Beredar kabar bahwa cahaya matahari mampu melemahkan virus Covid-19. Jika kabar ini benar, tentu kita yang tinggal di negara tropis sangat diuntungkan karena mendapat sinar matahari yang melimpah sepanjang tahun. Yuk, cek faktanya!
Sebuah penelitian yang diunggah dalam jurnal yang dipublikasikan di “The Journal of Infectious Diseases”, mengungkapkan sinar matahari (ultraviolet-C) dapat membunuh Covid-19 dengan adanya perbedaan antara teori terbaru dan hasil eksperimental.
Cahaya Matahari Melemahkan Covid-19 8x Lebih Cepat
Dalam riset tersebut, Insinyur mekanik UC Santa Barbara Paolo Luzzatto-Fegiz dan rekannya menemukan bahwa ada virus SARS-CoV-2 yang melemah setara delapan kali lebih cepat. Hal itu diketahui dalam uji coba yang hasilnya lebih cepat dari pada teori yang telah diprediksi sebelumnya.
“Teori tersebut mengasumsikan bahwa inaktivasi bekerja dengan membuat UV-B mengenai RNA virus dan merusaknya,” tutur Luzzatto-Fegiz dilansir CNN (11/4)
Mengutip Science Alert, perbedaan itu menunjukkan ada sesuatu yang lebih untuk mencari tahu apa hal yang dapat berguna untuk mengelola virus tersebut.
Sinar UV atau Spektrum Ultraviolet mudah diserap oleh basa asam nukleat tertentu dalam DNA dan RNA, yang dapat menyebabkannya terikat dengan cara yang sulit di untuk menyebar.
Artikel terkait: Risiko Long Covid Lebih Rentan Dialami Perempuan, Kenali Gejalanya!
Sinar matahari ultraviolet terbagi jadi 3 tipe berdasarkan panjang gelombang, UVA, UVB dan UVC. Melansir BMKG, total sinar UV yang dikandung radiasi matahari saat sampai permukaan bumi adalah UV A (90-99 persen) dengan sedikit UV B.
Gelombang UV yang lebih panjang atau disebut UV-A tidak memiliki energi yang cukup untuk menimbulkan masalah pada kulit. Gelombang UV-B dengan jarak sedang di bawah sinar matahari bertanggung jawab membunuh mikroba. Akan tetapi, menempatkan sel kulit pada risiko kerusakan akibat sinar matahari.
Sementara radiasi UV-C gelombang pendek telah terbukti efektif melawan virus seperti SARS-CoV-2, tetapi berbahaya bagi kesehatan kulit manusia. Di alam, jenis UV ini biasanya tidak bersentuhan dengan permukaan bumi karena terserap oleh lapisan ozon. Makin tipis lapisan ozon suatu tempat, makin buruk saringan sinar ultraviolet di lokasi itu.
Ahli toksikologi Oregon State University Julie McMurry mengungkapkan kelebihan dari UV-C.
“UV-C sangat bagus untuk rumah sakit. Tapi di lingkungan lain – misalnya, dapur atau kereta bawah tanah – UV-C akan berinteraksi dengan partikulat untuk menghasilkan ozon yang berbahaya” katanya.
Artikel terkait: Divaksinansi Justru Bikin Positif COVID-19? Ini Penjelasan Dokter!
Virus Corona 3x Lebih Sensitif Terhadap Sinar UV di Bawah Sinar Matahari
Sebelumnya pada Juli 2020 sebuah studi eksperimental menguji efek dari sinar UV pada virus Corona di air liur yang disimulasikan. Peneliti mencatat virus Corona tidak aktif saat terkena sinar matahari selama 10 hingga 20 menit.
Luzzatto-Feigiz dan tim membandingkan hasil tersebut dengan teori tentang bagaimana sinar matahari mencapai titik tersebut.
Hasil studi menunjukkan virus Corona tiga kali lebih sensitif terhadap sinar UV di bawah sinar Matahari dibandingkan influenza A. 90 persen partikel virus Corona nonaktif setelah hanya setengah jam terpapar sinar matahari siang hari di musim panas.
Para peneliti menduga ada kemungkinan bahwa UV-A gelombang panjang dapat berinteraksi dengan molekul di media pengujian (air liur yang disimulasikan) dengan cara yang mempercepat inaktivasi virus.
Hal serupa terlihat dalam pengolahan air limbah di mana UV-A bereaksi dengan zat lain untuk membuat molekul yang dapat merusak virus.
Jika UV-A dapat dimanfaatkan untuk memerangi SARS-CoV-2, cahaya khusus gelombang panjang diprediksi dapat berguna dalam meningkatkan sistem penyaringan udara. Sistem ini memiliki risiko yang relatif rendah bagi kesehatan manusia.
“Analisis kami menunjukkan perlunya eksperimen tambahan untuk menguji secara terpisah efek panjang gelombang cahaya tertentu dan komposisi medium,” ujar Luzzatto-Fegiz.
Angka Kematian Covid-19 Lebih Kecil di Daerah dengan Paparan Sinar Matahari Lebih Banyak
Sementara itu, tim peneliti asal Skotlandia yang dipimpin oleh Richard Weller dari University of Edinburgh mengungkapkan penemuan lain.
Studi yang diterbitkan “British Journal of Dermatology” ini menunjukkan bahwa sinar UV matahari mungkin memberikan perlindungan terhadap Covid-19. Hal ini didukung fakta bahwa daerah-daerah di Amerika Serikat yang lebih cerah dengan paparan sinar matahari lebih banyak memiliki angka kematian Covid-19 yang lebih kecil.
“Efeknya bukan karena penyerapan yang lebih baik dari vitamin sinar matahari yang sehat atau vitamin D,” kata Richard Weller dilansir Medicinenet via Suara.com.
Artikel terkait: Catat! Ini 3 Cara Melihat Sertifikat Vaksin COVID-19
Kelompok Weller menganalisis semua kematian Covid-19 yang tercatat di benua Amerika Serikat dari Januari hingga April 2020. Kemudian, membandingkan kematian dengan data tentang tingkat sinar ultraviolet matahari (UV) di negara bagian Amerika selama periode yang sama.
Menurut kelompok Weller, penjelasan yang mungkin adalah bahwa paparan sinar matahari menyebabkan kulit melepaskan bahan kimia yang disebut oksida nitrat. Beberapa penelitian laboratorium telah menemukan bahwa oksida nitrat dapat mengurangi kemampuan virus corona baru untuk bereplikasi dan menyebar.
Mereka melaporkan bahwa penelitian tersebut tidak dirancang untuk membuktikan hubungan sebab akibat. Namun, jika cahaya matahari benar-benar melemahkan Covid-19, mengoptimalkan paparan sinar matahari mungkin merupakan intervensi kesehatan masyarakat yang memungkinkan.
Baca juga:
Konsep Herd Immunity digadang efektif tekan penularan COVID-19, WHO beri peringatan
Ingat! Ini Saturasi Oksigen yang Aman di Masa Pandemi COVID-19