Apa arti ‘the new normal’ untuk Parents?
Harus menjalani aktivitas dengan menggunakan masker? Selalu cuci tangan setelah bersentuhan dengan benda, terlebih lagi sesaat sebelum makan? Mengubah perilaku yang tidak bisa lagi menjabat tangan dan memeluk keluarga dan sahabat? Atau, Parents memiliki arti lainnya?
Apa pun itu, fase ini memang harus dijalani.
Belum lama ini, Presiden Joko Widodo meminta masyarakat bersiap menjalani untuk kehidupan era normal baru dalam menghadapi pandemi COVID-19. Tentunya hal tersebut mengharuskan kita semua melakukan Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB).
Sayangnya, untuk sampai pada tahapan tersebut tidaklah mudah. Setidaknya, ada beberapa tahapan yang akan dirasakan lebih dulu. Selain itu, proses adaptasi tiap individu pun tentu saja akan berbeda, bergantung dari persepsi dan penerimaan.
Bagaimana cara agar kita tetap tenang dan menjalani era baru tanpa was-was berlebihan? Untuk membantu mengurangi rasa cemas tersebut, belum lama ini theAsianparent ID melakukan Instagram Live “Kiat Hadapi The New Normal, Anti Panik Panik Club” bersama dr. Andri, SpKJ, FAPM.
Kebetulan, saya sendiri yang berkesempatan untuk menjadi moderator. Saya pun akhirnya mewaliki untuk bertanya secara langsung beragam pertanyaan yang masuk. Berikut rangkuman tanya jawab yang saya ajukan pada psikiater dari RS. OMNI, Tangerang Selatan.
Pentingnya Memahami Arti The New Normal
Menurut Dokter sendiri, sebenarnya apa arti the new normal ini?
Ini memang istilah baru, ya. Pemahaman kita ini apa memang sama terkait dengan arti the new normal. Tapi menurut saya, arti the new normal adalah situasi yang akan kita jelang dan harus kita hadapi di tengah pandemi ini meskipun belum selesai.
Ada hal-hal yang memang sebelumnya belum kita lakukan, tapi harus kita lakukan. Jadi, dianggap dengan sesuatu yang normal. Misalnya sebelumnya nggak terbiasa pakai masker, sekarang harus pakai. Jika sebelumnya saat bertemu dengan teman, cipika cipiki, sekarang jadi tidak bisa lagi.
Selama pandemi masih ada dan vaksin belum ditemukan, jadi the new normal ini segala sesuatu hal yang harus dilakukan jadi kebiasaan baru. Dan bagi sebagian orang memang harus mulai bisa belajar beradaptasi. Buat saya, inilah arti the new normal.
Masuk dalam tahapan untuk bisa beradaptasi itu kan tapi tidak mudah. Banyak yang was-was, nah ini bagaimana, Dok?
Memang banyak merasa lebih cemas dengan keadaan ini. Pada awalnya, ini reaksi yang amat normal. Kita tentu saja berharap dengan situasi yang baru ini memang harus bisa beradaptasi. Jika tidak, hasil kedepannya tidak baik.
Kita bisa kelelahan, merasakan gejala kecemasan, bahkan bisa depresi. Makanya harus mencoba beradaptasi, sehingga the new normal jadi bagian dari tahapan awal dari kondisi ini. Kita tahu ini baru untuk kita semua. Tapi memang harus bisa mencoba beradaptasi untuk bisa kembali beraktivitas.
Artikel terkait : Jangan abaikan! Gangguan psikis ini bisa dipicu rasa stres
Lalu, bagaimana meminimalkan rasa kecemasan yang timbul?
Dalam menjalani the new normal ini kita memang harus rasional. Misalnya, saat ini saya tetap melakukan aktivitas seperti biasa. Masih praktik, tapi tidak seperti dulu. Saat bertemu dengan pasien, saya menggunakan masker, jaga jarak, tidak lama-lama bertemu dengan pasien, jika perlu face shield. Jadi, ada hal baru yang saya lakukan untuk mencegah penularan.
Jadi seharusnya, jika kita melakukan pencegahan tidak perlu terlalu was-was. Kita sering takut, padahal persentase orang yang tertular dan harus dirawat itu sebenarnya tidak banyak. Maka, kita juga harus yakin kita sehat dan tidak menularkan pada orang lain. Kita memang harus adaptasi segera dengan tatanan hidup yang baru. Tidak memandang rendah COVID-19. Tapi harus rasional, kurva memang baik, tapi kan tidak semua masuk Rumah Sakit.
Sayangnya, banyak yang justru jadi overthinking, nih, Dok. Belum apa-apa, mikirnya sudah ke mana-mana.
Overthinking itu sebenarnya mencoba cari sesuatu yang belum ada. ‘Waduh nanti gimana, nih?’, ‘Kalau itu terjadi gimana, nih?’. Hal seperti ini yang akhirnya membuat berpikir terlalu jauh. Overthinking ini juga biasanya dikarenakan adanya harapan yang terlalu tinggi. Ini tentu saja bisa berbahaya karena bisa menimbulkan kecemasan.
Nah, kalau sudah ada gejala cemas yang berlebihan, apa yang bisa kita lakukan, Dok?
Kalau memang sudah merasakan gejala seperti jantung berdebar-debar, badan seperti goyang, ini memang tanda-tanda psikosomatik. Cemas yang berlebihan. Jadi, apa yang bisa kita lakukan?
Coba tenangkan diri kita, lakukan apa saja yang bisa kita buat nyaman. Apa pun bisa dilakukan untuk bisa merasa nyaman. Soalnya, setiap orang ini tentu beda- beda untuk bisa menemukan rasa nyamannya. Ada yang senang baca buku, ada juga yang senang berkebun. Temukan apa yang bisa membuat nyaman.
Bagaimana dengan keluarga atau orang tua yang justru merasa sangat khawatir jika anaknya harus kembali beraktivitas?
Ini memang tantangan, tapi ikuti protokol standar. Jika kita harus keluar, kita harus belajar untuk membiasakan diri. Misalnya, dengan menggunakan masker, saat pulang ke rumah cuci tangan dulu, langsung mandi, dan bajunya langsung dimasukkan ke dalam bak khusus dan langsung dicuci.
Bagaimana jika anak-anak yang merasa terlalu cemas, Dok?
Kalau anak-anak, saya pikir sebenarnya jarang khawatir, yang kebanyakan khawatir itu dari orangtuanya. Anak-anak itu kan belum tahu bahayanya. Kita, orangtua memang sering kali ketakutan. Hingga menularkan ketakutannya pada anak-anak.
Oleh karena itu, perlu coba telaah lagi, informasi apa saja terkait dengan pandemi ini yang masuk. Jangan sampai ketakutan ini justru ditularkan pada orang lain. COVID-nya nggak kena, tapi cemasnya luar biasa sampai tidak bisa tidur.
Jika sampai merasa kesulitan tidur, apa yang perlu dilakukan?
Iya, sulit tidur itu kan bisa diartikan sebagai kesulitan memulai untuk tidur. Ada yang sulit memertahankan tidur, ada juga yang terbangun. Banyak yang mengalami kecemasan merasakan hal ini.
Saran saya, satu jam sebelum tidur, tidak screen time lagi. Tidak melihat media sosial, membaca berita terkait dengan pandemi, termasuk nonton film yang menegangkan. Jika sampai mimpi buruk.
Orang dulu bilang mimpi itu bunga tidur, tapi sebenarnya mimpi ini sebenarnya cara otak bekerja untuk menghimpun memori yang terjadi dari pagi sampai tertidur. Jika terlalu aktif, maka otak masih terus bekerja sehingga rasanya tidak tidur. Tidak dalam tidurnya atau deep sleep. Memang ada fase tidur tidak dalam, tapi memang perlu kita jaga.
Baca juga: Cemas virus corona bikin insomnia? Lakukan 6 tips agar bisa tidur nyenyak
Dok, cemas itu kan bisa menurunkan imunitas tubuh, namun seberapa signifikan, sih?
Kalau pertama kali saat kita stres sampai merasa cemas, saat awal sebenarnya imunitas justru malah meningkat. Karena kita berharap harus bisa menghadapi apa yang akan terjadi atau datang di dalam tubuh. Misalnya, bakteri yang sifatnya mengganggu tubuh.
Jika memang stres kelamaan, memang imunitas akan menurun. Stres di awal, itu justru imun anak meningkat, ada usaha untuk melawannya. Jadi, kalau saat stres, jangan terlalu lama. Harus bisa beradaptasi. Ini makanya ada istilah the new normal. Inilah saatnya untuk belajar ikhlas.
Wah, untuk ikhlas kan nggak gampang, Dok. Untuk sampai di titik itu prosesnya panjang sekali….
Ah, siapa bilang. Kalau merasa prosesnya panjang, itu mah dipanjang-panjangin saja, Kalau sudah kesal duluan, maka ujung-ujungnya malah stres. Kalau bicara ikhlas memang harus belajar untuk menerima. Apalagi situasi saat ini banyak juga yang kurang beruntung, penghasilan berkurang, potong gaji, tidak dapat THR, atau malah kena PHK.
Tapi yang penting justru semangat, bagaimana menghadapi the new normal. Kondisi nanti akan kembali seperti semula. Selagi masih sehat, masih punya semangat hidup dan tujuan hidup, nanti juga bisa mendapatkan penghasilan lagi. Jangan sampai menyerah dengan kondisi saat ini.
Saat ini fokusnya lebih ke tujuan saja dulu. Dengan memiliki tujuan dalam hidup, kita akan merasa lebih nyaman. Mampu mendorong diri sendiri dengan tujaun. Kalau hidup nggak ada tujuan, ibaratnya seperti kapal yang tidak ada tujuan, jadi terombang ambing saja di laut.
Bagaimana caranya mengatur energi dan perasaan dalam menjalani the new normal, sementara kita tahu pandemi belum selesai?
Mengatur energi ini salah satunya bisa dimulai dengan berbicara yang santai, pelan-pelan saja. Belajar juga untuk bisa mengelola perasaan dan pikiran sehingga energi tidak perlu keluar untuk hal yang tidak perlu. Being mind full.
Belajar berpikir positif tahap demi tahap. Pertama, belajar untuk bisa percaya pada diri sendiri, ini bisa membuat kita memiliki energi. Kalau kita tidak percaya diri, jadi cepat khawatir. Saat kita confidence tidak menular, ini bisa meningkatkan energi secara tidak langsung, kalau was-was terus maka energi kita juga bisa berkurang. Jadi merasa confidence, tapi tetap waspada dan tidak menyepelekan.
Itulah mengapa, meningkatkan energi positif bisa dilakukan dengan berkumpul bersama orang-orang yang memiliki pikiran yang positif. Dan menurunkan energi saat berkumpul dengan orang yang sinis, capek sehingga dapat menurunkan energi. Kondisi ini sama juga dengan saat kita mendapatkan informasi yang berlebihan, sehingga bisa menimbulkan rasa lelah.
PSBB ini sebenarnya kesempatan kita untuk bisa belajar mengubah perilaku, sayangnya banyak yang tidak peduli merasa baik-baik saja. Padahal, kita yang harus sama-sama menjaga. Apa sulitnya, sih, menjaga jarak dan pakai masker? Yang paling penting, kita yang harus menjaga diri kita sendiri. Kalau sudah melakukan tahapan atau prosedur dengan baik, tidak perlu sampai khawatir berlebihan. Dengan demikan, arti the new normal bisa dijalankan dengan baik.
Semua akan berpulang pada diri kita sendiri. Kita yang memiliki kemampuan untuk memikirkan apa pun untuk mengendalikan rasa cemas. Biar bagaimana pun kita tidak bisa menghindari kalau the new normal ini memang harus dilalui dan lewati, karena yang terpenting kita juga perlu jaga diri. Jangan pernah putus asa dan memiliki tujuan dalam menjalani hidup ini, termasuk menjalani kehidupan.
***
Meski pun pandemi COVID-19 belum berakhir dan aktivitas harus kembali berjalan, semoga arti the new normal dan bagaimana harus menjalaninya yang disampaikan dr. Andri, SpKJ, FAPM bisa membantu Parents dalam beradaptasi. Semangat untuk kita semua!
Baca juga :
Kurangi cemas dengan melatih mindfulness selama di rumah saja
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.