Saat anak pertamaku mendapat diagnosis oleh dokter bahwa ia salah satu dari anak istimewa, sebenarnya aku sudah tidak kaget lagi. Ya, anakku disleksia.
Memang sejak awal aku sudah curiga karena telah melihat ciri-ciri nya sejak anakku berumur 3 tahun.
Melihat Tanda Bahwa Anakku Disleksia
Ia terlambat dalam berbicara. Baru di umur 3,5 thn anakku bisa bicara lancar, ini adalah satu satu gejala. Namun, entah kenapa hatiku semakin yakin bahwa anak ini istimewa, saat anakku sudah mulai masuk sekolah.
Saat itu kami baru tiba di Islamabad, Pakistan, dan langsung mencarikan sekolah untuk Aliyah. Saat sudah masuk sekolah, begitu berat mengajarkan Aliyah mengenal huruf. Mengenal alphabet adalah satu-satunya yang Aliyah benci saat itu.
Mengerjakan PR (Pekerjaan Rumah) bisa memakan waktu 2 jam. Diselingi dengan marah-marah, mengeluh, distraksi yang tidak bisa Aliyah hindari, belom lagi alasan-alasan yang Aliyah buat untuk mengalihkan.
Jika diingat, saat itu adalah salah satu masa dalam hidupku yang sungguh berat. Menghadapi anak pertamaku yang spesial ini, sangat menguras tenaga dan terutama pikiranku. Membuatku tidak bisa tidur nyenyak. Menimbulkan pertanyaan-pertanyaan di benakku, “Sebenarnya ada apa dengan anakku?”
Setiap hari Aliyah menangis. Setiap hari selalu bilang, “I hate school”. Ada kala aku menangis di dalam bantal, “Like i don’t have any clue to solve my kid’s problems”.
Anakku Disleksia, Ku Melewati Masa Penolakan dan Penerimaan
Acceptance atau Penerimaan. Satu kata yg mudah diucapkan namun sulit untuk dilakukan. Butuh waktu 2 tahun untuk aku bisa “deal with this word”.
Sebuah penerimaan bahwa anak kita spesial ternyata sangat sulit. Aku seperti berperang dengan diriku sendiri. 2 tahun aku berjuang melawan pikiranku sendiri. Dua tahun penuh banyak pertanyaan di otakku.
Suatu kali waktu aku konsultasi via whatsapp dengan temanku yang berprofesi sebagai psikolog pendidikan di Indonesia, tepatnya di Kota Depok. Namanya Mba Resti. Memang hal paling sulit menurut dia adalah “self acceptance”.
Ini adalah langkah pertama yg harus aku bisa atasi. Untuk nantinya bisa menuju langkah berikutnya, yaitu mencari solusi. 2 tahun aku “denial”. Aku menolak.
Cuek dengan kenyataan. perasaan antara yakin dan ragu hilang dan timbul bergantian. Betapa kata-kata mba Resti sebenarnya meresap dengan baik dalam otakku, tapi penolakan terus menerus datang. Seperti “ah sudah lah tenang saja. Nanti anaknya begitu bertambah umur akan semakin bisa memahami dan cepat belajar kok”.
Namun kenyataannya tidak. Semakin bertambah umur Aliyah, semakin dia bisa berkomunikasi dengan baik. Mulai semakin banyak yang bisa dia sampaikan. Apa yang terjadi di sekolahnya, dan semua kesulitan yang dia hadapi selama belajar membaca dan menulis di sekolah.
“Ma… Tulisannya Berantakan dan Bergerak!”
Ada 1 masa dimana ini adalah titik balik dari semua ke-tidak “acceptance” aku. Sejak itulah aku mulai cair. Keras kepalaku mulai terkikis. Yaitu saat aku perintahkan Aliyah untuk membaca satu buku cerita. Buku cerita ini bukan yang banyak tulisannya juga, tapi disertai dengan gambar menarik untuk anak-anak.
Kalimat-kalimat yang digunakan juga simpel dan mudah dibaca. Saat itu Aliyah umur 5 tahun. Saat kusodorkan buku itu, Aliyah langsung berkata, “Apa ini, ma? Kok berantakan?” Aku bingung mendengarnya. “Apa sih Aliyah? Apa yang berantakan?” Ku jawab dengan sedikit sewot. “Ini mah.. ituuuu mah…” sambil menunjuk kalimat-kalimat yang tertulis di buku tersebut. “Itu berantakan tulisannya. IT’S MOVING.. AND (the words) DANCING”
Jleb!
Ya Allah.. hati ku rasanya seperti tertusuk kala mendengar Aliyah berkata seperti itu. Aku tau itu pertanda kuat Disleksia dari semua artikel-artikel yang aku baca selama ini. Dan ini pertama kalinya Aliyah bisa mengomunikasikan apa yang dia lihat dan rasakan.
Bumi rasanya berputar. Langsung seketika aku menangis. Iya.menangis di depan Aliyah.
Pentingnya Mengali Tanda Anak yang Alami Disleksia
Ku usap wajah mungilnya, kupeluk kencang. Dalam hati aku menjerit, “Ya Rabb… kenapa selama ini aku mengabaikan semua pertanda dari-Mu? Kenapa aku masih terus keras kepala menganggap anakku baik-baik saja. Padahal dia butuh bantuan aku.
Seharusnya aku sadari ini dari awal aku melihat tanda-tanda itu. Maafkan aku ya Rabb.. ampuni aku yg tidak becus membesarkan anak sulungku ini”
Aku sangat terpukul setelah kejadian itu. Butuh waktu beberapa minggu setelah kejadian itu untuk aku mempersiapkan mental. Dan mencoba mencari info kepada siapa aku harus cek anak ku ini.
Dan tiba-tiba entah kenapa aku teringat pada dokternya anak-anak di sebuah rumah sakit swasta di Islamabad. Namanya dokter Naveed. Dokter langgananku kalau anak-anakku sakit. Aku pernah sekali datang untuk check up anakku yang sedang sakit ke dokter Naveed, dan aku harus mengantri menunggu 1 pasien yang sedang di dalam ruangannya.
Saat itu aku menunggu sudah terlalu lama. Aku bingung kenapa tumben kok lama. Biasanya tidak pernah selama ini. Ternyata saat pasien anak itu keluar, terlihat dengan kedua orang tuanya digandeng agar dia tidak lari langsung keluar, karena seperti nya itu adalah anak dengan berkebutuhan khusus.
Sangat hiperaktif. Lalu aku teringat “momen” itu dan aku langsung berpikir apakah Aliyah bisa di cek ke dokter Naveed? Aku masih ingat mba Resti pernah bilang kalau Aliyah harus menjalani “asessment test” dulu, agar dapat diketahui masalah apa yg terjadi pd dirinya.
Lalu aku coba kontak beliau dan ternyata dokter Naveed adalah seorang Neuro Developmental Paediatrician. Tentu beliau adalah orang yang tepat untuk mencari solusi pada Aliyah dan masalah gangguan belajarnya. Alhamdulillah yaa Allah akhirnya kami menemukan solusinya.
Dan benar saja setelah dokter melakukan beberapa tes terhadap Aliyah, hasilnya adalah anakku disleksia. Yup.. Kali ini apa yg menjadi firasat aku benar. Aku berjanji pada diriku bahwa mulai saat ini aku harus turuti firasat aku terhadap anak. Dan aku tidak akan denial lagi.
Ditulis oleh Dika Wanangsari, VIPP Member theAsianparent ID
Artikel Lain yang Ditulis VIPP Member theAsianparent ID
Miliki Anak Berkebutuhan Khusus, karena Kami Orang Tua yang Terpilih
"Dinyinyiri karena Memilih jadi Fulltime Mom, Tapi Aku Tak Pernah Menyesal"
4 Tips Mengajarkan Anak Bicara, Bisa Bunda Coba Terapkan di Rumah
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.