Kekerasan seksual memang ibarat bola salju yang terus bergulir. Setidaknya hal ini dibuktikan oleh beragam peristiwa yang memperliatkan bahwa kekerasan seksual pada anak masih banyak terjadi. Padahal, hal ini bisa dicegah dengan pendididkan seks sejak dini. Termasuk mengenalkan konsep underwear rules .
Belum lama ini, lewat akun Instagram pribadinya, @novitatandry, Psikolog Anak dan Remaja Novita Tandry, menceritakan sebuah kasus yang sedang ia tangani. Seorang remaja yang menjadi korban kebrutalan predator seks.
Kisah pilu seorang anak mengalami pelecehan seksual dari guru kelasnya
Bukan tanpa alasan mengapa Novita menceritakan kasus yang terjadi pada kliennya. Hal ini karena ia ingin setiap orangtua waspada terhadap kasus pelecehan seksual yang masih banyak dialami anak tanpa diketahui orangtuanya sendiri. Pun agar setiap orangtua yang membacanya akan memberikan pendidikan yang benar untuk anak-anaknya.
“HATI-HATI DENGAN PREDATOR SEKSUAL ANAK
Sepasang suami istri keren dan cantik konseling tentang anak perempuannya, sebut saja CH yang berusia 10 tahun, kelas 4 SD untuk konseling tentang nilai akademik yang menurun drastis dua tahun terakhir ini.
Itu aja. Tidak ada penjelasan detail mengapa nilainya merosot? Hanya meminta saya supaya nilai akademiknya bisa naik lagi alias bisa juara lagi!,” tulis Novita.
Mulanya, tidak ada yang mencurigakan selain masalah akademis yang turun dari CH. Namun saat CH melakukan konseling dengan Novita, ternyata CH sudah menjadi korban pelecehan seksual oleh guru kelasnya sendiri selama dua tahun.
“Minggu berikutnya giliran ananda CH yang konseling dan hasilnya? CH selama dua tahun ini sejak usia 8 tahun diperkosa dari anal dan vagina! Oleh guru kelasnya yang merupakan wali kelasnya sendiri! Kaget? Dan ini terjadi di rumahnya sendiri dan disaksikan oleh pengasuhnya!
Dan orangtuanya tahu dari teman baik CH yang bercerita ke orangtuanya bukan dari CH! Memilukan sekali. CH menangis dan saya memeluknya.”
Instagram @novitatandry
Ketidakhadiran dan ketidakpedulian orangtua CH saat anaknya mengalami pelecehan seksual, akhirnya berdampak pada fisik dan psikisnya. Nilai akademisnya yang turun adalah satu dari sekian banyak efek dari kejadian yang dialami CH saat itu.
“Dan saya tanyakan mengapa tidak melaporkan ke Mama dan Papa? Jawabannya, Mama Papa terlalu sibuk, ngga pernah ada di rumah, selalu pulang malam dan terus berantem, kalau sudah berantem terkadang tidak pulang ke rumah. Takut dimarahin juga.
Sakit nggak? Sakit sekali sampai tidak bisa tidur serta sulit bab/bak.
Orangtuanya saya panggil dan bertanya kenapa tidak jujur menceritakan semuanya? Jawabannya, ‘kan gurunya sudah saya pecat, sudah pindah sekolah, masih kecil kok waktu kejadiannya dan kita mau fokus ketemu ibu sebagai Psikolog Anak dan Remaja bagaimana supaya bisa BIKIN anak saya JUARA lagi. Berapa pun biaya ibu saya bisa bayar!’.”
Psikolog Anak dan Remaja dari Nurture Teach Observe Childcare and Early Education ini mengaku tidak habis pikir saat mendengar jawaban orangtua CH. Padahal, sungguh tidak ada yang lebih penting daripada kesehatan mental anak seperti CH sebagai korban pelecehan seksual.
“Tipe ibu yang menilai segala sesuatu bisa dibayar pakai uang! Jawaban saya, “Yntuk balik normal aja udah pasti nggak bisa, ibu malah harap juara, itu bukan tujuan kita saat ini, ini DIPERKOSA loh dari anal dan vagina! Ampuunn deh .. ibu bisa berubah gak? Ikut cara saya? Berhenti kerja dan Papanya ikut terlibat? Kalau iya, kita lanjut, kalau tidak, silahkan ibu cari Psikolog lain! (Kesallah saya).”
Peringatan untuk setiap orangtua agar membekali anak dengan pendidikan seksual
Sebagai psikolog anak dan remaja, Novita menyayangkan sikap orangtua yang menjadi kliennya tersebut.
“Terus terang, saya bingung terkadang dengan orangtua yang anaknya sudah menjadi korban kekerasan seksual dan bisa berlangsung selama dua tahun dan tidak pernah sekalipun tahu atau curiga saja pada saat anaknya kesakitan setelah dipenetrasi lewat anus dan vagina, mustinya sangat sakit untuk duduk, cebok, tidur atau mandi.
Kok, sedemikian lalai dan cueknya, yah? Heran dan tidak habis pikir, di rumah itu ngapain, yah? Sampe rumah main hp doang terus masuk kamar, tidur? Lupa kalau ada anak?”
Novita melanjutkan, setelah tiga bulan CH melakukan konseling dengannya, gadis remaja ini mulai berangsur tenang dan pelan-pelan dapat membenahi psikisnya. Meskipun ia masih teringat akan kejadian buruk yang menimpanya dulu.
“Oh yah.. setelah tiga bulan bolak balik Jakarta dan Surabaya akhirnya CH mulai berangsur tenang dan pelan-pelan bisa fokus tapi PTSD yang dialami masih terkadang menghantui pada saat bertemu dengan orang yang mirip dengan mantan gurunya yang predator seks.”
Ajarkan anak tentang underwear rules sedini mungkin
Belajar dari cerita yang dibagikan oleh psikolog Novita Tandry, sangat penting untuk Parents mendampingi dan memberi edukasi pada anak-anak terhadap kekerasan seksual. Dikatakan Novita, sebaiknya ajarkan anak sedini mungkin mengenai underwear rules.
Langkah ini bagian dari pendidikan seks yang perlu dikenalkan sejak dini. Dimulai dengan memberikan pemahaman pada anak bahwa ada bagian area tubuhnya yang tidak boleh disentuh oleh orang lain.
“So.. Parents.. Ajarkan anak-anakmu sejak DINI tentang Underwear Rule yang sangat sederhana.
Ajarkan bahwa mereka tidak boleh membiarkan seseorang menyentuh bagian tubuh mereka yang tertutup pakaian dalam. Anak-anak juga diajarkan untuk tidak menyentuh bagian tubuh milik orang lain.
Tegaskan bahwa tubuh adalah milik pribadi. Ada rahasia baik dan rahasia buruk (dengan ancaman). Ada sentuhan baik dan sentuhan yang buruk,” tegas Novita.
Saat anak sudah sudah memasuki usia pra remaja, jelaskan padanya fungsi alat kelamin laki-laki dan perempuan.Novita pun mengingatkan agar para orangtua tidak menyebutkan alat kelamin anak mereka dengan kata penggannti. Misalnya penis dengan burung. Hal ini justru hanya bisa membuat anak kusulitan untuk memahami dengan jelas.
Toh, sebenarnya penis atau pun vagina merupakan organ tubuh layaknya mata, hati, ginjal, atau pun paru-paru, jadi untuk apa mengubahnya?
“Sebut alat kelamin mereka dengan serius : PENIS dan VAGINA bukan dengan sebutan : burung atau kue apem! Dan semua itu membutuhkan, sekali lagi, KEHADIRAN ORANGTUA yang menstimulasi setiap sensori, emosi dan akal budinya di setiap tahapan tumbuh kembangnya!,” tutup Novita.
Biar bagaimana pun dengan pendidikan seks sedini mungkin, memberikan pemahaman pada anak sesuai dengan tubuh kembangnya merupakan salah satu mencegah terjadi kekerasan seksual pada anak.
Sudahkah Parents melakukannya?
***
Referensi: Instagram Novita Tandry
Baca juga
Inilah Panduan Pendidikan Seksual untuk Anak Menurut UNICEF dan WHO
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.