Saya pernah membuat unggahan di Instagram Tantangan Membaca 100 Buku Picture Book. Tantangan itu saya tujukan untuk diri saya sendiri sebagai kolektor dan pecinta picture book. Dengan tantangan membaca ini saya ingin berbagi tentang buku-buku anak yang saya koleksi, saya baca, atau bacakan kepada anak, kepada followers Instagram saya, yang sebagian besar adalah orang tua atau pendidik. Jadi selama sebulan saya membuat unggahan tentang picture book. Setiap hari sekitar empat sampai lima picture book sesuai tema. Pada tantangan ke-4 saya menyajikan tema buku read aloud (dibacakan nyaring).
Untuk tema ini saya memilih empat buku, yaitu: Wuusss …, Angin Membawa Telur Terbang; Coba Lagi Coba Lagi; Hondo & Fabian; dan The Listening Walk.
Karena tema tantangan ke-4 ini adalah buku read aloud, maka di kepala saya adalah buku-buku yang dapat dibacakan kepada anak. Saya beri cetak tebal untuk kata “dapat” karena tidak semua buku asyik untuk dibacakan kepada anak. Buku read- aloud hendaknya buku yang bisa menimbulkan engagement dengan anak saat dibacakan.
Agar engagement dapat terjadi, saya memilih buku yang memiliki alur (plot). Alur merupakan urutan dari satu peristiwa ke peristiwa lain. Tentunya alur harus menjadi page-turner (menarik) saat dibacakan. Buku yang mempunyai page-turner yang baik memungkin pencerita bisa membuat kejutan saat membalik halaman. Untuk balita, ada yang juga penting yaitu kata berima, pengulangan, dan bunyi-bunyian.
Kegiatan membaca ini saya lakukan kepada cucu keponakan (cucu kakak saya), yaitu Asha (hampir 5 tahun) dan Esha (hampir 4 tahun). Selain Asha dan Esha, ada Azizi (1,5 tahun) yang kadang bergabung dan kadang tidak.
1. Wuuss, Angin Membawa Telur Terbang
Data buku:
• Penulis: Asa
• Ilustrator: Gina
• Penerbit: Aksa Berama
• Ukuran: 24 halaman, 21×21 cm
Buku ini mempunyai plot dinamis, ada kata-kata berulang, ada unsur bunyi-bunyian, dan ceritanya memungkinkan kita membuat gerak tubuh. Saat membacakan buku ini, saya bisa memainkan intonasi karena ada bunyi-bunyian: wuusss, tak tik tuk, plak … plak … plak, kres … kres … kres … Saya juga bisa memberi penekanan pada beberapa kata kerja, dengan gerakan: menggelinding, menginjak, membawanya, mengelilingi.
Ada klimaks yang memungkinkan pencerita membelalakkan mata, menahan napas, dan mengajak anak merasakan hal yang mendebarkan: Saat kaki bebek hampir menginjak telur, saat kaki seorang anak hampir menginjak telur, saat ban mobil hampir melindasnya. Sungguh ini adalah page turner yang baik.
Tidak semuanya mendebarkan, Ada bagian yang slow, yang memungkinkan pencerita untuk memperlambat suara, merendahkan volume, dan meneriakkan nada gembira saat daun membawa telur berkeliling ke pasar, sekolah dan lapangan bola.
Pada bagian akhir Asha dan Esha agak bingung mengapa telur hilang, dan muncul semut. Saya pun perlu menjelaskan bahwa semut berasal dari telur, dan mengajak mereka mengamati sarang semut di rumah.
Hal menarik dari buku ini:
• Saya dapat membuat mereka memperhatikan bunyi-bunyi bahasa
• Saya dapat memberi penekanan pada kata-kata repetitif
• Plot memungkinkan saya memaksimalkan page turners
• Bagian akhir kurang dipahami audiens saya (usia 4 dan 5 tahun) tetapi bisa menjadi stimulus untuk mengamati perkembangbiakan semut
2. Coba Lagi, Coba Lagi! (Buku read aloud untuk mengajarkan kemandirian)
Data buku:
• Penulis: Asa
• Ilustrator: Gina
• Ukuran: 24 halaman, 22×30 cm
• Penerbit: Aksa Berama, Pustaka
Saya memilih buku ini karena ilustrasi memperlihatkan adanya dinamika. Pada sampul depan ada gambar seorang anak memakai sepatu sendiri. Di dalam buku juga ada kata-kata ditulis dalam font besar, berupa kata berulang, dan bunyi-bunyian.
Buku ini mempunyai fokus karakter kemandirian, tapi ada yang saya ragukan apakah mungkin mengajarkan anak berusia 4-5 tahun memakai sepatu bertali? Sekalipun demikian, buku ini tetap saya bacakan kepada Asha dan Esha. Siapa tahu mereka bisa mengerti.
Sebelum bercerita saya bertanya kepada Asha dan Esha, apakah mereka punya sepatu bertali. Asha menggeleng. Saya pun mengambil kotak jahitan saya. Karena tidak ada tali sepatu, saya mengambil pita.
Buku itu memakai sudut pandang orang pertama (“aku”), dan bagi saya lebih nyaman kalau memakai kata ganti orang ketiga. Karena itu saya tanyakan kepada Asha dan Esha, “Siapa nama anak ini?”Kami sepakat memberi nama Deo.
Pada halaman awal (halaman 2) saya merasakan adanya engagement saat membacakan kalimat Aku mendapat sepatu baru.
Kakek membelinya untukku. Mereka tersenyum, pertanda mereka dapat dengan mudah mengaitkan pengalaman mereka dengan Deo. Ya, Asha dan Esha juga mempunyai kakek yang mereka sayangi.
Saya menjadi kikuk pada halaman berikutnya, saat membaca: Aku mencoba mengikat tali sepatu baruku. Pada gambar terlihat “Deo” sedang duduk dan menarik tali sepatu. Pada gambar-gambar berikutnya Deo menemui kesulitan mengikatkan tali sepatu. Hmm bagaimana ya menjelaskan rincian kesulitan Deo, karena Asha dan Esha belum mempunyai kompetensi itu. Maka saya pun memberikan dua utas pita sepanjang kurang lebih 50 cm kepada Asha dan Esha. Masing-masing mendapat seutas pita. Oh ya, saya juga memegang seutas pita.
“Ayo taruh di sini,” kata saya meletakkan pita di bawah telapak kaki. Mereka dapat melakukannya.
“Tarik,” kata saya sambil menarik kedua ujung tali ke atas. Mereka ikuti langkah ini.
“Sekarang ditekuk. Satu per satu.” Nah, ini dia. Asha dapat menekuk ujung tali yang satu, dan kemudian ujung tali yang lain. Esha perlu bantuan.
Langkah berikutnya, memasukkan lekukan ke lubang persilangan. Asha tidak berhasil, jadi saya bantu. Esha pun demikian.
Sampai di sini saya tidak melanjutkan cerita. Kami pun bermain ikat mengikat.
Hal menarik dari buku ini:
• Saya dapat mengantarkan Asha Esha untuk berlatih kemahiran menalikan.
3. Hondo & Fabian
Data buku:
• Penulis & Ilustrator: Peter McCarthy
• Penerbit: Holt and Co
• Ukuran: 40 halaman, 40×45 cm
• Bahasa: Inggris
Begitu melihat ilustrasi buku read aloud ini, saya langsung jatuh hati. Ilustrasi yang lembut dengan warna cenderung monokromatis, dan gambar dua tokoh hewan yang kyut 🙂 .
Isinya pun kuat: alur sederhana, namun ada makna yang dalam: tentang persahabatan, saling memahami, dan tidak mengambil barang yang bukan haknya.
Saya memulainya dengan memperkenalkan sosok Hondo dan Fabian. Saya bertanya kepada Asha dan Esha hewan apakah yang ada di sebelah kiri dan hewan apa yang ada di kanan, dan bagaimana suaranya. Saat menirukan suara hewan, saya sudah menunjukkan karakter hewan dengan kedalaman suara yang berbeda. Saat mengucapkan, “Guk-guk-guk” saya memakai suara dalam, dan saat membunyikan, “Meong” saya memakai suara kecil meninggi dan lembut.
Buku ini memungkinkan saya melakukan engagement dengan Asha dan Esha. Pada setiap halaman, saya bisa melakukan tanya jawab. Misalnya, saat menceritakan tempat tidur kesayangan masing-masing, saya bertanya, “Di mana Hondo tidur? Kalau Fabian?” Dengan cara ini saya memberi penekanan pada pesan yang ingin disampaikan, bahwa kedua hewan itu bersahabat dan punya kesenangan yang berbeda.
Pada bagian Hondo naik mobil, saya pun bertanya, “Ke mana Hondo pergi? Apakah perginya jauh, kok naik mobil, ya?” Saya pun menarik adegan ke kehidupan Asha dan Esha. “Hmm mobil Hondo mirip dengan mobil Asha dan Esha, ya.” Juga, “Siapa ya yang menyetir? Apakah Yanda?” Asha dan Esha tersenyum lebar mendengar dua pertanyaan itu.
Ada bagian yang memungkinkan saya memasukkan unsur “learning without trying”. Read-aloud adalah kegiatan belajar yang menyenangkan dan alami. Misalnya, saat Hondo berada di pantai, saya bertanya,. “Wah Hondo pergi ke pantai …. Ada apa ya di pantai?”
“Kolam renang,” kata Asha spontan. Saya dan bunda Asha berpandang-pandangan dan tersenyum. Apakah Asha belum pernah diajak ke laut? Tapi tidak, ketika mengulang cerita ini lagi, Asha mengatakan, “Laut!” Perlahan Asha mengingat kembali pengalaman pergi ke pantai. Proses ini berjalan organik. Kata yang pernah didengarnya muncul kembali secara alami.
Lalu ada masalah moral …. Hmm ini adalah hal yang tabu untuk dimasukkan ke dalam cerita anak. Namun penulis memasukkan masalah moral dengan halus. Yaitu pada bagian Hondo dan Fabian kelaparan. Hondo melihat ada ikan hasil pancingan orang, dan Fabian melihat sandwich di meja. Saya bertanya, “Apakah Hondo/Fabian boleh mengambil makanan itu?” Asha dan Esha menggeleng. “Aah kenapa?” Asha menjawab, “Ikannya punya bapak-bapak itu.” Klop deh. Saya tidak perlu menasihati bahwa kita tidak boleh mengambil barang yang bukan milik kita!
Saya tidak selalu menceritakan hal yang berisi pesan. Banyak bagian-bagian yang fun, bermain dan ringan saja. Misalnya, yaitu ketika Hondo berkejar-kejaran di pantai dengan Fred, Fabian bermain dengan adik kecil, atau Fabian menarik-narik tisu kamar mandi. Asha dan Esha tersenyum lebar pada bagian-bagian itu.
Saya bercerita berdasarkan alur buku, dan menutupnya dengan halus: Hondo dan Fabian bobo di tempat kesayangan masing-masing. Saya merasakan Asha dan Esha pun larut dalam cerita yang membawa mereka dalam dinamika naik turun dengan lembut.
Buku yang indah dan bisa membawa anak ke dunia membaca yang menyenangkan … pantas kalau mendapat tiga penghargaan: New York Times Book Review Best Illustrated Book of the Year (2002), Notable Children’s Book of the Year (2002), dan Caldecott Honor Book (2003).
Dari pengalaman saya membacakan cerita ini:
• Saya dapat melakukan engagement dari awal hingga akhir
• Saya dapat menunjukkan pesan cerita dengan halus:
– Indahnya persahabatan
– Saling menghargai
– Menahan diri tidak mengambil barang yang bukan hak
• Saya dapat mengajak mereka mengingat pengalaman secara organik
• Saya menunjukkan dunia bermain yang menyenangkan
4. The Listening Walk
Data buku:
• Penulis: Paul Showers
• Ilustrator: Aliki
• Ukuran: 32 halaman, 20×25 cm
• Penerbit: HarperCollins
The Listening Walk bukanlah fiksi, tetapi merupakan buku nonfiksi yang memperkenalkan kegiatan sensoris pada kegiatan berjalan-jalan. Karena buku read aloud ini “serius”, saya memakai boneka sebagai properti. Asha dan Esha pun datang membawa boneka-boneka mereka.
Pertama, pasti saya menceritakan tokoh-tokoh di dalam cerita. Tokoh utama saya beri nama Leah (di buku disebutkan sebagai “I), Ayah dan anjing bernama Mayor. Lalu saya ajak Asha dan Esha membariskan boneka-boneka mengikuti Pak Polisi.
Karena adanya unsur sensoris, saya dapat melakukan engagement dengan mudah. Pada bagian awal saya menggambarkan bagaimana suara kuku Mayor di tanah dengan mengajak Asha dan Esha mengeratkan kuku tangan di bantal.
Untuk menggambarkan suara sepatu Ayah, saya pun memukul-mukulkan tangan ke karpet. Suara sepatu Leah yang lembut saya contohkan dengan menggerakkan boneka seperti berjalan. Suara sepatu Leah tidak terdengar. Dia memakai sepatu kets, kata saya. Oh ya saya membacakan teks dalam bahasa Indonesia.
Pada bagian cerita Leah mendengar suara pemotong rumput, Esha berkata, “Kayak bapak-bapak yang pake baju oranye.”
“Oh PPSU,” kata saya. Ya, PPSU (Pekerja Penanganan Sarana dan Prasarana Umum), adalah petugas berseragam oranye di Jakarta yang bekerja membersihkan sarana umum, seperti jalan, bahu jalan dan lahan kosong.
“Bau,” kata Esha.
“Oh bau rumput?” tanya saya. Esha mengangguk.
“Bagaimana suara mesin pemotong rumputnya?” tanya saya lagi.
Asha dan Esha pun membunyikan suara mesin, “Zuuuummm.”
Saya senang Asha dan Esha dapat mengaitkan cerita itu dengan pengalaman sensori mereka. Asha dan Esha dapat mengaitkan suara mobil halus (di dalam cerita) dengan suara mobil Yanda (ayah mereka), dan suara mobil yang menderu sama dengan suara mobil ayah Azizi. Kebetulan juga gambar mobil bersuara menderu di dalam buku digambarkan berwarna kuning, seperti mobil Zizi. “Bannya gede,” kata Asha, mendeskripsikan mobil paman mereka.
Bagian akhir cerita pembaca diajak mengamati suara sekeliling. Kita tidak perlu berjalan jauh untuk mendengar suara-suara, tulis buku itu.Saya pun mengajak Asha dan Esha memejamkan mata sejenak untuk mendengar suara-suara sekeliling.
“Motor,” kata Asha.
“Suara Azizi,” kata Esha. Pada saat itu Azizi sedang tertawa-tawa 🙂
Dari pengalaman saya membacakan cerita ini:
• Saya dapat melakukan engagement dari awal hingga akhir melalui aktivitas sensori:
– Mendengarkan
– Melihat
– Membayangkan aroma
• Saya dapat melatih fokus dengan memejamkan mata
• Saya dapat mengajak mengaitkan cerita dengan diri sendiri
Dari pengalaman read-aloud, saya dapat mengajak anak bermain dengan buku dan memperkaya pengalaman anak. Membaca itu menyenangkan, bagi pencerita (orang yang membawakan cerita) dan bagi anak yang mendengarkan.
Ditulis oleh Endah Widyawati, UGC Contributor theAsianparent.com
Artikel UGC lainnya:
Intip 5 Cara yang Bisa Bunda Lakukan untuk Menyingkirkan Negative Vibes
Anakku Histeris saat Aku BAB di Toilet, Apa yang Terjadi Padanya?
6 Cara Mengoptimalkan Periode Emas Anak, Nutrisi sampai Pembatasan Screen Time
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.