Jepang dikenal sebagai negara dengan tingkat kelahiran cukup rendah. Tak heran, pemerintah setempat memanjakan perempuan yang akan memiliki anak. Hal ini dirasakan langsung oleh seorang WNI melahirkan di Jepang.
“Semenjak hamil dan melahirkan di Jepang aku baru tau kalau…” menjadi pembuka seorang pengguna Tiktok bernama Veronikarlyn. Beragam keuntungan dirasakan oleh perempuan yang tengah bekerja di Negeri Matahari Terbit tersebut.
Cerita WNI Melahirkan di Jepang, Banyak Dapat Insentif
Dalam reels singkat itu, Veronika membeberkan serba serbi kala dirinya melahirkan buah hati di Jepang. Fakta menarik pertama, di Jepang tidak ada susu hamil layaknya bumil di Indonesia.
“Di Jepang nggak ada susu hamil. Awal hamil sering muntah dan makanan nggak masuk, udah bilang ke dokter tapi nggak diaksih susu.
Senaturalnya aja, makan apa yang bisa dimakan, nanti juga pas mualnya hilang bisa makan kok. Begitu kata dokternya” ujar Veronika memulai ceritanya.
Tak hanya itu, spesialis kandungan di Jepang nyatanya sangat disiplin perihal berat badan ibu hamil. Dalam kurun waktu sebulan, seorang ibu hamil hanya dibolehkan naik berat badan 1 kilogram saja.
Kemiripan dengan Indonesia, Jepang juga mengenal pin ibu hamil yang disebut Maternity Badges. Uniknya, pin ala Jepang berbentuk gantungan kunci. Dengan badges tersebut, masyarakat akan tahu kalau kita sedang hamil.
Keuntungan berikutnya amat dirasakan Veronika. Terdapat tunjangan negara sebesar 10 juta rupiah, dengan rincian 5 juta diberikansaat sedang mengandung. Lalu 5 juta rupiah sisanya akan diberikan setelah sang ibu melahirkan.
Artikel Terkait: Mengenal MPASI Jepang yang Jadi Tren, Bolehkah Diterapkan di Indonesia?
Tidak Semua Orang Bisa Mendapat Fasilitas Ini
Tak lama setelah bayi lahir, ibu akan diberikan pelatihan dasar merawat anak. Salah satunya ofuro atau bagaimana cara memandikan bayi. Tujuannya tentu saja agar ibu siap merawat buah hatinya.
“Setelah lahiran dan pulang dari rumah sakit, kita bisa dapat pengasuh bayi gratis selama 1 bulan. Mungkin pemerintah mikirin ibu yang sendirian, nggak ada yang bantuin. Tapi aku nggak ambil, karena mama mertua bakal bantu urusin” sambung Veronika.
Subsidi lain yang turut diberikan negara Jepang antara lain uang cuti hamil sebesar 40 juta. Nominal ini akan berbeda bergantung daerah tinggal dan perusahaan tempat kita bekerja.
Selain itu, ibu hamil juga akan mendapat biaya persalinan sebesar 50 juta yang akan langsung ditransfer ke rekening. Namun, tidak sembarangan orang bisa mendapatkan fasilitas ini. Ada syarat yang harus dipenuhi.
“Semua tunjangan yang aku ceritain itu nggak sembarangan dikasih ke semua orang. Yang dapet itu orang Jepang, orang asing yang kerja di Jepang, orang asing yang suaminya bekerja di Jepang, orang yang menikah sama orang Jepang. Intinya orang yang punya suransi di sini” jelas Vero.
Jangan bayangkan rumah sakit Jepang sama kayak di Indonesia ya, Bun. Di Jepang, ibu hamil total sendirian mulai dari sedang kontraksi hingga si bayi lahir!
“Di RS Jepang nggak boleh ditemenin ya. Jadi yang namanya kontraksi ya sakit sendirian, suami atau keluarga nggak boleh nemanin.
Baru pas detik lahiran baru boleh telfon suami, itu pun suami dateng juga cuma sebentar habis itu disuruh pulang lagi sama RS. Ada jam besuk, tapi cuma sehari dan 1 jam aja. Itu juga yang boleh besuk cuma keluarga, teman nggak bisa” lanjut Vero.
Artikel Terkait: Mengenal Program Bayi Tabung Teknologi Jepang, Lebih Efektif dan Terjangkau!
Suster di Jepang Sangat Memperhatikan Mental Ibu Baru
Selain fasilitas, hal menyenangkan ditunjukkan Vero tentang attitude perawat di Jepang yang menurutnya sangat ramah. Vero sempat membandingkan dengan kualitas suster di Indonesia.
“Suster dan dokternya RAMAH BANGET. Gak ada yang jutek sama sekali. Trauma pernah dulu dijutekin suster di Indonesia. Di sini beda” urai Veronika.
Kendati tidak ada yang menemani saat melahirkan, Vero tidak merasa sendirian. Suster di Jepang gercep mengajarkan banyak hal. Mulai dari menyusui, cara meracik susu yang benar, hingga hal pengasuhan bayi lainnya.
Usai persalinan, ibu baru disuguhkan menu makanan yang lezat dan pastinya bergizi. Berbeda dengan di Indonesia, ibu di sana harus mengambil sendiri makanan walau baru selesai mendapat jahitan!
“Waktu kontraksi aja karena lagi kesakitan kan jadi dianterin ke kamar. Abis beberes dijahit langsung harus jalan sendiri ambil makan. Besoknya habis lahiran langsung dikasih makanan enak dan kartu ucapan selamat karena habis melahirkan” tukas Vero.
Tidak sebatas kesehatan fisik, pun kesehatan mental ibu baru melahirkan di Jepang diperhatikan sangat mumpuni. Vero menuturkan suster tak hanya fokus pada kesehatan fisik ibu dan bayi tetapi menanyakan hal lain yang mungkin belum terbersit di benak orang Indonesia dewasa ini.
Seperti feeling ibu setelah melahirkan seperti apa, apakah setelah melahirkan merasa sedih, depresi, benci bayinya atau tidak. Vero melihat isu baby blues menjadi concern di Negara Sushi.
Berhubung Vero juga bekerja di Jepang, Vero tetap berhak mendapatkan cuti mengasuh anak dengan gaji 60% dibayarkan selama 6 bulan di awal. Berikutnya, persentase akan berubah menjadi 50%.
Menariknya, jika WNI menikah dengan orang Jepang maka nantinya bayi bisa mendapatkan kewarganegaraan Jepang saat dewasa.
Tren Kelahiran di Jepang
Melihat keistimewaan yang didapat Veronika, kedengarannya nikmat ya melahirkan di Jepang. Namun, kebijakan ini berlaku bukan tanpa alasan. Tingkat kelahiran bayi di Jepang memang tergolong rendah.
Faktanya, populasi Jepang resmi menurun di seluruh wilayah atau 47 prefektur. Penurunan itu terjadi sejak pertama kali survei penduduk dimulai 1968 silam. Merujuk laporan Kyodo News, populasi Jepang tahun lalu sebesar 122,4 juta alias turun 801 ribu orang. Survei itu dilaksanakan oleh Kementerian Dalam Negeri dan Komunikasi Jepang.
Pulau Okinawa juga melaporkan penurunan populasi sejak 1973. Per 1 Januari 2023, total seluruh populasi Jepang adalah 125,4 juta, termasuk warga asing. Jumlah itu menurun 511 ribu dari setahun sebelumnya.
Adapun meningkatnya populasi di Jepang karena adanya 289 ribu orang asing sehingga jumlahnya menjadi 2,9 juta orang. Prefektur Akita mencatat penurunan populasi tertinggi, yakni 1,65 persen.
Anak usia 14 tahun ke bawah di Jepang sejumlah 11,82 persen dari populasi Jepang, menurun 0,18 persen poin dari tahun sebelumnya. Sebaliknya, populasi usia 65 tahun ke atas naik 0,15 persen poin menjadi 29,15 persen. Populasi usia kerja di Jepang masih menjadi yang dominan, naik 0,03 persen poin menjadi 59,03 persen.
Banyaknya tunjangan WNI melahirkan di Jepang memang tergolong menggiurkan. Namun, patut digarisbawahi bahwa pajak dan biaya hidup di sana juga tinggi. Semoga menginspirasi!
Baca juga:
7 Rahasia Sehat Anak Jepang yang Bisa Parents Tiru di Rumah
12 Etika Makan Orang Jepang, Jangan Sembarangan Taruh Sumpit!
5 Cara Mendidik Anak Ala Jepang agar Disiplin tanpa Perlu Marah-marah
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.