Menjadi ibu rumah tangga yang mengurus kebutuhan rumah dan anak memang tidak mudah. Banyak istri yang hampir frustasi karena jenuh dengan segala rutinitas yang ada.
Kehidupan rumah tangga yang sudah dijalani tak menjamin bahwa antara suami dan istri akan bersikap terbuka tentang apa yang dibutuhkan. Kadang, istri maupun suami menahan diri untuk mengatakan apa yang mereka butuhkan dari pasangan sehingga memendam masalah yang suatu saat bisa meledak kapan saja.
Di bawah ini adalah surat terimakasih dari seorang istri pada suaminya. Ia menyadari bahwa sebagai istri yang hampir frustasi, ia tak melihat segala sesuatunya dengan jelas. Ia juga lupa bersyukur.
Saat ia mulai menyadari bahwa suaminya telah melakukan yang terbaik, maka ia menulis surat terimakasih dan permintaan maaf ini untuk suaminya.
Berikut ini surat yang ditulis oleh Jess Oakes, yang juga dimuat di laman Positively Oakes and The Huffington Postterkait dengan istri yang hampir frustasi
Suamiku tersayang,
Kemarin, aku cukup marah sebelum kita berada di tempat tidur. Marah padamu, marah pada dunia, frustrasi, lelah dan, yang terpenting, sedih.
Aku tahu mereka mengatakan bahwa tidur bersama di tempat tidur dalam keadaan marah itu terlarang, tapi pada saat itu aku bahkan tidak peduli lagi. Aku ingin marah padamu, dan aku juga ingin berkubang mengasihani diri sendiri.
Aku marah bahwa kamu pun tidak mengerti mengapa aku marah. Aku marah karena kamu tidak bisa membaca pikiranku, dan aku juga harus menjelaskan kepadamu perasaan yang sebenarnya sedang aku rasakan.
Dan aku frustrasi karena aku merasa selalu sendirian saat melakukan banyak hal. Hal ini sudah seringkali terjadi.
Bahkan, hal ini terjadi hampir setiap hari dalam minggu ini.
Mengapa kamu tidak mengerti apa yang sedang aku rasakan? Mengapa kamu tidak melihat bahwa aku mencoba untuk bekerja sepanjang hari, merawat bayi kita, membersihkan rumah, membayar tagihan dan menyempatkan diri melakukan hal lainnya juga?
Aku juga pergi berbelanja. Setidaknya aku sudah mencoba memikirkan nanti malam mau makan apa, jika aku tidak memasaknya.
Aku banyak menangis pada siang hari, dan aku mencoba untuk mencari tahu bagaimana caranya agar dapat menyeimbangkan semuanya saat kamu pulang ke rumah nanti.
Kemarin adalah hari yang sulit. Sebenarnya seperti kebanyakan hari yang lainnya juga.
Anak kita yang sangat lucu -jangan salah paham, dia adalah anak terimut- adalah anak yang sulit.
Dia tidak tidur sepanjang malam, yang dia inginkan adalah bermain sepanjang hari. Dia merusakkan banyak hal. Dia menangis, dan juga mencabut bulu-bulu anjing kita.
Aku tidak bisa mengimbanginya. Setelah dia membuang seluruh makanan anjing dan menuangkan seluruh cangkir air minumnya ke tanah, aku benar-benar kehilangan kontrol.
Aku menangis. Air mata berlinang ketika aku menangis dan yang bisa aku lakukan hanya duduk dan berpikir, Mengapa ini semua terjadi? Ini sangat tidak adil.
Kemarin kesabaranku habis, lenyap sama sekali. Aku tidak mampu manengani teriakan anak kita yang terjadi setiap dua menit sekali.
Rumah kita adalah bencana, dan kami punya begitu banyak hal yang harus dilakukan pada hari berikutnya.
Aku pikir, aku akan kehilangan kewarasanku.
Kemudian kamu pulang kerja, dengan wajah tenang. Kamu menyapa kami dengan kecupan. Kamu menggendong bayi kita yang cantik, memeluknya dan mendudukkannya di antara mainannya.
Kamu sangat “tenang,” tidak peduli apa yang terjadi di dunia ini, tidak khawatir pada apa yang berlangsung di dunia ini. Yang ada hanya wajah gembira.
Aku kesal. Sebenarnya, itu adalah tindakan yang cukup meremehkan. Aku sangat marah. Aku memiliki seluruh kekacauan dan emosi. Sedih, marah, kewalahan, frustrasi, apapun sebutannya.
Bagaimana bisa kamu begitu tenang? Apakah kamu tidak tahu apa yang sudah aku jalani sepanjang hari ini?
Apakah kamu peduli bahwa aku di sini bekerja keras, hanya melihat tujuan hidup dan berjuang dengan impianku, berusaha untuk merawat bayi, merawat rumah tangga kita, sekaligus menjadi istri dan melakukan segalanya.
Apakah kamu tidak melihat segalanya?! Tapi aku tidak akan mengatakan apa-apa.
Aku hanya membiarkannya mendidih di dalam diriku, bernanah, tahukah kamu bahwa segalanya akan jadi sebuah ledakan suatu hari nanti.
Ketika malam hari tiba, kita mengerjakan tugas-tugas kita, kita akan menyuapi bayi kita dan makan malam. Kaitaakan menghabiskan waktu bersama sebagai keluarga dan kemudian ia mulai tertidur.
Waktu tidur bagi kaita adalah bergulingan di tempat tidur. Aku akan berbaring di tempat tidur, sambil mengingat segala sesuatu yang sudah aku lakukan, kemudian aku akan jadi frustasi karena tidak melakukannya dengan baik, frustrasi itu tidak baik.
Aku tidak mengatakan apapun; hanya bisa berbaring ketika kamu melakukan kepentinganmu dan aku pun begitu – hanya aku yang merasa sedikit frustasi.
Aku benar-benar sedih. Segalanya terasa terulang kembali.
Kamu berbaring di kasur tak berdaya di sampingku. Kamu sama sekali tidak tahu apa yang sedang terjadi di dalam kepalaku.
Kemudian kami mulai berbicara, tapi aku sedang tidak ingin bicara. Aku hanya mengangkat bahu. Kamu bertanya apa yang salah, dan aku menjawab, “Tidak ada.” Aku mandi, naik ke tempat tidur, dan menghindari semua interaksi denganmu.
Kemudian kamu berkata, “Berhentilah mengatakan “tidak apa-apa.” Apa yang salah? Katakan padaku apa yang salah!”
Aku mulai memuntahkan kata-kata, seperti perempuan yang kejam, dan saat itu aku mengatakan segala yang ada di pikiranku.
Kamu tidak membantu mengasuh anak kita.
Kamu tidak membersihkan rumah.
Kamu tidak mengatakan terima kasih.
Kamu tidak peduli tentang aku.
pekerjaan yang aku lakukan gagal.
Aku benci tubuhku
Kamu hanya peduli soal dirimu sendiri.
Segalanya keluar dan aku tertidur di kasur.
Kemudian aku bangun di pagi hari, kamu mengeluarkan bayi perempuan kita yang manis dari tempat tidurnya, membuatkannya susu dan membawanya ke tempat tidur kita.
Sama seperti yang kamu lakukan hampir setiap pagi lainnya. Kamu akan melompat dari kamar mandi, bersiap-siap untuk bekerja dan membantuku membuang sampah keluar, seperti yang kamu lakukan hampir setiap pagi lainnya.
Aku membuat sarapan untuk diriku sendiri dan bayi kita, kemudian kita akan duduk untuk makan bersama. Kamu segera bergegas untuk mempersiapkan segala keperluan pekerjaanmu dan berkata bahwa kamu mencintai kami – seperti yang kamu lakukan setiap paginya.
Kamu melakukan hal-hal seperti ini setiap pagi. Kamu melakukan ini setiap hari.
Kamu pergi bekerja seperti yang aku lakukan, demi membantu menyediakan kebutuhan kita sehari-hari. Kamulah yang mengerjakan pekerjaan di halaman rumah, kamulah yang membuang sampah, kamulah yang akan memastikan bahwa kita aman.
Dan itu terjadi setiap hari.
Ketika aku berkata bahwa aku butuh bantuan, kamu akan membantuku. Ketika aku menangis kepadamu, kamu selalu berusaha untuk memperbaikinya.
Ketika aku menjelaskan bahwa aku membutuhkan sesuatu di sekitar rumah dalam waktu tertentu, kamu melakukannya. Kamu begitu “tenang” sepanjang waktu karena seseorang di rumah ini perlu melakukankannya, dan seseorang itu bukan aku.
Kamu adalah lem yang menyatukan kita. Kebahagiaanmulah yang membuat kita tertawa ketika aku sedang stres dan kewalahan. Kamulah kedamaian dan kenyamanan yang membuat keluarga ini terasa lengkap.
Kenapa aku begitu marah? Aku akan memberitahumu: Karena 95 persen hanya terjadi di kepalaku. Sehingga aku melemparkan diriku sendiri ke dalam kubangan rasa mengasihani diri sendiri
Orang lain di sekitarku pun juga sedang jatuh. Bukan hanya aku sendiri yang sedang berjuang: kamu juga melakukan kesalahan.
Aku berharap kamu membaca pikiranku sekalipun kenyataannya itu tak mungkin. Alih-alih meminta kamu untuk membersihkan dapur, aku hanya membersihkannya dan marah kepadamu karena tidak melakukannya.
Saat bayi kita menangis, aku akan segera menggendongnya dan kemudian memarahimu karena tidak beranjak dan menggendong bayi kita dengan cepat.
Aku tidak meminta, aku membencimu karena itu.
Jadi, aku minta maaf.
Aku minta maaf karena tidak berkomunikasi dengan cara yang lebih baik. Aku minta maaf karena sering marah, dan aku minta maaf karena terus-menerus marah.
Ini semua tentang tampilan luarku. Ini semua tentang bagaimana aku akan menjalani hari-hari, apakah aku akan meminta bantuan. Ini tidak ada hubungannya dengan kamu yang duduk menonton olahraga atau menjadi “tenang” sepanjang waktu.
Ada hari-hari di mana aku juga duduk di sofa, selama satu jam dan menonton bayi kita bermain. Anda tidak marah padaku saat melakukan itu, jadi aku tidak harus marah padamu untuk melakukan hal itu.
Ini tentang mengungkapkan perasaanku, menjelaskan bagaimana perasaanku dan mengungkapkan kepadamu kekhawatiran-kekhawatiranku, tekanan, serta kelelahanku.
Daripada mengatasinya, aku lebih memilih untuk menahan segalanya dan marah kepadamu.
Ini adalah soal mencintamu. Ini tentang memaafkan ketidaksempurnaanmu, seperti kamu memaafkanku. Ini tentang fokus pada hal positif dan meminta bantuanmu.
Ini adalah tentang meminta maaf, dan harus aku katakan bahwa aku sudah bersalah.
Jadi, inilah: Aku minta maaf.
Aku minta maaf karena telah berasumsi buruk dan menyepelekanmu.
Dengan cinta,
Istrimu
Menjadi istri yang hampir frustasi memang membuat segalanya tampak jadi gelap. Namun dengan rasa syukur dan komunikasi dengan suami, segalanya akan baik-baik saja.
Jadi, apakah sebagai istri Anda juga akan menulis surat permintaan maaf untuk suami? Apakah Anda termasuk istri yang hampir frustasi juga? Beritahu apa yang Anda pikirkan saat membaca surat ini. Semoga rumah tangga Anda baik-baik saja.
Baca juga:
Surat Seorang Suami kepada Istrinya yang Menjadi Ibu Rumah Tangga
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.