mengacu pada ketidakmampuan memiliki keterikatan yang konsisten dengan orang lain. Sedangkan Narcissistic Personality Disorder adalah gangguan di mana keegoisan dapat berubah menjadi perilaku kekerasan.
Saran dari Dr. Ungar yang wajib diingat:
“Peran kita sebagai orangtua, saya pikir, adalah untuk mencontohkan empati dan filantropi (tindakan untuk mencintai sesama manusia dan menghargai nilai kemanusiaan). Bukannya memanjakan anak-anak kita dengan hadiah yang banyak, membela mereka ketika mereka sendiri tidak bertanggung jawab terhadap kegagalannya, atau melindungi mereka dari ancaman terhadap harga diri mereka.”
Jadi, Parents, jika lain kali seseorang berusaha memberi label gangguan emosional pada anak Anda, ingat-ingatlah artikel ini.
*Artikel disadur dari tulisan Criselle Nunag di theAsianparent Singapura.
Baca juga:
Hati-hati Parents, 10 hal ini dapat melukai harga diri anak
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.