Saat seorang perempuan menikah dan punya anak, biasanya ia akan dihadapkan dengan pilihan menjadi ibu rumah tangga atau menjadi ibu bekerja. Pilihan ini tak jarang membuat seorang perempuan menjadi bimbang. Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan, tapi tentunya dukungan suami akan sangat membantu seorang ibu menjalani pilihan tersebut.
Adalah Indah Riadiani, ibu dua anak yang tinggal di Bogor ini juga menghadapi dilema serupa ketika dihadapkan pilihan apakah mengejar karir sesuai impiannya dahulu, ataukah fokus menjadi ibu rumah tangga yang mendidik anak dan mengurus suami?
Tim theAsianparent Indonesia mewawancarai perempuan berusia 29 tahun yang tinggal di Bojonggede, Bogor ini. Terkait keputusannya dalam menentukan pilihan menjadi ibu rumah tangga.
“Pilihan menjadi ibu rumah tangga tidak pernah saya sesali,” ucap Indah Riadiani
Indah bersama suaminya Rahmad Syalevi, beserta dua buah hati mereka, Una dan Nunu.
Kalau boleh tahu, dulu nikahnya umur berapa sih?
Saya nikah tahun 2016, ketika itu saya berumur 25 tahun. Dua tahun setelah saya lulus kuliah. Saat itu saya sudah menjalani masa pacaran selama 4 tahun dengan suami, karena kami sudah dekat sejak masa kuliah, dia senior saya di kampus.
Oh, ya, sebelum menikah sempat tes HIV dulu nggak? Soalnya, berdasarkan data dari Laporan HIV Triwulan II Tahun 2019 Dirjen P2PL Kemenkes RI, ibu rumah tangga adalah kelompok yang paling rentan terkena HIV, dan biasanya mereka baru sadar saat sudah positif terkena AIDS. Dan kebanyakan dari mereka justru tertular HIV dari suami.
Saya menjalani tes HIV justru pada saat hamil anak pertama, anjuran dari bidan. Sebenarnya merasa aneh juga, karena seharusnya tes dilakukan sebelum nikah atau sebelum hamil ya.
Tapi sebelum menikah saya menjalani tes kesehatan, sesuai yang dianjurkan oleh negara.
Indah dan suami saat resepsi pernikahan dengan adat Aceh.
Saat menikah, idealnya pasangan suami istri perlu lebih dulu melakukan perencanaan kehamilan, biar gimanakan, memang seharusnya semua anak sebaiknya diinginkan. Tidak ada istilah ‘kebobolan’. Kalau kalian gimana, pakai kontrasepsi dulu nggak pas awal menikah? Pilihan kontrasepsi harus ikut apa kata suami atau terserah istri?
Pas awal menikah kami tidak memakai kontrasepsi. Kami memang sudah berencana untuk punya dua anak sebelum umur 30 tahun. Anak pertama saya sekarang 3 tahun, dan yang kedua umur 1 tahun. Lalu setelah anak pertama lahir, saya mulai pakai kontrasepsi biar ada jeda dua tahun dengan anak kedua.
Untuk masalah kontrasepsi, kalau suami sih terserah saya aja, dia suruh saya cari metode yang paling bikin saya nyaman. Karena saya takut pakai IUD, akhirnya pakai pil KB Andalan dan dibantu juga dengan kondom.
Ada 10% perempuan di Indonesia yang tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan rumah tangga. Kalau Indah sendiri, apakah suami suka mengambil keputusan sendiri atau kamu selalu dilibatkan sebagai istri?
Alhamdulillah selalu dilibatkan, saran istrinya selalu didengar. Kami menerapkan bebas berpendapat yang bertanggung jawab di keluarga ini. Semua saran ditampung dan dipertimbangkan baik buruknya. Alhamdulillah sejauh ini selalu memutuskan bareng-bareng.
Terkait pilihan menjadi ibu rumah tangga yang kamu lakukan, kapan sih itu diputuskan?
Sebelum menikah, saya sudah sempat kerja di radio selama 3 tahun sebagai scriptwriter dan penyiar. Setelah lulus kuliah, sempat jadi Tenaga Ahli Muda (junior expert) Bidang Analis Komunikasi Kebijakan Untuk Percepatan Pembangunan Infrastruktur dan Kawasan Strategis (KP3EI) di Kementerian Koordinator Perekonomian.
Waktu itu memutuskan untuk berhenti bekerja ketika saya hamil anak pertama, usia kandungan 4 bulan saya mengalami perdarahan parah dan hampir keguguran karena ritme kerja yang terlalu padat. Akhirnya saya memutuskan untuk resign.
Banyak sekali pertimbangan yang harus saya pikirkan. Akan tetapi, satu hal yang terus muncul di benak saya:” Tuhan telah mengamanahkan jabang bayi di perut saya, harus saya jaga dengan sungguh-sungguh. Pekerjaan dan segala rencana pribadi saya kedepannya, bisa saya tunda. Tapi menjaga amanah ini, tak bisa ditunda lagi.”
Pernahkah ada rasa penyesalan terkait keputusan tersebut?
Karena ini murni keputusan saya dan tanpa ada tekanan dari siapapun. Maka setitik pun tak pernah ada rasa menyesal. Namun jujur saja, setiap kali melihat pencapaian teman-teman seperjuangan yang sudah menjadi editor, manajer, ataupun kuliah aboard, ya ada lah sedikit rasa sedih dan “kepengen” juga hehe.
Tapi saat melihat anak-anak tertawa, sedihnya menguap, hilang.. Rasa syukur kemudian muncul, dan berbisik dalam hati “saya harus syukuri dan jalani tahap ini sebaik-baiknya. Nanti pasti ada saatnya untuk memulai kembali berkontribusi di ranah publik.”
Toh di mind map perencanaan keluarga kami, setelah fase menyusui ASI ekslusif, saya dan suami akan kembali berburu beasiswa S2, doakan kami ya.
Kalau suami, apakah dia mendukung pilihan menjadi ibu rumah tangga yang kamu ambil?
Suami selalu menghargai dan mendukung apapun keputusan saya, selama itu baik dan tidak merugikan siapapun.
Ketika saya rada down melihat teman-teman yang udah pada sukses di ranah publik, Lele (panggilan suami Indah) selalu bilang “Kamu juga sukses di ranah domestik Bu, aku bangga anak-anakku diasuh lulusan terbaik Paramadina”
Saya tertawa mendengarnya.
“Menjadi ibu rumah tangga bukan pekerjaan mudah, saya banyak belajar dari anak-anak saya”
Dulu saya pikir, menikah dan punya anak seperti indah dan mudah menjalaninya. Tapi setelah mengalami sendiri, ternyata pekerjaan ibu rumah tangga tak bisa disepelekan.
Orang-orang mungkin pikir, wah enak ya diam aja di rumah menghabiskan duit suami. Padahal saya kerja 24 jam sehari, 7 hari dalam seminggu. Tanpa libur, tidak bisa resign.
Pekerjaannya pun berat “mendidik anak, mencetak peradaban baru” yang tanggung jawabnya masyaAllah, dunia akhirat. Awalnya tertatih menjalani peran ini. Frustasi banget sampai merasa IRT bukan bidang saya, dan kayaknya lebih cocok kerja kantoran.
Tapi akhirnya saya pula yang menyadari bahwa ini path hidup yang harus saya jalani. Saya tetap berterimakasih kepada diri saya sendiri. Terimakasih karena telah berani menerima dan menikmati tantangan baru setiap harinya.
Ternyata setelah dijalani, banyaaaak sekali ilmu yg saya dapat. Justru gurunya adalah anak-anak. saya kira saya lah yang mengajarkan mereka banyak hal, nyatanya saya yg banyak belajar dari mereka.
Tentang belajar minta maaf, memaafkan, belajar sabar juga fear nothing. Saya kira mereka yang membutuhkan saya, nyatanya saya lah yang tak bisa jauh dari mereka.
Sungguh peran ini sangat mulia, pekerjaan ranah domestik yang juga patut dihargai. Terimakasih suami, karena selalu mendukung keputusan si istri yang banyak mau ini.
****
Menjalani peran sebagai ibu, istri sekaligus individu tentu saja menjadi sebuah tantangan besar. Seorang perempuan perlu memainkan banyak sekali peran setiap harinya.
Menjadi istri, menjadi ibu, menjadi teman dan guru bagi anak, menjadi koki untuk keluarga, hingga menjadi dokter ketika anak atau suami sakit. Perempuan Indonesia adalah sosok yang tangguh, meski banyak peran dijalani, namun ia tak pernah lupa akan jati diri, pribadinya sendiri sebagai manusia yang mandiri.
Walaupun demikian, perempuan Indonesia juga butuh dukungan dan perlindungan. Dukungan suami dan anak-anak dalam memilih jalan hidup, juga perlindungan dari sakit fisik maupun mental.
Indah beruntung, karena suaminya selalu mendukung dan membantunya dalam menjalani peran sebagai ibu rumah tangga. Sehingga ia bisa bebas menjalani setiap perannya dengan bahagia.
Apakah Bunda juga memiliki dukungan dalam menjalani peran? Share cerita Anda di theAsianparent Apps, yuk!
****
Sumber tambahan: Press release DKT Indonesia, 8 Maret 2020
Sumber foto: Instagram @indahriadiani
Baca juga:
Emansipasi Wanita dari Kacamata Seorang Ibu Rumah Tangga
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.