Bertambah lagi gejala-gejala infeksi COVID-19. Dua di antaranya parosmia dan phantosmia. Sebenarnya, apa perbedaan parosmia dan phantosmia?
Kedua penyakit ini digolongkan sebagai ‘dysosmia’, yaitu gangguan kualitatif dari indra penciuman manusia, di mana penderitanya mengalami mispersepsi aroma.
Pengajar senior Universitas Portsmouth Lorenzo Stanford dalam artikelnya di Independent menuliskan bahwa orang dengan phantosmia juga sering mengalami kondisi yang berkaitan erat dengan parosmia.
Untuk tahu lebih lengkap mengenai perbedaan parosmia dan phantosmia, mari baca ringkasannya di bawah ini.
Perbedaan Parosmia dan Phantosmia, Dua Gejala COVID-19 Terbaru
Pengertian Parosmia
Parosmia sebagai istilah medis untuk kondisi distorsi indra penciuman –salah dalam mengenali aroma. Orang yang menderita parosmia akan mengalami kehilangan intensitas aroma di mana ia tidak bisa mendeteksi aroma –lebih ke bau tak sedap- di sekitarnya.
Orang yang mengidap parosmia mendeteksi bau yang ada dengan salah. Misalnya, bau harum dari roti yang baru dipanggang dicium sebagai bau busuk yang menyengat.
Hal ini sering kali membuat orang tersebut tidak nyaman. Distorsi bau ini bisa terjadi dari skala ringan hingga parah, dan bisa terhadap benda tertentu atau semua benda.
Artikel terkait: Ini Kuncinya! Cara Memulihkan Penciuman Terganggu Akibat Covid-19
Apa Itu Phantosmia?
Sedangkan phantosmia merupakan istilah untuk halusinasi penciuman atau bau misterius yang muncul tanpa kemunculan benda atau bau apa pun. Distorsi ini bisa bermanifestasi sebagai bau yang ‘normal’ atau tidak enak. Misalnya, mencium bawang putih saat tidak ada bawang putih di dekatnya.
Kedua gangguan penciuman ini digolongkan sebagai ‘dysosmia’, atau gangguan kualitatif dari indra penciuman.
Yang Terjadi pada Pasien Parosmia dan Phantosmia
Mekanisme terjadinya parosmia dan phantosmia belum sepenuhnya dipahami, tetapi diduga sebagai akibat dari kerusakan neuron pendeteksi aroma atau reseptor penciuman telah rusak karena virus atau kondisi kesehatan lainnya. Neuron-neuron ini melapisi hidung dan memberi tahu otak cara menafsirkan informasi kimiawi yang membentuk bau atau mendeteksi molekul bau. Kerusakan neuron ini mengubah cara bau mencapai otak.
Selain itu, bisa jadi ada kerusakan pada area sistem penciuman seperti umbi olfaktorius. Umbi olfaktorius yang berada di otak depan bagian bawah menerima sinyal dari neuron-neuron ini dan memberikan sinyal kepada otak Anda tentang aroma: apakah itu menyenangkan, memikat, membangkitkan selera, atau busuk. Umbi penciuman ini bisa rusak dan bisa menyebabkan parosmia.
Artikel terkait: Kenali Ciri-ciri Anak Mengalami Gangguan Sensorik Berikut Ini!
Penyebab Parosmia
Selain virus, parosmia dan phantosmia bisa juga disebabkan oleh hal lainnya.
- Cedera otak traumatis (TBI). Meskipun durasi dan tingkat keparahan kerusakan bergantung pada cedera, tinjauan literatur medis menunjukkan bahwa gejala parosmia setelah cedera otak traumatis tidak jarang terjadi. Trauma otak juga bisa disebabkan oleh kerusakan akibat kejang, yang menyebabkan parosmia.
- Infeksi bakteri atau virus. Infeksi saluran pernapasan bagian atas dapat merusak neuron penciuman. Ini biasanya lebih sering terjadi pada manula.
- Merokok dan paparan bahan kimia dalam waktu lama bisa merusak sistem penciuman.
- Efek samping pengobatan kanker. Radiasi dan kemoterapi dapat menyebabkan parosmia yang kemudian menyebabkan penurunan berat badan dan malnutrisi.
- Kondisi neurologis. Salah satu gejala pertama penyakit Alzheimer dan Parkinson adalah hilangnya indra penciuman. Lewy Body Demensia dan penyakit Huntington juga menyebabkan hal yang sama.
- Tumor di umbi sinus, korteks frontal, dan di rongga sinus juga menyebabkan perubahan pada indra penciuman Anda.
Gejala yang Dialami Penderita Parosmia
Sebagian besar kasus parosmia baru jelas setelah pasiennya sembuh dari infeksi. Tingkat keparahan gejala bervariasi dari kasus ke kasus.
Gejala yang paling sering dialami adalah merasakan bau busuk yang terus-menerus, terutama saat ada makanan. Selain itu, sulit mengenali atau memperhatikan beberapa bau di lingkungan sekitarnya yang diakibatkan kerusakan neuron penciuman.
Intinya, aroma yang tadinya Anda anggap menyenangkan menjadi sebaliknya.
Artikel terkait: 15 Gejala COVID-19 yang Sudah Ditemukan, Jangan Anggap Remeh!
Cara Mendiagnosis Parosmia
Jika Anda mengalami gejala di atas, segera periksakan ke ahli otolaringologi atau dokter THT (telinga-hidung-tenggorokan). Dokter akan memeriksa penciuman Anda untuk menentukan tingkat keparahannya. Dokter juga akan bertanya tentang riwayat penyakit keluarga dan kondisi kesehatan Anda terakhir kali, gaya hidup, dan obat-obatan yang sedang dikonsumsi.
Jika dokter mencurigai bahwa penyebab parosmia Anda mungkin neurologis atau terkait kanker, mereka mungkin menyarankan pengujian lebih lanjut. Ini bisa termasuk rontgen sinus, biopsi daerah sinus, atau MRI.
Baik parosmia dan phantosmia cenderung terjadi setelah hilangnya indra penciuman, jadi pengobatan apa pun untuk penyebabnya dapat membantu. Kabar baiknya adalah gejala kedua kondisi tersebut berkurang seiring waktu.
Cara Mengobati Parosmia
Tidak semua kasus parosmia dapat diobati dengan mudah, tergantung penyebabnya. Biasanya yang bisa disembuhkan dengan cepat yang disebabkan oleh faktor lingkungan, pengobatan, pengobatan kanker, atau kebiasaan merokok.
Pada kasus yang serius, seperti polip atau tumor, pembedahan justru diperlukan.
Dan untuk perawatan sehari-hari Anda butuh mengonsumsi zinc, vitamin A, dan antibiotik. Jangan lupa juga untuk selalu menutup hidung Anda guna mencegah bau yang tak sedap tercium.
Parosmia bukanlah kondisi yang permanen. Neuron dapat memperbaiki dirinya sendiri seiring waktu, tergantung gejala, penyebab, dan pengobatan. Jika penyebabnya virus atau infeksi, indra penciuman Anda dapat kembali normal tanpa pengobatan. Namun rata-rata, 60% penderitanya butuh waktu antara 2-3 tiga tahun.
Demikian informasi seputar perbedaan parosmia dan phantosmia yang jadi gejala baru COVID-19.
Artikel telah ditinjau oleh:
dr.Gita Permatasari, MD
Dokter Umum dan Konsultan Laktasi
Baca juga:
Penyakit demensia bisa dideteksi sejak dini dengan indra penciuman, ini alasannya!
Polip Hidung pada Anak: Ciri-Ciri, Gejala, Penyebab, Perawatan