Pernah mendengar istilah child shaming? Kondisi di mana seorang anak dipermalukan. Shaming child ini kerap kali dilakukan secara sadar atau pun tidak. Pelakunya pun bisa siapa saja, tak terkecuali kita sendiri sebagai orangtua.
Seorang terapis, Karyl McBride Ph.D. menceritakan pengalaman langsung saat berada di tempat umum. Ia melihat seorang gadis kecil berusia sekitar 6 tahun meminta sesuatu pada ibunya dengan berbisik. Namun apa yang terjadi? Sang ibu justru tiba-tiba saja memberikan respon, menjawab dengan suara lantang di depan khalayak umum.
Air mata mengalir di pipi gadis kecil itu. Suasana hening seketika, namun tak lama orang-orang kembali beraktivitas seperti sebelumnya, seolah tak ada yang terjadi.
Namun, pernahkah Anda bayangkan bagaimana perasaan si gadis kecil yang mengalami kejadian tersebut?
Apakah Parents pernah melihat atau mungkin tanpa sadar melakukan hal serupa pada si kecil? Ini adalah salah satu contoh perilaku child shaming yang biasa terjadi. Terjadi secara langsung atau secara lisan, baik di kehidupan sehari-hari termasuk di dunia maya.
Child shaming tentu saja bisa berdampaknya pada perkembangan si kecil. Namun pengaruhnya bisa bisa berbeda-beda, tergantung pada intensitas dan frekuensi secara jangka panjang dan jangka pendek.
Menurut Karyl, bila ini dilakukan terus menerus akan ada beberapa dampak perilaku yang bisa timbul. Misalnya rendahnya kepercayaan diri, tidak merasa diinginkan, tidak merasa dicintai dan bahkan takut hingga ia beranjak dewasa.
Artikel Terkait : Anak Selebgram Rachel Vennya di bully lagi, bagaimana menyikapinya?
Shaming Child yang jarang disadari
Anastasia Moloney, spesialis pengembangan anak usia dini dan pakar di The Tot mengungkapkan ada beberapa hal yang jarang disadari orangtua bahwa apa yang dilakukannya sebenarnya merupakan tindakan yang bisa mempermalukan si kecil.
Coba cek, apakah Parents secara tak langsung juga pernah melakukannya?
1. Disiplin publik
Pada banyak kasus, mempermalukan anak memang memiliki maksud untuk mendisiplinkan anak. Namun rupanya bila dilakukan dengan cara yang salah justru bisa membuat harga dirinya rendah.
Misalnya saja bila si kecil melakukan kesalahan saat berada di keramaian, lalu orangtua menegur dengan cara memarahi di depan anak yang lain. Hal ini nyatanya bisa membuatnya merasa dipermalukan.
Kondisi ini bisa menjadi fatal bila si terjadi terus menerus. Oleh karena itu, sebaiknya Anda mengajak si kecil berbicara empat mata, coba mendengarkan efektif, lalu komunikasikan dengan lembut namun tegas mengenai peraturan yang dilanggar.
2. Tidak membiarkan anak melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri
Memberikan saran, menolong, atau mengarahkan pada sesuatu yang menurut kita benar tentu saja tidak salah. Tapi bukan berarti dilakukan secara berlebihan. Terlalu mengarahkan anak justru bisa bisa menekan kemandiriannya untuk melakukan sesuatu atau membuat keputusan untuk diri mereka sendiri.
Toh, anak juga perlu belajar lewat kesalahan yang ia lakukan. Menurut Moloney, kebiasaan selalu memperbaiki kesalahan anak supaya ia menjadi sempurna justru bisa membuat kepercayaan dirinya rendah. Sebab, anak bisa berpikir bahwa semua yang dilakukannya selalu kurang di mata orangtuanya sendiri.
Contoh sederhana bisa dilihat pada saat anak setelah mandi. Si kecil sebetulnya bisa belajar mengenakan baju sendiri tanpa sepenuhnya dibantu. Namun, orangtua terkadang memilih untuk langsung membantu agar cepat selesai, ini bisa membuat si kecil menjadi ketergantungan pada orangtua.
shaming child
3. Menetapkan harapan atau target terlalu tinggi
Menetapkan harapan yang tak realistis lalu cepat kecewa pada anak bisa menjadi beban tersendiri bagi anak. Cobalah untuk memurunkan ekspektasi yang terlalu tinggi pada anak. Harapan tersebut tentu saja perlu disesuaikan dengan usia anak. Pikirkan juga konsekuensi dari harapan yang dibuat.
Biarkan si kecil belajar berproses sejak kecil, Parents.
Artikel Terkait : Anak jadi pelaku Bullying? Ini yang harus dilakukan orangtua
4. Men-judge pilihan anak
Saat sudah beranjak lebih besar, membiasakan si kecil untuk memilih menjadi hal yang penting, namun mencoba memahami pilihan si kecil pun tak kalah penting. Menilai pilihan hanya dari sudut pandang orangtua ternyata bisa membuatnya merasa tertekan, takut, dan malah tidak belajar dari pengalaman.
Misalnya saja saat si kecil lulus SD, ia memilih untuk melanjutkan ke SMP pilihannya karena alasan tertentu, sebaiknya jangan langsung men-judge dan menolak pilihannya mentah-mentah. Komunikasikan dengan efektif baik buruk dari konsekuensi pilihannya tersebut.
5. Memberitahu agar tidak menangis
“Anak laki-laki tidak boleh nangis!” pernah mendengar atau mengucapkannya?
Sebaiknya hindari lagi kalimat seperti itu, ya, Parents. Tak ada yang salahnya kok jika anak mau menangis, baik untuk anak laki-laki atau pun perempuan.
Keduanya sama-sama memiliki emosi yang sebaiknya tidak ditahan-tahan. Bila dibiasakan, justru akan membuat ia ‘meledak’ atau menjadi tak terkendali. Bila sampai dibiasakan, ini pun bisa membuat ia berpikir bahwa menangis adalah sesuatu yang tak pantas dilakukan.
Pada dasarnya, tak ada pola asuh yang sempurna. Dalam proses belajar, orangtua pun tentu saja perna melakukan kesalahan ketika menjalankan pola asuhnya. Namun terus belajar menjadi orangtua yang lebih baik setiap harinya jadi salah satu kewajiban kita agar si kecil bisa tumbuh dan berkembang seperti yang diharapkan.
Semoga informasi terkait kebiasaan yang bisa menimbulkan sikap shaming child ini perlahan bisa dihilangkan, ya.
Baca Juga :
Surat dari Seorang Ibu yang Anaknya Bunuh Diri Setelah dibully Online
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.