Selama ini istilah disleksia populer diartikan sebagai kesulitan membaca, mengeja dan menulis. Sebagian orang mengatakan bahwa anak-anak mengalami kesulitan belajar pada area ini karena dianggap salah pengasuhan atau kurangnya stimulasi dari lingkungan. Secara kasat mata, anak-anak ini kerap dianggap sebagai anak yang malas, lelet, ceroboh, grasa grusu, lambat belajar, tidak mampu menyelesaikan tugas-tugas remeh sehari-hari, dan memiliki performa buruk di bidang akademik. Masih banyak orang yang belum mengetahui banyaknya fakta tentang disleksia.
Tampilan klinis para penyandang disleksia memang tampak aneh dan kontradiktif dengan kemampuan sebenarnya. Label-label seperti bodoh, males, lelet, tidak bisa fokus, tidak becus ngerjain tugas, pelupa, teledor, dan nakal adalah sebagian label yang kerap disematkan kepada mereka. Tentu label-label berbasis penilaian perilaku yang nampak dapat menutupi kondisi sebenarnya. Dari sekian fakta tentang disleksia, saya akan coba jelaskan beberapa diantaranya yang boleh jadi banyak yang belum mengetahuinya.
1. Disandang oleh 10% individu dari total populasi
Berbagai temuan riset menunjukkan bahwa disleksia dimiliki atau disandang oleh sekitar 10-15% dari total populasi manusia. Bahkan hasil penelitian di Amerika berani mengatakan bahwa sekitar 20% populasi penduduknya adalah penyandang disleksia.
Meski belum ada hasil studi resmi di Indonesia untuk mengetahui data penyandang disleksia, namun kita ambil rata-rata dari berbagai hasil riset lintas negara yang menunjukkan di angka 10-15%. Lebih mudahnya, kita ambil sajalah di angka 10%. Angka ini menunjukkan bahwa satu dari 10 orang adalah penyandang disleksia. Kalau anda adalah seorang guru yang mengajar 30 anak di satu kelas, boleh jadi ada 3 anak di kelas anda yang menyandang disleksia.
Artikel terkait: Berprestasi di Dunia Hiburan, 8 Artis Ini Ternyata Penyandang Disleksia
2. Fakta tentang disleksia, bersifat genetik dan diturunkan
Disleksia adalah kesulitan belajar berbasis neurologis yang bersifat genetik atau diturunkan. Andaikata ada seorang anak terdiagnosa disleksia, tentu proses penilaian dan pemeriksaan juga diarahkan pada orangtua, keluarga, dan saudara-saudara kandung si anak tersebut. Seorang individu disleksia kemungkinan besar memiliki orangtua, salah satu atau keduanya, yang disleksia juga. Kalau si anak memiliki saudara kandung, saudara kandungnya tersebut pun memiliki peluang untuk menyandang disleksia.
Karena bersifat diturunkan inilah, tidak ada istilah sembuh dalam disleksia, melainkan terkelola atau tidak. Ia disandang seumur hidup. Kasarnya, seseorang yang lahir membawa gen disleksia, akan hidup dengan menjadi seorang penyandang disleksia, dan matipun ia tetap menyandang disleksia.
3. Seringkali muncul dengan gangguan penyerta
Disleksia sebagai bagian dari kesulitan belajar spesifik kerapkali memiliki komorbid atau gangguan penyerta. Jarang sekali kasus yang hanya disleksia saja. Komorbid disleksia antara lain diskalkulia (kesulitan pada numerik, matematika, urutan, rute, waktu dan ruang), disgrafia (kesulitan dalam mengekpresikan ide dalam tulisan, menerjemahkan bunyi ke dalam tulisan, memiliki tulisan buruk, bahkan tidak teratur maupun terbaca), dispraksia (gangguan perencanaan dan koordinasi motorik, baik motorik halus maupun kasar), ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder/gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas), dan Gifted (cerdas istimewa dengan IQ di atas 130 namun kerap mengalami kesulitan belajar).
Disleksia yang berdiri tunggal saja merupakan gangguan yang kompleks karena tidak hanya terganggu di bahasanya saja (lisan, tulis, sosial), tapi juga di perilaku dan fungsi eksekutif. Apalagi bila ia muncul dengan gangguan penyerta, tentu saja tampilan dan intervensinya akan lebih kompleks. Fungsi ekskutif sendiri adalah serangkaian kemampuan mental yang dimiliki sesorang untuk meregulasi dirinya dalam menyelesaikan tugas dan mencapai tujuan hidupnya.
4. Memiliki level intelektual baik
Disleksia dimiliki oleh individu dengan kecerdasan normal atau di atas rata-rata. Tak jarang penyandang disleksia memiliki IQ superior, very superior, dan gifted (cerdas istimewa/ berbakat). Ini yang oleh sebagian ahli dikatakan sebagai paradoks disleksia. Individu penyandang disleksia itu memiliki potensi kecerdasan baik bahkan tinggi, namun tampilannya seolah-olah tidak kapabel menyelesaikan tugas-tugas sehari-hari.
Yang menyedihkan adalah ketika para penyandang disleksia kerap menjadi sasaran kemarahan orangtua di rumah, sasaran kejengkelan guru di sekolah, bahkan sasaran bullying teman-teman sebayanya, karena apa yang ia lakukan nampak bodoh, lucu, dan menggelikan. Komentar-komentar seperti, “Eh, masak sudah gede baca aja terbata-bata?” Atau, “Lucu ih, kalo nulis lama, lelet banget, salah-salah pula”. Juga, “Yaelaah…ngerjain PR segitu aja masak nggak bisa, payah lu!”. Tampilan-tampilan seperti inilah yang akhirnya menutupi potensi kecerdasan yang sesungguhnya.
Artikel terkait: Jangan langsung dimarahi, anak malas belajar bisa jadi tanda disleksia
5. Memiliki pemikiran yang kreatif dan Out of The Box
Ilustrasi Albert Einstein. (Unsplash)
Salah satu kekuatan disleksia adalah pemikirannya yang out of the box dan kemampuan melihat “big picture” atau gambaran besar pada satu kejadian atau fenomena. Selain itu, penyandang disleksia banyak sekali yang memiliki jiwa seni tinggi, pemikiran inovatif, jiwa kepemimpinan, hingga entrepreneurship yang cemerlang. Ini adalah salah satu fakta tentang disleksia yang menarik.
Beberapa pesohor dunia yang menyandang disleksia antara lain: Walt Disney yang mempelopori gambar gerak dalam film, Albert Einstein dengan teori-teori fisikanya, Jamie Oliver yang populer sebagai chef, Richard Branson yang menjadi salah satu pengusaha yang berpengaruh di dunia, Steven Spielberg yang menjadi sutradara papan atas Hollywood, George Washington sebagai presiden Amerika, Orlando Bloom yang menjadi aktor sukses, Pablo Picasso yang teknik lukisannya memberikan pengaruh lintas jaman, dan pesohor-pesohor lainnya.
6. Bisa dideteksi dan diintervensi dini
Diagnostic and Stastical Manuals of Mental Disorder 5th Edition atau DSM-V mengatakan bahwa disleksia dapat didiagnosa tegak di usia 7-8 tahun, tapi saat ini banyak ahli yang mengatakan bahwa gangguan ini bisa dideteksi sangat dini yakni di bawah usia 3 tahun. Biasanya orangtua atau kader Posyandu dapat mengidentifikasi dini dengan memonitor tumbuh kembang anak. Apalagi kalau ada catatan riwayat kehamilah dan persalinan serta riwayat keluarga yang memiliki gangguan perkembangan sebelumnya, akan dapat membantu memahami kondisi anak secara lebih menyeluruh.
Apabila ada gangguan atau keterlambatan perkembangan, merujuk kepada ahli akan sangat membantu penanganan secara dini dan tepat. Oleh karena banyak yang tidak terdeteksi sejak dini, individu-individu yang potensinya cemerlang ini pada akhirnya secara perlahan semakin kesulitan dan gangguannya semakin meningkat dan kompleks dan semakin tergerus bakat dan potensinya.
Artikel terkait: Anakku Spesial, Anakku Disleksia dan Aku Bangga Memilikinya
7. Berpotensi menjadi Lost Generation
Disleksia yang tidak ditemukenali sejak dini perlahan kondisinya akan semakin kompleks dan bertambah pula gangguan-ganguan penyerta lainnya. Yang pada awalnya karena urusan perkembangan anak, lama-kelamaan menjadi masalah perilaku dan masalah psikiatri atau psikologis.
Sayangnya, karena tidak dipahami, perlahan tapi pasti penyandang disleksia akan semakin tertinggal, semakin merasa gagal, semakin kompleks kesulitannya, self-esteemnya memburuk, dan bingung sendiri mengapa ia seperti itu dan tidak tahu harus berbuat apa dengan kesulitan yang dihadapi. Stress dan kecemasan yang menumpuk, secara perlahan akan menggerus rasa percaya dirinya, kesulitannya tidak tertangani, dan parahnya potensi serta bakatnya tidak terasah dan lama kelamaan akan sulit untuk dimunculkan.
Disleksia yang berubah menjadi lebih kompleks menyumbang pada tingginya angka putus sekolah, tindak kriminalitas, penyalahgunaan obat-obat terlarang, kecanduan alcohol, pengangguran, bermasalah di masyarakat, dan tak sedikit yang berakhir di penjara. Kalau ini terjadi di populasi yang cukup besar ini, kita akan menghadapi situasi yang lebih buruk yaitu hilangnya satu generasi cemerlang menjadi generasi yang sulit dan buruk perilakunya.
Ketujuh fakta tentang disleksia tersebut berimplikasi pada pentingnya deteksi dini dan intervensi dini dan tepat pada disleksia. Bagaimana kesulitan belajar ini bisa ditemukenali sejak dini salah satu caranya adalah dengan memiliki pemahaman yang cukup baik tentang tumbuh kembang anak dan gangguan perkembangan, serta memiliki pengetahuan yang cukup tentang disleksia dan bagaimana pendampingannya.
Ditulis oleh Ikfina Maufuriyah, UGC Contributor theAsianparent.com
Artikel UGC Contributor lainnya:
4 Cara Ajari Anak Berterima Kasih, Mulai dengan Mensyukuri Nikmat Tuhan!
Deretan Aktivitas Menarik Bersama si Kecil Selama di Rumah
Aku Positif COVID-19 dan Harus Menyusui Bayiku, Ini 5 Hal yang Kulakukan
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.