Studi yang dimuat di jurnal JAMA Pediatrics menyebutkan bahwa risiko autisme pada anak dapat ditekan dengan respons yang lebih cepat dari orang tua. Respons yang dimaksud berupa terapi pada anak lebih dini. Dengan mengenali tanda-tanda awal autisme pada anak, terapi bisa dilakukan sebelum anak berusia 3 tahun.
Akan tetapi, kebanyakan kasus yang terjadi adalah terapi baru dimulai pada saat anak berusia 2 tahun. Dengan kata lain, orang tua bertindak lebih lama daripada yang seharusnya. Sementara, studi di atas menyebutkan bahwa terapi sejak dini akan lebih efektif mengatasi risiko autisme pada anak.
Artikel terkait: 8 Cara Saya Meningkatkan Kemampuan Anak Berbicara, Mulai Sejak Dini!
Keterbatasan Kemampuan Komunikasi dan Sosial
Gejala paling umum yang dapat dikenali ketika anak mengidap autisme adalah adanya keterbatasan kemampuan dalam berkomunikasi dan menjalani kehidupan sosial. Padahal, Parents tahu sendiri betapa pentingnya kemampuan berkomunikasi dan bersosialisasi untuk bertahan hidup.
Menyadari anak Anda mengalami gangguan komunikasi dan sosial pada awalnya mungkin akan terasa sulit. Tidak sedikit orang tua yang kemudian bersikap denial sehingga menunda pemeriksaan. Namun, tahukah Parents bahwa terapi sedini mungkin ternyata sangat berguna untuk menolong buah hati Anda dari risiko autisme?
Studi menyebutkan anak-anak yang menunjukkan tanda-tanda autisme agar menjalani terapi sejak memasuki usia 12 bulan. Lalu pada usianya yang ketiga tahun nanti, akan dilakukan peninjauan kembali terkait kondisinya.
Nah, kabar baiknya, ketika orang tua merespons dengan cepat, keterbatasan anak dalam berkomunikasi dan bersosialisasi ternyata mengalami kemajuan yang signifikan setelah menjalani terapi lebih awal. Kondisi ini kemudian akan ditinjau kembali setelah anak berusia 3 tahun untuk mengetahui perkembangan dan kemungkinan pengobatan.
Perlu diketahui, pada dasarnya bayi belum bisa memenuhi kriteria diagnosis apakah ada indikasi autisme atau tidak. Tanda atau gejala yang muncul belum bisa sepenuhnya dijadikan tolok ukur karena perkembangan saraf anak belum benar-benar sempurna. Maka, sebetulnya tidak bisa dipungkiri jika orang tua cenderung memulai terapi lebih lambat.
Meski demikian, berdasarkan survei terbaru, jumlah anak yang didiagnosis autisme semakin meningkat, yakni sekitar 2% dari total populasi. Oleh sebab itu, walaupun belum mendapat diagnosis penuh, tidak ada salahnya mengikutsertakan anak untuk mengikuti terapi pencegahan risiko autisme. Apalagi jika Anda menyadari tanda-tanda atau gejala awal.
Artikel terkait: Hari Peduli Autis Sedunia, Pentingnya Pahami Gangguan Spektrum Autisme pada Anak
Terapi iBASIS-VIPP untuk Menekan Risiko Autisme pada Anak
Terapi bagi anak dengan potensi autisme disebut iBASIS-VIPP dan dibuat dengan mengacu pada Video Interaction for Positive Parenting (VIPP). Kesuksesan terapi ini membuat program ini mulai diadaptasi oleh sejumlah klinik pediatrik di Inggris kemudian tersebar di berbagai negara termasuk di Indonesia.
Perlu diketahui, terapi ini sengaja diciptakan untuk mendukung keterampilan berkomunikasi anak. Bedanya dengan terapi autisme kebanyakan, orang tua yang memimpin proses terapi ini. Namun, sebelum memimpin jalannya terapi, orang tua akan dilatih oleh tenaga ahli yang sudah terlatih.
Terapi iBASIS-VIPP ini memakai video-feedback sebagai media untuk membantu para orang tua mengenali “bahasa bayi”. Dengan demikian, akan lebih mudah bagi orang tua untuk memahami kebutuhan anak dan meresponsnya dengan lebih tepat.
Nah, karena orang tua sudah bisa merespons dengan “bahasa” yang dipahami bayi, maka komunikasi antara orang tua dan anak diharapkan bisa menjadi lebih baik.
Terapi ini biasanya akan melibatkan orang tua, pengasuh, dan orang-orang terdekat. Tujuannya untuk melatih anak agar bisa berkomunikasi di lingkaran terdekat mereka. Seiring pertumbuhan, diharapkan ia akan lebih mudah menerapkan pola komunikasi dan interaksi yang sudah terlatih sejak dini.
Artikel terkait: Bisakah Mendeteksi dan Mencegah Autisme Sejak dalam Kandungan?
Efektivitas Terapi sejak Dini
Ketika pertama kali dilakukan di Australia, tepatnya di Perth dan Melbourne, ada 103 bayi yang dilibatkan dalam studi ini. Seluruh responden menunjukkan tanda-tanda autisme mulai dari kurangnya kontak mata hingga munculnya mimik imitasi.
Setelah identifikasi secara ketat, akhirnya dipilih secara acak 50 bayi yang menerima terapi iBASIS-VIPP selama 5 bulan. Lalu 53 bayi lainnya menerima terapi dari komunitas lokal yang bekerja dengan psikolog, ahli okupasi, dan patologi wicara.
Setelah ditinjau kembali ketika berusia 3 tahun, ditemukan bahwa terapi iBASIS-VIPP ternyata sangat efektif untuk meningkatkan kemampuan komunikasi dan sosial. Dari 50 bayi yang diterapi hanya 6,7% anak saja yang akhirnya didiagnosis dengan autisme. Sementara, pada 53 bayi yang tidak mendapat terapi iBASIS-VIPP, terdapat 20,5% anak yang didiagnosis dengan autisme.
Dari penelitian tersebut kemudian disimpulkan bahwa semakin cepat terapi diberikan, semakin berdampak pula hasil dari terapi tersebut. Hal inilah yang kemudian mendorong kampanye agar orang tua lebih peka dalam memperhatikan tumbuh kembang anak termasuk mengenali tanda-tanda awal risiko autisme.
Baca juga:
Sejarah Hari Autisme Sedunia, Mari Hentikan Perundungan dengan Mengenal Autisme
Mengenal tentang autisme lebih dekat agar tak salah kaprah dalam memahami