Seorang ibu melakukan penganiayaan pada anak tirinya di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Hal itu diketahui dari sebuah video yang viral di Facebook, terlihat seorang ibu berulang kali menampar anak perempuannya.
Tidak hanya itu, dalam video berdurasi 3 menit 19 detik tersebut, terlihat juga perlakuan ibu yang mendorong, membentak, dan memecut sang anak menggunakan ikat pinggang. Peristiwa penganiayaan pada anak ini terjadi pada Kamis (13/02/20).
Dikutip dari situs Antara Sumut, Kapolres Simalungun AKBP Heribertus Ompusunggu, menjelaskan video tersebut direkam secara amatir oleh teman korban yang melihat kejadian. Diduga, korban dianiaya ibu tirinya karena tidak mengerjakan pekerjaan rumah dan tugas dari sekolah.
Kasus penganiayaan yang viral di media sosial itu kemudian dilaporkan oleh kakek korban. Saat ini, penyelidikan masih terus dilakukan dan pelaku telah diamankan pihak Polsek Perdagangan.
Berdasarkan informasi yang beredar, pelaku penganiayaan yang merupakan ibu tiri korban terancam hukuman 5 tahun penjara. Sementara itu, korban sudah dapat beraktivitas seperti biasa, meski mengalami luka memar di kaki, tangan, dan wajah.
Penganiayaan pada anak di Indonesia
Kasus kekerasan anak di Indonesia seakan tidak ada habisnya. Buktinya, dikutip dari laporan “Global Report 2017: Ending Violence in Childhood” data kasus kekerasan anak di Indonesia tercatat 73,7% anak Indonesia berusia 1-14 tahun mengalami kekerasan fisik dan agresi psikologis di rumah sebagai upaya pendisiplinan.
Di sisi lain, Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA), mencatat kenaikan yang signifikan pada tahun 2016 jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
“Kasus kekerasan pada anak yang dilaporkan pada tahun 2015 tercatat 1.975 dan meningkat menjadi 6.820 di 2016,” kata Presiden Joko Widodo saat memimpin rapat terbatas mengenai penanganan kasus kekerasan terhadap anak yang digelar di Kantor Presiden, Kamis (9/01/2020).
Kemudian, data Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menunjukkan pada 2019 ditemukan sebanyak 350 perkara kekerasan seksual pada anak. Naik signifikan sejak 2016 yakni sebanyak 25 kasus.
Dari beberapa jenis kekerasan yang dilaporkan, ternyata kekerasan seksual menempati posisi teratas diikuti kekerasan psikis maupun kekerasan fisik.
Dampak penganiayaan pada anak
Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menyebutkan kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaran atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran.
Ketika anak menjadi korban kekerasan, maka tidak hanya menimbulkan bekas luka pada tubunya, tapi juga luka emosional, perilaku menyimpang, hingga penurunan fungsi otak. Adapun beberapa efek kekerasan pada anak di antaranya yaitu:
1. Emosi
Anak menjadi lebih sering sedih atau marah, sulit tidur, bermimpi buruk, memiliki rasa percaya diri yang rendah, ingin melukai diri sendiri, atau bahkan keinginan untuk bunuh diri. Mereka juga menjadi sulit berinteraksi dengan orang lain.
2. Penurunan fungsi otak
Kekerasan pada anak menyebabkan penurunan fungsi otak di bagian tertentu. Hal ini berpotensi menimbulkan efek jangka panjang, mulai dari penurunan prestasi akademik, hingga gangguan kesehatan mental pada saat dewasa.
3. Tidak mudah percaya pada orang lain
Akibat pengalaman buruk yang dialami dan berkurangnya rasa percaya dan rasa aman, maka saat mereka dewasa akan kesulitan untuk mempercayai orang lain.
4. Sulit mempertahankan hubungan pribadi
Pengalaman sebagai korban kekerasan pada anak dapat membuat mereka menjadi sulit mempercayai orang lain, mudah cemburu, merasa curiga, atau merasa kesulitan mempertahankan hubungan pribadi untuk jangka waktu yang lama.
Kondisi ini berisiko membuat mereka merasa kesepian. Penelitian menunjukkan, banyak korban kekerasan anak yang mengalami kegagalan dalam membina hubungan asmara dan pernikahan pada saat dewasa.
5. Memiliki risiko gangguan kesehatan yang lebih tinggi
Efek kekerasan pada anak dapat memengaruhi kesehatan dan tumbuh kembangnya. Korban kekerasan anak berisiko mengalami gangguan kesehatan yang lebih tinggi, baik secara psikis maupun fisik ketika mereka tumbuh dewasa.
Trauma akibat kekerasan pada anak bisa meningkatkan risiko mengalami asma, depresi, penyakit jantung koroner, stroke, diabetes, obesitas, hingga kecenderungan untuk mengkonsumsi alkohol dan narkoba.
Sebuah penelitian mencatat prevalensi upaya bunuh diri yang cukup tinggi pada orang dewasa yang pernah menjadi korban kekerasan anak.
6. Menjadi pelaku kekerasan pada anak atau orang lain
Saat anak korban kekerasan menjadi orangtua atau pengasuh, mereka berisiko melakukan hal yang sama pada anaknya nanti. Siklus ini dapat terus berlanjut jika tidak mendapatkan penanganan yang tepat untuk mengatasi trauma.
Artikel terkait : 6 Jenis Kekerasan Emosional pada Anak yang Dilakukan Orangtua Narsis
Mencegah kekerasan pada anak
Upaya pencegahan kekerasan atau penganiayaan pada anak dapat dilakukan dengan melibatkan lingkungan sekitar tempat tinggal anak. Menurut Tika Wibisono selaku psikolog anak, lingkungan RT/RW bisa menjadi garda terdepan untuk mencegah terjadinya kekerasan terhadap anak.
Beberapa forum yang sudah ada selama ini di lingkungan RT/RW dapat menyosialisasikan mengenai pentingnya pengawasan terhadap anak. Dengan begitu, diharapkan angka kekerasan pada anak bisa turun seiring berjalannya waktu.
Demikianlah informasi terkait kasus penganiayaan pada anak yang hingga saat ini masih rentan terjadi. Semoga setelah ini tidak ada lagi kasus serupa atau jumlahnya semakin menurun.
Baca juga :
Jangan sepelekan! Ini akibatnya jika anak terpapar tindak kekerasan di dalam keluarga
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.