Parents tentu sudah cukup familiar dengan istilah ‘separation anxiety’, suatu kondisi di mana anak takut berpisah.
Umumnya, hal ini akan dirasakan oleh anak di bawah usia 3 atau bahkan 5 tahun. Seorang anak kerap merasa khawatir ketika ia mulai masuk ke sekolah atau lingkungan baru dan bertemu dengan orang-orang yang belum ia kenal. Tidak jarang, anak tak sekadar menempel, tetapi hingga menangis dan tak ingin ditinggalkan.
Jika melihat anak takut berpisah, apa yang akan Parents lakukan? Tetap menemaninya atau jutsru meninggalkannya, berharap jika anak bisa berani dan belajar mandiri.
Setidaknya hal ini diakui oleh Intan, kepada theAsianparent ID ia mengaku saat putrinya mulai masuk Taman Kanak-kanak saat usia 4 tahun, Intan melepasnya begitu saja.
“Ya memang, sih, anaknya sempat nangis. Minta saya untuk menemaninya. Tapi saya pikir, kalau saya menemaninya hari itu, bagaimana besok-besok? Bisa-bisa nggak bisa lepas, selalu minta ditemani saat sekolah. Jadi, kapan belajar berani dan mandirinya, dong? Jadi, saya memutuskan hanya menemaninya beberapa jam, lalu saya pergi ke kantor,” paparnya.
Apa yang dialami Intan mungkin juga dirasakan Parents yang lainnya. Merasa resah saat melihat anak takut berpisah, was-was jika anak jadi tidak mandiri kemudian akhirnya memutuskan untuk pergi meninggalkannya. Beharap anak berani.
Pertanyaannya, apakah langkah ini tepat dilakukan? Berdampak positif untuk kemudian hari atau justru malah menimbulkan dampak negatif bagi anak?
Anak Takut Berpisah, Apa yang Perlu Dilakukan?
Belum lama ini, dr. Putu Ayuwidia Ekaputri yang tengah mengambil pendidikan S2 Cognitive Neuroscience di Swedia menjelaskan, pada dasarnya kondisi anak takut berpisah sebenarnya berkaitan erat dengan perkembangan otak anak yang memang belum maksimal.
Lewat sesi Instagram Live bersama dr. Santi Yuliani, SpKJ, dr. Widia menerangkan bahwa kondisi anak takut berpisah memang akan dirasakan atau dilewati semua anak.
“Justru, perlu dipertanyakan juga loh, kalau ternyata anak itu nggak khawatir sama ibu atau orangtuanya. Kenapa, nih? Kok, anak saya malah anteng saja berpisah? Jangan-jangan attachment-nya kurang. Padahal, attachment antara anak dan orangtua itu kan perlu sekali. Ini juga terkait dengan tumbuh kembangnya saat anak remaja,” tukasnya.
Dikatakan dr. Widia, tidak sedikit orangtua yang bertanya-tanya, saat anaknya sudah memasuki masa remaja jadi tidak dekat, atau tidak terbuka. Memang, saat anak tumbuh remaja, ia seakan memikili ‘dunianya sendiri’, meskipun demikan bukan berarti hubungan dengan orangtua menjadi jauh.
“Memang anak remaja sudah ada peer group, jadi seakan nggak mau dengar. Teryata ini pengaruhnya memang dari dulu, kurang adanya attachment,” ujarnya.
Nyatanya, kedekatan atau attachment yang dibangun orangtua kepada anaknya, merupakan modal dasar berkembangnya otak bagian bawah anak, di mana otak di bagian bawah ini sangat yang berkaitan dengan emosi manusia.
“Prinsipnya, otak ini merupakan pusat segalanya termasuk dengan fungsi atau mengatur organ tubuh, termasuk emosi dan perasaan anak. Sebenarnya, otak kita itu juga saling terkait jadi memang sulit jika dibagi atau dipisah secara spesifik.
Tapi kalau memang dalam kaitannya parenting, untuk mempermudah memang ada yang membagi bagian otak menjadi 4 bagian. Atas dan bawah, samping kanan dan kiri.
Di area otak bagian atas itu bagian cortex atau bagian frontal, logika kita bekerja di bagian otak ini. Sedangkan, lantai bawah itu yang terkait dengan emosi atau yang disebut dengan amigdala. Jadi, semua bagian otak memang punya fungsi yang cukup spesifik.”
Pentingnya Membangun Otak Area Amigdala dengan Maksimal
Lebih lanjut dr. Widia menerangkan, sejak lahir bayi memiliki otak, tetapi memang akan terus berkembang. Dikatakan dr. Widia, otak anak yang lebih dulu tumbuh memang di area bagian bawah, yang terkait dengan emosi.
Amigdala merupakan bagi otak yang memiliki tanggu jawab mempersiapkan tubuh dalam situasi darurat, seperti terkejut, dan menyimpan kenangan.
“Tuhan itu menciptakan kita untuk bisa bertahan hidup, nah, inilah salah satu fungsi amigdala. Seorang anak saat lahir juga sudah dibekali dengan kemampuan untuk bertahan hidup. Kemampuan ini adanya di area otak bagian bawah, di situ ada amigdala yang bekerja untuk melindungi manusia.
“Saat anak lahir, anak nggak akan mikir sesuatu yang logis lebih dulu. Karena memang dianggap nggak penting. Ketika anak lahir otak itu tentu saja sudah ada, tapi memang yang lebih matang itu di bagian bawah dulu. Makanya anak sejak lahir sudah bisa menunjukan emosinya.
Begitu lahir sudah langsung nangis, karena dia masih bingung ada di mana. Saat lapar juga nangis. Jadi inilah kenapa bayi lahir menangis, karena itu mekanisme bayi untuk bertahan hidup.”
Inilah sebabnya, bonding atau attachment anak dan orangtua harus terus dibangun dipelihara. Agar anak bisa percaya dan nyaman kepada orangtuanya.
“Jadi, kalau anak melewai fase separation anxiety, anak takut berpisah, itu wajar sekali. Kadang yang salah, orangtua justru sering mendorong untuk anak mandiri, dalam artian, ‘ah nggak mau temenin anaknya, supaya anak juga bisa terbiasa. Saat dipaksa, anak jadi akan takut. Memang lambat laun anak akan bisa ‘dilepas’ tapi ini dikarenakan anak sudah beradaptasi.”
Jadi apa yang bisa dilakukan saat anak takut berpisah atau melewati fase ‘separation anxiety’?
“Kalau anak sedang khawatir, harus dikomunikasikan. Konfirmasi dan validasi perasaannya. Nggak apa kalau cemas, nggak apa kalau takut, tapi terangkan juga kalau kita ada untuk menemaninya. Jangan juga bohong, pergi tiba-tiba. Karena ini akan terus terekam di otak anak. Bahkan anak akan merasa dibohongi.
Di kemudian hari anak bisa merasa nggak nyaman yang berlebih ketika mengadapi situasi perpisahan. Baik dengan orangtua, pasangan, atau anaknya kelak. Ini karena akibat memori yang terbentuk di otaknya secara tidak sadar selalu mengaitkan perpisahan dengan situasi yang menyakitkan.”
Padahal dengan orangtua memenuhi kebutuhan attachment, bisa mempupuk kepercayaan diri anak di masa depan. Risiko anak mengalami anxious attachment, childhood truma, fear of abandonmen, trauma bonding, ini pun bisa dicegah.
Oleh karena itu, saat anak mengalami separation anxiety, atau anak takut berpisah, sikapi dengan bijak, ya, Parents!
Baca juga:
Anak Takut Sama Dokter? Ini 7 Tips Mudah Mengatasinya
7 Ucapan Orangtua yang Paling Berdampak Buruk bagi Perkembangan Psikologis Anak
Apakah Anak Saya Mengalami Trauma?
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.