Almarhum Andrie dan anak pertamanya, Zuma.
Aku diam saja ketika suami merokok terus-terusan. Aku tak pernah marah ketika suami menolak sarapan pagi yang sudah disiapkan, aku tak pernah marah ketika suami begadang terus-terusan karena
ngobrol di pos ronda dengan bapak-bapak komplek dan akupun tak pernah tahu, makanan apa yang dia makan saat di kantor.
Makanan sehat kah? Atau bukan… Ya… Itulah kesalahan terbesarku…
“Abbi olahraga gih biar sehat. Jalan-jalan keliling komplek.”
“Enggak ah Mi, Abbi lagi
nggak enak badan, kepala sakit.”
Saat itu memang
weekend dan suami lebih memilih tiduran seharian sambil nonton TV.
“Huh pemalas banget nih suami, disuruh olahraga juga susah,” ucapku dalam hati.
3 minggu berselang tapi sariawan di lidah belum juga hilang. Malah katanya jadi ada sakit di kepala dan telinga.
“Abbi… Besok periksa ke dokter ya. Biar diobatin sariawannya…”
Suamipun mengangguk.
Keesokan harinya, suami memeriksakan ke RS Jakarta. RS yang tempatnya paling dekat dengan kantornya.
Saat itu dokter bilang suamiku hanya kurang makan sayur dan buah. Dokter hanya memberi salep untuk luka sariawan di lidahnya.
“Kalau dua minggu belum sembuh, periksa lagi ya,” kata dokternya.
Dua minggu kemudian suami periksa lagi karena sariawan masih menetap. Dokternya hanya menambahkan antibiotik.
Tapi sampai obatnya habis belum juga ada tanda-tanda kesembuhan.
Kembalilah lagi ke RS untuk memeriksakan, “mungkin bapak ada masalah di giginya, saya rujuk ke dokter bedah mulut ya…”
Setelah diperiksa dari bedah mulut. Dokter menyarankan untuk
rontgen gigi, saat itu hasilnya memang terlihat ada gigi bungsu yang posisinya miring.
“Oh… Sariawan bapak karena ada gigi bungsu yang mau tumbuh, tapi posisinya abnormal. Mungkin itu penyebab bapak sariawan dan sakit kepala terus menerus, giginya harus di operasi, harus di ambil ya pak…”
Bulan Juni 2016, saat awal bulan Ramadhan, suami tak puasa karena akan di operasi gigi. Di cabutlah gigi yang selama ini mengganggu. Seminggu berlalu, sariawan masih menetap. Sakit di kepala makin menjadi-jadi.
“Mi, Abbi sakit nelen, sakit kepala makin sering. Kenapa ya padahal giginya udah di cabut, terus lidah Abbi jadi
nggak bisa digerakin ke kiri.”
“Besok periksa ke dokter lagi ya Bii, sekalian kontrol gigi,” kataku
“Giginya udah
nggak ada masalah ya pak, kalo keluhan bapak sakit kepala, baiknya bapa periksakan ke dokter syaraf ya,” kata dr bedah mulut saat itu.
Diperiksalah suami ke dokter syaraf, hanya diberi obat anti sakit. Dokter pun menyarankan fisioterapi lidah karena lidah yang tak bisa di gerakan ke kiri, 6 kali pertemuan fisioterafi dan tak ada perubahan.
Dokter menyarankan pemeriksaan MRI, perkiraan pemeriksaan MRI saat itu sekitar 5-6 juta dan tak bisa dicover asuransi.
“Periksa MRI nya nanti saja ya Mii. Bentar lagi kan kita mau mudik, lumayan uangnya buat bekal mudik ke Tasik.”
Hari idul fitri. Suami lebih memilih tiduran di kamar dan tak ikut bersilaturahmi ke rumah sanak saudara, sakit di kepala semakin sering. Hari raya hanya dihabiskan dengan beristirahat tiduran di kamar.
Liburan lebaran pun telah usai, bersiaplah kita kembali ke ibukota.
“Mii sebelum kita ke Jakarta, Ummi lepas KB nya ya, Abbi pengen Zuma punya ade.”
“Duh Bii, baru anak satu aja Ummi udah repot. Gimana kalo nambah?”
“Biarin, nambah anak nambah rezeki. Abbi pengen punya banyak anak, hehehe…”
Kesal memang, tapi aku pun menurut. Dilepas lah KB IUD yang setahun tertanam di rahimku.
Tindakan medis
“Mii, koq di lidah Abbi jd ada benjolan, coba liat mii”
Benar,, ada benjolan kecil sebesar biji jagung di lidah yang ada sariawannya.
“Besok ke dokter lagi ya bi…”
“Sejak kapan benjolannya ada pak” tanya dokter.
“Baru 3 hari dok…”
“Sakit
nggak?” Sambil memencet benjolannya.
“Enggak dok enggak sakit, tp kalo sariawannya masih sakit dok, menelan jg jd sakit,kepala juga makin sering sakit”
“Harusnya bapak di periksa MRI biar tahu sakitnya dari mana. Kalau benjolannya ini kemungkinan tumor jinak, bagaimana kalo di operasi benjolannya terus nanti kita periksakan hasilnya.”
Suamiku hanya mengangguk, tanda setuju..
Awal agustus 2016, aku menemani suami di operasi di RS Jakarta. Zuma aku titipkan pada mamahku, ketika tahu kabar suami mau di operasi, mamah langsung berangkat ke Jakarta.
Operasi berjalan lancar, 3 jam lamanya.
“Ini istrinya pak Andrie? Operasinya sudah beres, ini benjolan yang sudah diambil mau di PA-kan dulu ya, hasilnya nanti 10 hari lagi.”
Tanggal 13 Agustus 2016, kami kembali menemui dokter. Dokterpun menyampaikan hasilnya dan juga hasil PA dari laboratorium.
“Bapak usianya berapa tahun?”
“28 dok…”
“Sudah punya anak?”
“Sudah, baru usia setahun dok”.
Dokterpun menghela napas panjang… Ada perasaan tak enak saat itu.
“Hasil pemeriksaannya kurang bagus, bapak positif terkena kanker lidah.”
Deg…
Seolah detak jantungku berhenti.
“Kanker… Dok?”
Tiba-tiba mataku jadi gelap, sebuah beban berat serasa menindih badanku. Aku diam dan tak bisa berkata apa-apa, lama aku terdiam.
“Kanker..?” tanyaku.
Tapi kalimat itu tak mampu terucap hanya bersarang di kepalaku. Sebuah penyakit yang selama ini hanya aku kenal lewat informasi dan berita-berita, kini penyakit itupun menghampiri orang terdekatku orang yang paling aku sayangi. Penyakit yang menakutkan itu menyerang suamiku.
Kutatap wajah suamiku, suamiku hanya terdiam, pucat…
“Bapak saya sarankan berobat ke RS Dharmais, karena di sana rumah sakit khusus menangani penyakit seperti bapak, harus cepat ya pak, sebelum kankernya menyebar kemana-mana.”
Segera kuambil surat pengantar dokter dan menuju RS Dharmais.
Sungguh tak pernah terpikirkan sedikitpun sebelumnya, kini kami berada dalam deretan orang-orang penderita kanker di ruang tunggu pasien. Aroma kecemasan bahkan keputusasaan tergambar di wajah mereka.
Sebenarnya ini juga saya rasakan, tapi saya harus menyembunyikan raut ini di hadapan suamiku. Aku harus tetap menyuguhkan energi penyemangat padanya.
Serangkaian pemeriksaan kami lakukan, lab, USG,
rontgen, CT Scan,
bone scan.
“Dari hasil pemeriksaan, 3/4 lidah bapak sudah terkena kanker, bapak harus di operasi di angkat lidah,” kata dokter nya.
Ya Allah… apa lagi ini? Diangkat lidah? Kenapa harus suamiku yang mengalaminya? Kami pun pulang dengan perasaan yang tak tentu.
“Nanti kita periksa ke RS Siloam ya Bii, kita cari
second opinion.”
Esoknya kita periksa ke RS Siloam. Dokter melakukan endoskopi, memasukan kabel kecil yang ada kameranya melewati lubang hidungnya. terlihat jelas kamera menangkap gambar di monitor.
“Wahh, kanker nya sudah menyebar ke tenggorokan pak…”
Memang terlihat banyak benjolan merah di dekat pita suara.
“Kalau boleh tahu sudah stadium berapa dok?”
“Kalau ini sih sudah stadium 4.”
“Terus gimana dok?” Tanyaku lirih.
“Nanti bapak harus menjalani pengobatan kemoterapi 3 kali, langsung radiasi selama 30 kali.”
Wajah suamiku putih pucat, dia hanya terdiam. Terbayang beratnya derita dan kelelahan yang harus dialami suamiku.
Belum lagi dengan kombinasi pengobatan kemoterapi yang melemahkan fisik. Keluar dari ruang dokter seolah semuanya jadi gelap, rasanya aku tak kuat menahan segala beban ini.
Segera aku beri kabar keluarga dan teman-teman dekatku, aku kabarkan keadaan suamiku dan kumintakan doa dari mereka. Tak terasa bulir-bulir bening air mata bermunculan di sudut mataku.
dengan langkah lemas tak bertenaga seolah aku melayang, tulang-tulang terasa tak mampu menyangga badanku yang kecil ini. Aku melihat anakku yang masih berusia 1 tahun, dia tersenyum ceria.
Ia tak mengerti beban berat yang menimpa orangtuanya, akupun memeluknya erat sambil menangis sejadinya. Ketika kami di rumah, kami minta pendapat dari pihak keluarga tentang pengobatan yang akan kami lakukan.
Dengan berbagai pertimbangan dan alasan pihak keluarga menyarankan agar kami tidak menempuh jalan kemo dan radiasi. Kami disarankan untuk menjalani pengobatan dengan cara alternatif dan pengobatan herbal.
Kehadiran anak kedua
Awal September 2016 kami berencana pulang kampung ke Tasik, dikarenakan kondisi suami yang tak bisa lagi bekerja, untungnya dari pihak kantor memberi cuti izin sakit sampai sembuh.
Akhirnya sejak saat itu kami melakukan ikhtiar pengobatan dengan cara alternatif dan minum obat-obat herbal. Karena saat itu suamiku sudah susah untuk menelan maka obat herbal yang diberikan tidak berupa kapsul, melainkan berupa rebusan dan cairan.
Setiap hari suamiku harus minum ramuan dan rebusan obat-obat herbal. Segala macam makanan buah2an dan sayuran dijus dan di saring, Tapi aku lihat ia dengan telaten dan sabar rutin minum semuanya.
“Bii, kayaknya Ummi udah lama
nggak haid.”
Suamiku hanya tersenyum, “coba periksain Mii. Test pack,” katanya.
Aku terlalu sibuk mengurus suamiku yang sedang sakit, sampai tak sadar, 2 bulan lamanya aku tak datang bulan”
“Positif Bii…”
“Alhamdulillah, Zuma punya Ade, mudah-mudahan cewek ya Miii. Mudah-mudahan pas bayinya lahir, Abbi udah sehat.”
“Abbi pasti sehat sayang…”
Terlihat senyumnya yang mengembang dan bersemangat.
Semangatnya untuk sembuh begitu besar. Doa pun tiada henti kupanjatkan siang dan malam. Dan malam-malamku selalu ku habiskan dengan bersujud padaNya.
Aku mulai rajin mencari semua informasi yang berhubungan dengan kanker lidah. Mulai dari makanan, cara pengobatan, bahkan alamat klinik pengobatan alternatif. Semua informasi aku cari melalui internet, koran dan dari rekan-rekan.
5 bulan pengobatan, tapi Allah sepertinya belum memberi jalan kesembuhan dengan cara ini, akhirnya obat herbal aku tinggalkan. Dan akupun mulai ragu, kondisi suami makin memburuk, kamipun mulai putus asa. Aku yakinkan suamiku bahwa ini adalah memang ujian dari Allah.
“Bii… Semuanya atas kehendak Allah, bahkan jauh sebelum kita lahir sudah tertulis takdir ini, usia segini Abbi sakit, berobat kesana-sini itu semua sudah ada dalam catatan Allah Bii. Yang penting sekarang kita jangan lelah berikhtiar dan Abbi tetap harus semangat untuk sembuh.”
Ia mengangguk perlahan.
“Utun lahir, Abbi pasti udah sembuh kan mii?” Tanyanya.”
“Pasti Bii,
nggak ada yang
nggak mungkin kalau Allah sudah berkehendak. Utun lahir, Abbi udah sehat,” ia pun tersenyum.
Berat badan suamiku mulai turun drastis karena tak ada asupan makanan, sebelum sakit beratnya 65 Kg kini tinggal 40 Kg.
Kondisinya makin parah dan puncaknya ketika aku lihat setiap hari suami muntah darah terus menerus. Ia pun terlihat lemas dan sangat pucat.
Januari 2017, aku bawa ke dokter spesialis Onkologi yang ada di tasik.
Dokter menganjurkan untuk segera dibawa ke rumah sakit karena hasil HB cuma 5, suamiku mengalami anemia berat. Kali ini aku membawanya ke RS Jasa Kartini tempat dokter itu praktek.
4 labu darah yang sudah masuk ke tubuh suamiku, dokter menyarankan kemoterapi.”
“Kanker itu pengobatannya 3 rangkaian bu, kemoterapi, radiasi sama oeprasi. Tanpa itu kanker susah ditangani, apalagi dengan pengobatan alternatif dan herbal yang belum jelas,” kata dokternya.
“Mii, Abbi mau berobat medis aja. Mau nurut apa kata dokter, mungkin ini jalan kesembuhan Abbi,” kata suamiku
Aku tak bisa berkata-kata. Baiklah kalo ini sudah keinginannya, aku hanya bisa mengiyakan, semoga Allah memberikan kesembuhan untuk suamiku dengan pengobatan medis.
Hari aku lewati, keluar masuk rumah sakit mengantar suami berobat. Zuma aku titipkan ke rumah orangtuaku karena waktuku habis dengan mengurus suamiku.
Penat rasanya. Hari-hari dihabiskan dengan perjalanan dari rumah ke rumah sakit, rasanya melelahkan, apalagi dengan kondisi perutku yang semakin membesar.
Dokter mengatakan, “kita hanya bisa memperlambat pertumbuhan kankernya bukan mengobati.”
Seolah hitungan mundur kematian itu dimulai. Aku limbung dan hampir tak sadarkan diri, sekuat tenaga aku mencoba untuk tetap tegar.
“Ya Allah… begitu berat cobaan ini Kau timpakan pada kami.”
“Ma’afkan ummi, ummi tak mampu menjagamu selama ini…”
Serangkaian pengobatan medis dilakukan 7 kali kemoterapi, sampai kemo ke 3, kondisi suami sempat membaik, kemo ke 4,5,6,7… Selama itu kondisi suamiku semakin menurun.
“Aku ingin ketenangan aku butuh pertolonganMu ya Robb. Kutumpahkan segala permohonan ini dihadapanMu yaa Allah. Bisa saja dokter memvonis dengan analisanya, tapi Engkaulah yang maha kuasa atas segala sesuatunya. Engkau maha menggenggam semua takdir, sakit ini dariMu ya Allah dan padaMU juga aku mohon obat dan kesembuhannya.”
Segala ikhtiar dan doa tiada lelah kulakukan tuk kesembuhan suamiku. Malam-malamku kulalui dengan sholat Tahajud. Kubenamkan wajahku diatas sajadah lebih dalam lagi, tiba-tiba aku merasa tak mimiliki kekuatan apapun, aku berada dalam kepasrahan dan penghambaan yang lemah.
“Robb…Engkau maha mengetahui, betapa segala ikhtiar telah kami lakukan. Tiada menyerah kami melawan penyakit ini, kini aku serahkan segalanya padaMu, tidak ada kekuatan yang sanggup mengalahkan kekuatannMu yaa…Robb. Tunjukkan pertolonganMu, beri kesembuhan pada suamiku Ya..Allah.”
Rangkaian kemoterapi sudah beres, suamiku disarankan melakukan pengobatan lanjutan, sinar radiasi di RS santosa bandung, saat itupun kehamilanku sudah masuk usia 9 bulan.
“Bii, maaf ummi
nggak bisa antar Abbi ke bandung, Abbi sama mamah aja ya. Takut
brojol di jalan, nanti malah repot lagi,” izinku.
Akhirnya suami pergi melakukan serangkaian pemeriksaan untuk radioterapi.
6 Juni 2017, hari ke 11 bulan Ramadhan, anak yang kedua ku lahir tanpa kehadiran Abbi nya. Proses melahirkan yang kedua sangatlah mudah dan cepat.
Alhamdulillah Allah telah memberikan kemudahan dan kelancaran. Segera aku
video call suamiku, dia pun kaget karena tiba-tiba aku memperlihatkan bayi kecil padanya.
“Ummi udah lahiran Bii.”
“Abbi pulang ke tasik sekarang juga Mii, pemeriksaan simulatornya udah beres. Abbi dijadwalin radiasinya nanti udah lebaran.”
Pulang lah ia ke Tasik, datang dengan raut wajah ceria. Alhamdulillah perempuan.
“Mau Abbi kasih nama Zahabiya Assyifa Farid,” ujarnya. Arti nama itu adalah emas permata yang menyembuhkan. Insyaallah dengan lahirnya Biya. Abbi diberi kesembuhan oleh Allah.
25 Juni 2017, saat itu hari raya idulfitri. Tiba-tiba suami mengeluh sakit kepala. Dan esoknya mengeluh sulit menelan dan sesak nafas. Dilarikanlah suamiku ke RS dan bayiku yang baru 2 minggu aku bawa juga.