Sindrom Kawasaki (Kawasaki Syndrome) biasa disebut juga dengan Kawasaki Disease (KD). Sindrom ini pertama kali ditemukan oleh Profesor Kawasaki di Jepang dan termasuk dalam penyakit langka dan mengancam nyawa, terutama bagi anak-anak.
Saking langkanya, banyak anak yang mengalami salah diagnosis. Apalagi gejala awalnya adalah demam, sama seperti campak atau penyakit umum lainnya.
Penyakit ini berdampak pada pembuluh darah dan dapat membawa kerusakan pada arteri koroner yang membawa darah ke otot jantung. Kesalahan diagnosis dari dokter akan membuat sindrom ini makin sulit untuk disembuhkan.
Gejala awal sindrom Kawasaki
Tanggal 19 Mei 2017 Hayley Aiden Halim yang akrab disapa dengan panggilan Baby Hy mengalami demam. Dalam waktu 3 hari, suhu tubuh bayi 7 bulan ini makin lama makin tinggi, sehingga ia dibawa ke dokter untuk pemeriksaan.
Dokter menyatakan anak dari pasangan suami istri Irawan Halim dan Annette Lie terkena virus yang menyebabkan radang tenggorokan. Apalagi saat itu ia mengalami sedikit batuk-batuk.
Setelah diberi resep obat dan vitamin, Baby Hy dibawa pulang. Namun, siang harinya timbul bintik-bintik merah di kulit Baby Hy yang membuat Irawan dan Annette panik.
Baca juga: Muncul Ruam Setelah Demam pada Bayi dan Anak, Bahayakah?
Kesalahan diagnosis
Tiga hari kemudian, Annette memutuskan untuk membawa Baby Hy ke dokter lagi. Terutama saat bintik merah dan ruam di kulitnya bertambah parah.
Bekas vaksinnya juga tampak menonjol. Annette sempat mengira bahwa ada masalah infeksi pada vaksinnya sehingga keadaan kulit Hy berubah.
Dokter mengatakan, barangkali ada alergi obat maupun lainnya. Keadaan Baby Hy saat itu tak begitu jelas.
Bekas suntikan vaksin yang menonjol.
Dokter hanya memberikan resep baru dan meminta Annette untuk menghentikan konsumsi obat dari dokter sebelumnya. Karena dokter sebelumnya memberikan antibiotik dan kemungkinan ada reaksi alergi di dalamnya.
Beberapa waktu kemudian, setelah konsumsi obat, ruam di kulit Baby Hy semakin parah. Namun dokter menyatakan bahwa reaksi kulit seperti itu adalah wajar.
Ruam yang muncul di badan Baby Hy.
Di hari keempat demam atau sehari setelah periksa ke dokter terakhir, ruamnya sedikit demi sedikit mulai hilang. Ada kelegaan yang menyeruak di dada Annette bahwa putrinya akan sembuh.
“Mata Baby Hy merah tanpa mengeluarkan belek. Saya curiga pasti ada yang salah. Apalagi demamnya semakin naik. Saat itu, parasetamol hanya membantu untuk menurunkan demamnya sedikit. Namun demamnya kembali naik,” tutur Annette.
Mata Baby Hy yang merah tanpa ada belek sama sekali.
Kecurigaan berdasarkan foto
Dengan berbekal naluri sebagai seorang ibu, salah satu tante dari Baby Hy mengirimkan foto-foto keponakannya pada semua kenalan dokter yang ia tahu. Sampai akhirnya seorang dokter dari Bahama mengidentifikasi penyakit Baby Hy lewat foto dan mengatakan bahwa Baby Hy terkena sindrom Kawasaki.
Dokter tersebut semakin yakin bahwa yang dialami Baby Hy adalah sindrom Kawasaki ketika melihat beberapa gejalanya terpenuhi. Gejala penyakit Kawasaki biasanya berupa demam, ruam di kulit, strawberry tongue (lidah yang tampak seperti strawberi), jari bengkak, leher bengkak, dan kulit yang mengelupas.
Namun, saat itu orang-orang di sekitarnya meragukan bahwa yang dialami oleh Baby Hy adalah sindrom Kawasaki. Bahkan, dokter yang memeriksa Baby Hy saat itu meragukan diagnosis dokter Bahama tersebut.
Untuk memastikan, Annette dan suami melakukan pengecekan darah di laboratorium. Hasilnya, hemoglobin, leukosit, dan trombositnya bagus. Hanya saja, C-Reactive Protein (CRP) Baby Hy tinggi.
Dokter Bahama tersebut meyakini bahwa potensi sindrom Kawasaki masih sangat besar. Namun, dokter yang didatangi Annetta masih menyatakan bahwa CRP tinggi itu tanda bahwa Baby Hy memang sedang terserang virus.
Mencari pendapat lain
Jika tidak bersikap skeptis dan mengikuti naluri sebagai ibu, barangkali penyakit yang dialami Baby Hy tak akan pernah diketahui. Annette masih berusaha untuk mencari second opinion.
Dokter Mirari dari Rumah Sakit Kemayoran yang biasa memeriksa Baby Hy menyatakan bahwa saat itu juga ia harus diopname.
“Pada hari ke-10 demamnya semakin naik. Baby Hy harus diopname karena khawatir demam membuat tubuhnya dehidrasi,” ujar Annette dengan berat hati.
Tak sampai di situ, setelah melakukan pengecekan darah ulang, CRP Hy semakin tinggi. Ia dirujuk ke dokter Mulyadi, seorang spesialis jantung di RS Hermina Jatinegara yang menyatakan bahwa koroner Hy sudah melebar 2,5 mm dari ukuran normal di bawah ukuran 2 mm.
Baby Hy dinyatakan positif sindrom Kawasaki.
Annette kembali mengingat semua bacaan yang sempat ia cari seputar sindrom ini dan merasa sangat sedih mendengarnya. Namun ia masih bersyukur bahwa Baby Hy belum terlambat ditangani.
Kemungkinan, karena gejalanya yang mirip dengan campak, gondongan, radang, dan berbagai penyakit lain, maka dokter sempat keliru mengidentifikasi. Ditambah lagi dalam setahun hanya ada sekitar 5000 kasus Kawasaki pada anak-anak.
Perjalanan menuju kesembuhan
Jika dalam jangka waktu 10 hari Kawasaki syndrome tidak segera ditangani dengan Intravenous Immunoglobulin (IVIG), maka besar kemungkinan penyakit ini akan semakin mengancam nyawa. Penyakit tidak menular ini memang diam-diam bisa jadi pembunuh yang kejam untuk anak-anak.
“Syukurlah baby Hy kuat. Selama sakit, ia tidak pernah rewel. Makannya baik. Baby Hy adalah anak yang kuat,” tutur Annette lirih.
Ketidakrewelan Hy inilah yang membuat ibunya tidak panik selama ini. “Makanya awalnya saya kira penyakit Hy tidak serius karena banyak orang bilang bayi asal tidak rewel dan masih mau makan itu masih gapapa.”
Annette menjelaskan bahwa saat ini kondisi Baby Hy baik, “Beberapa waktu lalu kita ke dokter jantung lagi. Dokter bilang bahwa semua sudah kembali normal dan sudah sehat tapi tetap harus melanjutkan pengobatan (mengonsumsi aspirin) sampai 2 bulan pasca sakit (dalam kasus Hy) untuk memastikan pemulihannya sempurna.”
Saling mendukung dan berbagi pengetahuan
Karena hanya dialami sedikit orang dan penyebab pastinya tidak diketahui, maka Annette berbagi cerita Baby Hy lewat instagram @annettemarielie. Ia ingin agar orang tua lainnya mengetahui penyakit ini sehingga tak sampai salah diagnosis seperti anaknya.
Di Indonesia, sekalipun belum banyak yang menderita Sindrom Kawasaki, namun ada komunitas POPKI (Perkumpulan Orang tua Penderita Kawasaki Indonesia) yang bisa memberikan edukasi pada para orang tua dari anak-anak dengan penyakit yang sama.
Semoga para orang tua yang anaknya mengalami penyakit langka dapat menguatkan diri dan tetap tabah menjalani semua proses penyembuhan yang ada.
Baca juga:
Kegigihan Adam Fabumi, Pejuang Cilik yang Lawan Banyak Penyakit Langka
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.