Siapa yang menyangka bila setiap bayi yang baru dilahirkan telah memiliki rasa empati dan simpati terhadap orang lain.
Hal ini bisa terlihat dari kericuhan yang sering terjadi di rumah sakit, di mana bayi yang menangis akan memicu bayi lainnya untuk ikut menangis. Bisa juga dari kebiasaan bayi memasukan tangan ke dalam mulut.
Hal inilah yang dijelaskan oleh Psikolog Anak Roslina Verauli, M.Psi, Psi, saat ditemui dalam acara BebeLand di Summarecon Mall Bekasi, Jawa Barat, Minggu (8/9).
“Kebiasaan itu sebenarnya bukan semata-mata hanya karena bayi merasa lapar saja loh. Bisa juga karena saat itu bayi merasa kedua orangtuanya cemas sehingga dia ikut merasa cemas dan butuh ketenangan,” ungkapnya.
Rasa empati dan simpati pada bayi
Psikolog Anak Roslina Verauli, M.Psi, Psi dalam acara BebeLand di Summarecon Mall Bekasi, Jawa Barat, Minggu (8/9).
Roslina Verauli menjelaskan bahwa pada dasarnya setiap anak dilahirkan dengan kecerdasan intelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ), seperti rasa empati dan simpati.
Namun sayangnya, banyak orangtua yang hanya fokus mengembangkan IQ sang anak dan melupakan EQ sang anak. Padahal, agar tumbuh kembang anak bisa maksimal, anak tentu saja membutuhkan stimulasi yang tepat dan seimbang antara IQ dan EQ.
Dengan mengasah kemampuan EQ seperti rasa empati dan simpati, anak akan mampu merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain dan berusaha untuk menyelesaikan masalah dari sudut pandang orang lain. Hal ini secara tidak langsung juga bisa membuat anak berpikir dan mengembangkan kemampuan IQ-nya.
“Mengembangkan rasa peduli membuat Si Kecil memiliki perilaku prososial, yaitu perilaku yang membantu orang lain tanpa pamrih. Hal inilah yang perlu diasah sejak dini seiring dengan kemampuan daya pikir Si Kecil, agar dia mampu menyikapi sebuah permasalahan dan solusi yang tepat penuh empati,” jelasnya.
Lebih lanjut, Roslina Verauli mengungkapkan bahwa orangtua bisa mengasah kedua hal ini sejak dini sesuai dengan tahapan tumbuh kembang anak. Dimulai dari usia 1-2 tahun, 3-4 tahun, 5-6 tahun, hingga usia 7 tahun ke atas.
“Pada usia 1-2 misalnya, anak masih sangat terikat dengan ibunya. Di sini ibu bisa mengajak anak bermain cilukba dengan berbagai ekspresi wajah. Dengan begitu anak akan tahu bahwa sang ibu mengalami perubahan emosi.
Lalu, saat usia 3-4 tahun anak mulai bisa melakukan aksi nyata. Jadi ajak anak untuk membantu atau menolong orang lain. Usia 5-6 tahun libatkan anak dalam ‘emotional talk’ di mana mereka bisa menyampaikan apa yang mereka rasakan dan berikan pujian dan penghargaan untuk setiap hal baik yang mereka lakukan,” jelasnya.
Memahami rasa empati dan simpati
Rasa empati dan simpati merupakan kedua hal yang berbeda. Simpati ialah rasa peduli atau merasa iba dengan kondisi orang lain. Sedangkan empati ialah rasa yang muncul ketika seserang merasakan apa yang orang lain rasakan.
Ini adalah keterampilan yang sangat kompleks untuk dikembangkan. Namun sangat mungkin untuk dilatih, bahkan oleh anak-anak.
Bila anak-anak mampu berempati, maka ia mampu:
- Memahami bahwa ia adalah individu yang terpisah dari orang lain
- Memahami bahwa orang lain mungkin memiliki perasaan dan pemikiran yang berbeda dari dirinya
- Mengakui perasaan umum yang dialami oleh kebanyakan orang, seperti rasa sedih, bahagia, terkejut, marah, dan lain sebagainya
- Mampu melihat situasi tertetu dan membayangkan bagaimana rasanya. Bahkan mencari jalan keluar untuk solusi masalah orang lain
- Membayangkan respons apa yang cocok atau menghibur dalam situasi khusus itu
Memahami dan menunjukan empati ialah hasil dari berbagai keterampilan sosial emosional yang berkembang di tahun-tahun pertama kehidupan anak.
Selain penjelasan Roslina Verauli di atas, kami juga memiliki beberapa cara lainnya untuk mengasah rasa empati pada anak
a. Berempati pada anak
Bila Anda ingin anak memiliki rasa empati. Maka cara pertama yang bisa Anda lakukan ialah dengan berempati padanya.
Misalnya, ketika anak takut pada anjing. Anda dapat mengatakan bahwa dia tak perlu takut karena Anda akan menjaganya.
“Apakah kamu takut pada anjing itu? Anjing itu baik kok, dia hanya mengonggong sangat keras dan itu memang menakutkan. Tidak apa-apa, Bunda akan memelukmu sampai dia lewat,”
b. Bicarakan perasaan Anda
Tidak ada salahnya bila Anda membicarakan perasaan Anda padanya. Katakan ketika Anda merasa sedih karena dia tidak mau makan atau ketika dia jatuh dari kasur.
c. Jadilah panutan
Ingatlah bahwa anak adalah peniru yang ulung. Dia akan meniru Anda ketika Anda berempati pada orang lain. Untuk itu, jadilah panutan yang baik untuknya.
d. Gunakan kata ‘Aku’
Jenis komunikasi ini bisa membuatnya merasakan hal yang sama. Misalnya dengan mengatakan ‘Aku tidak suka ketika kamu memukul aku. Itu menyakitkan,’
e. Validasi emosi anak
Tak dapat dipungkiri, terkadang ketika anak sedih, marah, atau kecewa, kita buru-buru mencoba memperbaikinya. Padahal anak perlu memahami rasa itu dan mengelolanya.
Anak perlu merasa senang, sedih, marah, atau kecewa. Biarkan anak merasakan semua perasaan itu.
Tugas Anda hanyalah untuk membantunya mengetahui apa yang sedang ia rasakan. Ketika dia marah, katakan bahwa dia marah. Ketika dia sedih, katakan bahwa dia sedih.
f. Berikan anak kesempatan untuk melakukan aksi nyata
Anak-anak telah dibekali rasa empati dan simpati sejak lahir. Namun mereka tidak tahu bagaimana cara untuk mengungkapkannya.
Untuk itu, berikan dia kesempatan melakukan aksi nyata untuk mengungkapkannya. Misalnya dengan mengajak anak mendonasikan mainannya pada anak lain yang membutuhkan atau membantu kakek nenek di panti jompo untuk makan siang.
g. Sabar
Mengembangkan rasa empati pada anak pasti membutuhkan waktu. Ingatlah bahwa empati adalah keterampilan yang kompleks dan akan terus berkembang sepanjang hidup.
Jadi Anda hanya perlu bersabar saat mengasahnya.
Baca juga :
Empati Menjadikan Anak Sukses Di Masa Depan
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.