Difteri pada anak merupakan infeksi bakteri yang dapat dengan mudah menyebar serta memengaruhi hidung dan tenggorokan. Anak-anak berusia di bawah 5 tahun serta orang dewasa berusia di atas 60 tahun berisiko mengalami difteri.
Sementara itu, mereka yang tinggal dalam kondisi kekurangan gizi, kumuh, dan tidak mendapatkan imunisasi secara teratur juga berisiko mengalami difteri. Umumnya, difteri menyerang wilayah negara-negara berkembang di mana sosialisasi mengenai imunisasi masih minim dan anak tidak mendapatkannya secara rutin.
Selain itu, masih ada penyebab, gejala, dan cara mengobati difteri pada anak yang penting untuk Parents ketahui. Apa saja? Simak penjelasannya berikut ini!
Artikel Terkait: Anak tidak vaksin DPT, satu wilayah bisa terkena wabah Difteri
Daftar isi
Jenis-Jenis Bakteri Penyebab Difteri
Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri dan berpotensi mengancam jiwa. Bakteri penyebab difteri dapat masuk ke dalam tubuh melalui hidung dan mulut. Pun bisa masuk melalui celah di kulit atau luka yang terbuka.
Penyakit ini menyebar melalui droplet yang mengandung bakteri difteri dari orang yang terinfeksi ketika mereka batuk, bersin, atau tertawa. Bakteri penyebab penyakit difteri adalah Corynebacterium diphtheriae.
Menurut buku berjudul Medical Microbiology, Corynebacterium diphtheriae menginfeksi nasofaring atau kulit. Strain atau kumpulan dari beberapa jenis sel bakteri tersebut bersifat toksigenik dan mereka mengeluarkan eksotoksin kuat yang dapat menyebabkan difteri.
Ada 2 jenis difteri, yaitu difteri pernapasan yang memengaruhi tenggorokan, hidung, dan amandel. Sementara satu lagi adalah difteri kulit (kutaneus) yang menyerang kulit.
Gejala dan Tanda Difteri pada Anak
Melansir dari Kids Health, pada tahap awal, difteri dapat disalahartikan sebagai sakit tenggorokan. Gejala awalnya ditandai dengan demam ringan hingga pembengkakan kelenjar leher.
Toksin atau racun yang disebabkan oleh bakteri dapat menyebabkan lapisan (atau membran) tebal di hidung, tenggorokan, atau saluran napas. Ini membuat infeksi difteri berbeda dari infeksi lain yang lebih umum dan menyebabkan sakit tenggorokan seperti radang.
Lapisan ini biasanya berwarna abu-abu kabur atau hitam, dan dapat menyebabkan masalah pernapasan hingga kesulitan untuk menelan. Ketika anak terinfeksi difteri, maka ia akan mengalami:
- Sakit tenggorokan
- Kesulitan bernapas
- Demam ringan
- Suara serak
- Bunyi melengking yang ditimbulkan saat menarik napas (stridor)
- Pembesaran kelenjar getah bening di leher
- Peningkatan detak jantung
- Pilek
- Pembengkakan langit-langit mulut (langit-langit mulut)
- Bintik kuning atau luka pada kulit
Gejala difteri bisa tampak seperti kondisi kesehatan lainnya. Untuk memastikan hal itu, segera temui dokter atau tenaga medis profesional untuk mendiagnosis penyakit serta perawatan yang tepat.
Artikel Terkait: Menolak vaksin, balita 14 bulan meninggal terkena penyakit Difteri
Diagnosis
Mengutip dari situs resmi Centers for Disease Control and Prevention (CDC), saat seseorang dicurigai terkena difteri dari gejala atau tanda-tanda umum yang ditunjukkannya, dokter akan menegakkan diagnosis dengan melakukan tes.
Tes yang dilakukan adalah melakukan swab pada bagian belakang tenggorokan atau hidung dan mengujinya di laboratorium untuk memastikan apakah benar ada bakteri yang menyebabkan difteri.
Dokter juga dapat mengambil sampel dari bagian luka yang terbuka atau radang dan bisul. Kemudian, bakteri akan diletakkan pada sampel tersebut. Jika bakteri dapat tumbuh dan membuat toksin (racun), maka dokter bisa memastikan pasien mengidap difteri.
Meskipun begitu, perlu waktu cukup lama agar bakteri dapat tumbuh. Oleh karena itu, penting agar dokter segera memulai pengobatan jika ia mencurigai adanya difteri pernapasan dari gejalanya.
Risiko Komplikasi
Melalui pengobatan, kebanyakan orang dengan difteri selamat dari komplikasi, tetapi pemulihannya sering kali berjalan lambat. Berikut adalah beberapa komplikasi kesehatan yang mungkin terjadi jika difteri tidak diobati:
1. Masalah Pernapasan
Bakteri penyebab difteri dapat menghasilkan toksin. Racun ini merusak jaringan di area yang terinfeksi, biasanya pada hidung dan tenggorokan. Di area tersebut infeksi menghasilkan membran abu-abu yang terdiri dari sel-sel mati, bakteri, dan zat lainnya. Keberadaan selaput ini dapat menghambat pernapasan.
2. Kerusakan Jantung
Toksin difteri dapat menyebar melalui aliran darah dan merusak jaringan lain di dalam tubuh. Sebagai contoh, toksin tersebut dapat merusak otot jantung sehingga menimbulkan komplikasi seperti radang otot jantung (miokarditis).
Kerusakan jantung akibat miokarditis bisa berkisar antara tahap ringan hingga berat. Paling buruk, miokarditis dapat menyebabkan gagal jantung dan kematian mendadak.
3. Kerusakan Saraf
Toksin juga dapat menyebabkan kerusakan saraf. Jika toksin menyerang saraf tenggorokan, dapat menyebabkan kesulitan menelan. Selain itu, saraf ke lengan dan kaki juga bisa meradang, menyebabkan kelemahan otot.
Apabila toksin difteri merusak saraf yang membantu mengontrol otot yang digunakan dalam bernapas, otot-otot ini dapat menjadi lumpuh. Bila ini terjadi mungkin pasien membutuhkan bantuan alat untuk bernapas.
4. Kematian
Sekitar 5% sampai 10% kasus difteri berakibat fatal atau berujung pada kematian. Tingkat kematiannya cenderung lebih tinggi pada anak-anak di bawah usia 5 tahun atau orang dewasa yang lebih tua dari usia 40 tahun.
Cara Mengobati Difteri pada Anak
Anak-anak dan orang dewasa yang mengalami difteri perlu dirawat di rumah sakit. Setelah dokter memastikan diagnosis melalui kultur tenggorokan, orang yang terinfeksi mendapatkan antitoksin khusus, yang diberikan melalui suntikan atau infus, untuk menetralkan racun difteri yang sudah beredar di tubuh, ditambah antibiotik untuk membunuh bakteri difteri yang tersisa.
Orang dengan infeksi lanjut mungkin memerlukan ventilator untuk membantu mereka bernapas. Jika racun mungkin telah menyebar ke jantung, ginjal, atau sistem saraf pusat, pasien mungkin memerlukan cairan IV, oksigen, atau obat jantung.
Seseorang dengan difteri harus diisolasi. Anggota keluarga dan kontak dekat lainnya yang belum diimunisasi, bayi, balita, hingga lansia juga harus dilindungi dari kontak dengan pasien.
Ketika seseorang didiagnosis menderita difteri, dokter akan memberi tahu pihak kesehatan setempat dan merawat semua orang di rumah yang mungkin terpapar bakteri tersebut. Perawatan termasuk kultur tenggorokan dan dosis booster vaksin difteri. Mereka juga akan mendapatkan antibiotik sebagai tindakan pencegahan.
Dengan perawatan yang cepat di rumah sakit, kebanyakan pasien sembuh dari difteri. Setelah antibiotik dan antitoksin bekerja, mereka perlu istirahat di tempat tidur untuk sementara waktu (4 sampai 6 minggu, atau sampai sembuh total). Istirahat di tempat tidur sangat penting jika seseorang mengalami miokarditis (radang otot jantung), yang dapat menjadi komplikasi difteri.
Setelah sembuh, penderita difteri tetap harus mendapatkan semua suntikan vaksin difteri untuk melindungi mereka dari infeksi lain. Sebab, pernah memiliki penyakit tidak menjamin kekebalan seumur hidup.
Artikel Terkait: Parents, jangan lewatkan imunisasi ulang difteri untuk anak!
Apakah Menular?
Difteri sangat menular. Penyakit ini mudah menular dari orang yang terinfeksi ke orang lain melalui percikan air liur alias droplet yang keluar saat bersin, batuk, atau tertawa.
Seseorang juga bisa tertular difteri karena memegang barang orang yang terinfeksi, seperti tisu bekas atau handuk tangan, yang mungkin terkontaminasi bakteri. Selain itu, menyentuh luka yang terinfeksi juga dapat memindahkan bakteri penyebab difteri.
Orang yang terinfeksi bakteri difteri bahkan jika mereka tidak memiliki gejala apa pun dapat menginfeksi orang lain hingga 4 minggu lamanya.
Masa inkubasi (waktu yang dibutuhkan seseorang untuk terinfeksi setelah terpapar) difteri adalah 2 hingga 4 hari, meskipun dapat berkisar antara 1 hingga 6 hari.
Bagaimana Mencegah Penularan Difteri pada Anak?
Pencegahan difteri hampir sepenuhnya bergantung pada pemberian vaksin difteri/tetanus/pertusis kepada anak-anak (DTaP) dan remaja serta dewasa yang tidak diimunisasi (Tdap). Setelah dosis tunggal Tdap, remaja dan orang dewasa harus mendapatkan suntikan booster dengan Tdap atau vaksin difteri/tetanus (Td) setiap 10 tahun.
Sebagian besar kasus difteri terjadi pada orang yang tidak divaksinasi sama sekali atau yang tidak mendapatkan semua suntikan. Vaksin Tdap juga direkomendasikan untuk semua ibu hamil selama paruh kedua setiap kehamilan, bahkan jika mereka sudah mendapatkan vaksin sebelumnya.
Berikut jadwal imunisasi yang penting dilakukan untuk mencegah difteri pada anak:
- Vaksin DTaP pada usia 2, 4, dan 6 bulan
- Dosis booster diberikan pada 12-18 bulan
- Dosis booster diberikan lagi pada 4-6 tahun
- Vaksin Tdap diberikan pada usia 11-12 tahun
- Suntikan booster Tdap atau Td setiap 10 tahun setelah itu untuk menjaga perlindungan
- Vaksin Tdap selama paruh kedua kehamilan setiap ibu hamil
Kebanyakan anak menoleransi vaksin dengan baik. Kadang-kadang menyebabkan efek samping ringan, seperti kemerahan atau nyeri tekan di tempat suntikan, demam ringan, atau kerewelan umum. Komplikasi parah, seperti reaksi alergi, jarang terjadi.
Hubungi dokter atau kunjungi rumah sakit terdekat apabila si kecil atau anggota keluarga lainnya memiliki gejala difteri seperti yang disebutkan di atas. Namun, ingatlah bahwa sebagian besar infeksi tenggorokan bukanlah difteri, terutama jika Parents rajin melakukan imunisasi pada si kecil.
Itulah informasi mengenai difteri pada anak. Semoga bermanfaat!
Artikel diupdate oleh: Annisa Pertiwi
Diphtheria
https://kidshealth.org/en/parents/diphtheria.html
Diphtheria in Children
www.urmc.rochester.edu/encyclopedia/content.aspx?contenttypeid=90&contentid=P02511#
Diphtheria in Children
www.stanfordchildrens.org/en/topic/default?id=diphtheria-in-children-90-P02511
Medical Microbiology, 4th Edition
www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK7971/
Diphteria
www.health.ny.gov/diseases/communicable/diphtheria/fact_sheet.htm
Diphteria
https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/diphtheria/symptoms-causes/syc-20351897
Baca Juga:
Peringatan seorang ibu tentang tanda difteri ini jangan sampai terlewat, Parents!
id.theasianparent.com/wabah-penyakit-difteri
Menyebabkan kematian, begini cara penularan penyakit difteri