Kejadian ini sudah berlangsung sejak putra pertama saya berusia 6 tahun. Ada beberapa perilakunya kala itu yang menurut saya tidak umum. Mungkin ada juga Parents lain yang mengalami hal yang serupa. Saya ingin berbagi pengalaman bagaimana saya menelusuri kejadian-kejadian yang mungkin menjadi penyebab anak paranoid ditinggal ibu BAB, hingga mendapat solusi untuk menanggulanginya.
Tantangan Ibu Bekerja
Setelah memiliki anak, suami tetap mengizinkan saya bekerja. Kebetulan kondisinya saat itu masih sangat memungkinkan. Kami beruntung mendapatkan pengasuh yang sangat sayang pada anak kami, memperlakukan dia seperti cucunya sendiri.
Apalagi selama beberapa bulan pertama dia bekerja, ada orang tua saya dan orang tua suami yang gantian mendampingi.
Meski demikian, setiap berangkat kerja selalu ada saja drama, anak saya mulai merengek sampai menjerit-jerit setiap saya nyalakan mobil. Sebab, dikiranya saya mau jalan-jalan dan dia tidak diajak.
Sehingga ada kalanya saya dan pengasuh main akal-akalan, entah dia dibawa pergi jalan-jalan, baru saya berangkat, atau saya berangkat diam-diam. Setiap pulang kantor, anak saya berlaku biasa saja, malah menunjukkan perilaku yang mandiri, artinya tidak ada kejadian aneh-aneh selama saya tinggal. Sesekali saya video call dari kantor, everything’s fine.
Si Mbak Pensiun, Perilaku Anak Berubah
Setelah 6 tahun bekerja, pengasuh anak saya memutuskan untuk pulang kampung. Meskipun demikian sampai kini kami masih sering bertukar kabar, apalagi setiap anak saya ulang tahun, dia selalu menelpon.
Setelah ditinggal pensiun, otomatis saya tidak bisa meneruskan karir saya, karena tidak ada yang menjaga anak-anak. Saya tidak menemukan pengganti yang seperti si mbak. Saya juga tidak enak untuk terus meminta bantuan orang tua atau mertua untuk menjaga anak saya pada saat saya bekerja.
Mulailah terlihat perubahan perilaku anak saya, yang tadinya mandiri, sekarang manjanya luar biasa. Apa-apa harus sama mami, mungkin semacam pelampiasan selama 6 tahun kurang “perhatian” dari mami.
Perilakunya yang paling tidak umum menurut saya adalah, setiap kali saya ke kamar mandi, dia selalu bertanya, “Mami mau ngapain?”, kalau saya jawab mandi atau BAK, dia hanya mengangguk seolah ‘mengizinkan’. Tetapi, jika saya jawab (maaf) mau poop, dia langsung histeris.
Saya dicegah supaya tidak masuk kamar mandi. Saya sudah sering membicarakan hal ini dengannya, memberi penjelasan mengapa orang perlu BAB. Dia tidak bisa menerima alasan apapun, saya tanya sebabnya pun dia tidak mengerti.
Sehingga setiap kali BAB, saya harus berbohong, dan buruknya lagi, dia suka menyelidiki, “Kalau pipis, kenapa lama?”. Sering kali dia menggedor-gedor pintu kamar mandi jika saya agak lama, sehingga harus pura-pura mengucurkan air supaya terdengar sedang mandi, kalau tidak, dia akan menangis histeris di depan kamar mandi dan meminta saya keluar saat itu juga.
Perilaku lainnya adalah, setiap kali hendak BAB, saya harus mengantarnya sampai depan kloset dan memegangi tangannya sampai dia benar-benar duduk. Jika tangan saya lepas sebelum dia duduk dengan benar, dia akan berdiri lagi, memegang tangan saya dan mengulang prosesnya.
Ini berlangsung sampai usianya 8 tahun. Perilaku lainnya adalah dia tidak mau mengucapkan kata maaf. Lebih baik dimarahi, dihukum atau didiamkan daripada harus bilang maaf.
Menyelidiki Penyebab Psikologis Anak Paranoid Ditinggal Ibu BAB
Saya dan suami sempat berpikir, apakah anak kami perlu dibawa ke psikolog atau hypnotherapy untuk mengatasi perilakunya. Mertua saya mengatakan tidak perlu, “Nanti kalau sudah besar juga berubah,” katanya.
Sering kali kami meluangkan waktu untuk menasehati anak saya, termasuk bertanya mengapa sikapnya seperti itu. Saya juga bertanya kepada orang tua, mertua dan pengasuh anak saya, apakah dulu ada kejadian yang membuatnya paranoid atau perilaku yang aneh. Tapi sepertinya tidak ada yang salah.
Anak saya dikelilingi oleh orang-orang yang sangat menyayanginya. Saya dan suami sering berdiskusi untuk saling introspeksi diri, apakah mungkin ada tindakan kami yang salah. Sepanjang ingatan kami, kalaupun ada kejadian menegur anak masih dalam batas yang wajar. Intinya tidak ada yang menyimpang.
Sejak usianya 7 tahun, saya sering melatihnya untuk bersikap terbuka, menceritakan apapun yang dia rasakan, mengekspresikan perasaannya, termasuk memperkenalkan banyak sekali kosa kata baru, baik melalui buku bacaan, film keluarga, bahkan beberapa games yang saya izinkan. Tujuannya supaya dia bisa menyampaikan apapun tanpa terhalang kosa kata yang terbatas.
Sampai akhirnya suatu hari, saya dan anak saya sedang bicara dari hati ke hati. Saya memang membiasakan dia untuk curhat. Dalam pandangan saya, supaya saya bisa memahami kebutuhan mental dan psikologisnya. Biasanya dalam kesempatan itu saya menasehati, apa yang harus dia lakukan ketika menghadapi situasi yang tidak menyenangkan/tidak nyaman buat dia.
It’s okay not to be okay, ekspresikan kalau memang sedih atau marah, selama alasannya benar, bukan karena cengeng (misal karena bertengkar, atau tidak bisa menyelesaikan suatu pekerjaan). Saya baru menyadari dari salah satu ceritanya, ada hal-hal yang terkait masa lalunya, dugaan saya, yang menyebabkan sikap paranoidnya.
Dia bertanya kenapa kalau saya BAB lama. Padahal rutinitas mandi saya jauh lebih lama, biasanya sekalian menyikat kamar mandi. Anak saya tidak pernah masalah dengan itu.
Maka saya tanya, lama itu berapa menit. Di luar dugaan dia menjawab, “Waktu aku kecil, mami dari pagi sampai malam pupi (BAB) terus”. Memang di lain waktu saya pernah tanyakan ke pengasuh anak saya, kalau saya pergi kerja apakah anak saya pernah menanyakan saya, dan bagaimana menjawabnya.
Ternyata, untuk memberikan perasaan “nyaman” untuk anak saya, dia bilang bahwa mami ada kok, lagi pupi di kamar mandi, supaya anak saya merasa saya ada dan tidak pergi. Dalam pendangan pengasuh anak dan orang tua saya hal tersebut bukan hal yang salah, sehingga ketika saya tanyakan ada kejadian apa sampai anak saya paranoid, mereka tidak menemukan sebabnya.
Karena memang tidak ada tindakan yang keras, justru sebaliknya, saking sayangnya mereka kepada anak saya dan tidak tahu harus menjawab apa setiap saya pergi kerja. Akhirnya anak saya diyakinkan bahwa mami ada di rumah, tapi sedang pupi, jadi tidak bisa ditemui. Ternyata inilah yang selama ini menjadi penyebab anak paranoid ditinggal ibu BAB.
Say The Magic Word!
Setelah mengetahui sebabnya, saya konfirmasikan perasaannya, “Apa kamu takut kehilangan mami? Takut nggak ditemenin mami?”, dia mengangguk. Ternyata itu sebabnya.
Saat itu juga langsung saya tatap matanya, ”Mami nggak pernah sekalipun terpikirkan untuk ninggalin kamu, mami akan selalu ada buat kamu, sampai kapanpun mami akan jagain kamu, kamu nggak usah takut, kapanpun kamu butuh, mami ada untuk bantu kamu.
Mami sangat sayang sama kamu, oke, kamu jangan pernah takut kehilangan mami ya. Kalaupun mami pergi paling dekat, itupun kalau ada urusan penting. Selebihnya, mami lebih suka ada di rumah buat nemenin kamu.” Setiap ada kesempatan, jika momennya pas, saya selalu mengulangi kata-kata itu.
Sejak saat itu paranoidnya berangsur-angsur hilang. Tidak pernah histeris lagi ketika saya BAB, atau pergi sendirian untuk suatu keperluan. Memang sampai saat ini kalau mau BAB dia merasa harus selalu minta izin dari saya, walaupun sudah tidak perlu dipegangi.
Proses ini pun berlangsung bertahap. Awalnya saya harus memegang tangan dia sampai dia duduk di kloset. Kemudian mulai pindah media. Jadi saya tidak mau dia pegangan lagi, tapi pegang ujung pintu yang dekat kloset, sedangkan saya memegang ujung pintu satunya lagi. Yang penting tangan saya tidak boleh lepas dari pintu sebelum dia duduk.
Kemudian secara bertahap, dia cukup memastikan saya ada ketika dia masuk kamar mandi, suara saya harus terdengar, entah sambil bernyanyi atau bercerita, sampai dia duduk. Sekarang dia sudah berani BAB sendiri, walaupun setiap kali harus laporan dulu, sampai saya bilang oke, baru dia ke kamar mandi.
Oh ya soal kesulitan dia meminta maaf, akhirnya dia ada keberanian untuk menceritakan suatu kejadian, yang saya sendiri heran dia masih ingat. Ketika itu usianya baru 4 tahun.
Jadi waktu itu dia sedang menonton video kartun dari laptop saya. Tiba-tiba dia menyiramkan air minumnya di atas laptop saya sehingga mati total. Saat itu saya langsung ke kamar dan menangis.
Menurut penuturannya, dia sudah berusaha minta maaf tapi mami masih menangis terus. Jadi dalam pandangan dia, permintaan maafnya itu yang membuat saya sedih, karena dia tidak mengerti/belum bisa membedakan tindakan yang mana yang membuat saya menangis. Saat itupun dia ikut menangis lebih keras dari saya hehe.
Akhirnya saya jelaskan bahwa menangis karena kehilangan sesuatu yang berharga itu wajar dan manusiawi. “Dalam kejadian itu, laptop mami saat itu adalah hal yang berharga buat mami, karena berisi banyak pekerjaan penting. Itu reaksi spontan.
Mami sedih karena kehilangan data-data mami, bukan karena tindakan kamu. Walaupun laptop mami berharga, tapi di dunia ini tidak ada yang lebih berharga dari kamu. Mami bisa ganti laptop kapan aja kalau rusak atau hilang, tapi kamu nggak tergantikan.
Kalau mami sedih itu wajar, tapi bukan berati mami menyalahkan kamu. Ini penting, kamu harus ingat ya, mami tidak pernah menyalahkan kamu atas kejadian saat itu. Mami sangat sayang sama kamu. Mami nangis bukan karena kesalahan kamu, itu reaksi yang wajar.
Sama seperti kalau orang pelihara kucing terus kucingnya mati, kalau dia nangis, wajar nggak?”. Sekarang dia tidak pernah sungkan untuk minta maaf kalau menurutnya tindakannya salah.
Kesimpulan
Sebagai orang tua, saya banyak melakukan kesalahan, apalagi saat menjadi orang tua baru. Saya banyak belajar dari berbagai kejadian pribadi maupun pengalaman orang lain. Apalagi masa kecil anak-anak banyak momen yang tak tergantikan dan waktu yang sudah berlalu tak bisa diulang, yang sudah terjadi, terjadilah.
Tapi bukan berarti kita tidak bisa memperbaikinya. Saya berusaha melakukan kompensasi atas hal-hal yang mungkin saya lewatkan di masa kecil anak saya ketika harusnya saya melakukannya. Sekarang saya lebih banyak melakukan kegiatan yang bersifat family bonding.
Bahkan saya terangkan apa yang saya lakukan dalam kegiatan saya. Sambil memperluas wawasan, dia juga belajar banyak kosa kata baru, istilah-istilah yang tidak umum dalam pekerjaan saya bisa dia pahami.
So, Parents jangan khawatir jika anak mengalami paranoid, selidiki sebabnya, pahami alasan psikologisnya, lalu afirmasikan kepada anak agar mereka tidak takut, dan bahwa parents akan selalu menjaga mereka.
Terakhir, berikan kompensasi untuk mereduksi ketakutannya hingga akhirnya berangsur hilang. Demikian cerita pengalaman saya tentang anak paranoid ditinggal ibu BAB. Tetap semangat dan semoga sharing saya bermanfaat.
Ditulis oleh Frederika Astrid, UGC Contributor theAsianparent.com
Artikel UGC lainnya:
Ketika Menghadapi Kenyataan Memiliki Anak Autis
5 Hal yang Harus Dilakukan saat Anak Bercita-cita Jadi YouTuber
6 Cara Mengoptimalkan Periode Emas Anak, Nutrisi sampai Pembatasan Screen Time
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.