Hati orang tua mana yang tidak miris mendengar menjamurnya kabar kekerasan terhadap anak yang kini marak terjadi di Indonesia? Bisa kita bayangkan bagaimana perasaan orang tua korban melihat trauma dan penderitaan anak yang akan dia tanggung seumur hidup.
Sesering apapun terapi yang dilakoni, atau seintens apapun usaha orang tua mendampingi si anak, tidak akan dapat menghilangkan trauma kekerasan terhadap anak.
Namun sadarkah kita, sebagai orang tua, bahwa kekerasan terhadap anak tidak hanya berwujud kekerasan seksual atau fisik? Sadarkah kita bahwa kita—mungkin—pernah menyakiti perasaan anak dengan kata-kata?
Memang tidak ada orang tua yang ingin menyakiti anaknya. Tetapi ada perbuatan, sikap sehari-hari dan kata-kata yang justru mencederai emosi anak dan hal ini disebut kekerasan psikis.
Ada fakta menarik akan keterkaitan antara cedera emosi yang dialami seseorang saat ia masih anak-anak dengan perilakunya saat dewasa. Berdasarkan latar belakang para pelaku pedofilia di Amerika Serikat, 80% dari pelaku mengalami kekerasan terhadap anak secara fisik, verbal dan seksual.
Para pakar kejiwaan menyimpulkan bahwa ada ‘pertarungan’ emosi yang terbawa sejak kecil saat anak mengalami kekerasan. Mereka tidak hanya tertekan, tetapi ingin membalas dendam kendati mereka tak mampu. Alhasil, mereka pun membalas dendam kepada yang lemah saat mereka merasa mampu.
Intinya, orang tua yang bersikap terlalu otoriter membuat si anak akan bersikap sama dengan menyerang temannya yang lebih lemah atau adik kelas. Tentu hal ini mengingatkan Anda pada kasus kematian dua anak SD—di Jakarta dan Sukoharjo—yang dipukuli oleh kakak kelasnya karena alasan sepele.
Wujud Kekerasan Psikis yang Tidak Disadari Orang Tua
Kekerasan atau pelecehan, dalam bentuk apapun, tetap menggoreskan luka hati mendalam pada anak. Namun, kekerasan psikis justru menimbulkan kekecewaan mendalam.
Jangankan pada anak, beberapa kasus bunuh diri yang dilakukan oleh orang dewasa pun disebabkan karena tekanan psikis di lingkungan kerja dan keluarga.
Bentuk kekerasan psikis tidak hanya berwujud pada kekerasan verbal seperti makian, melempar tuduhan, ploncoan, meremehkan atau bahkan mencela ungkapan hati si anak.
Beberapa orang tua—semoga Anda tidak termasuk di dalamnya—tidak menyadari bahwa imbas pelecehan psikis tersebut justru menjadi bom waktu yang entah kapan akan meledak dengan kekuatan maha dahsyat.
Baca juga di halaman berikut: Kekerasan Psikis, Sebab dan Akibatnya pada Anak
Hal sepele yang diucapkan dan keacuhan yang dilakukan orang tua ternyata termasuk dalam kekerasan psikis! Simak poin-poin berikut ini.
Enggan Menunjukkan Kasih Sayang dan Perhatian
Siapa di antara Anda yang kerap marah saat si anak mengajak Anda untuk bermain sepulang kerja? Secapek apapun kondisi Anda, jangan acuhkan keinginannya. Si kecil pun ‘capek’ menunggu orang tua yang disayanginya karena ia sangat rindu belaian dan canda tawa saat bersama orang tuanya.
Sentuhan adalah hal yang sangat berarti bagi si kecil. Tentu saja, dalam hal ini adalah sentuhan positif seperti memeluk, mencium dan bercanda, bukan mencubit dan menampar. Kehangatan kasih sayang orang tua merupakan jaminan keamanan bagi si kecil.
Mengisolasi Anak
Mengisolasi anak sama halnya dengan meneror pikiran dan perasaannya. Salah satu kisah tokoh Jane Eyre merupakan gambaran nyata bahwa pengisolasian pada anak akan menimbulkan ketakutan dan histeria.
Dalam kisah tersebut, Jane dikurung di ruangan dengan nuansa merah (red room) oleh sang bibi yang marah karena Jane melempar anaknya dengan buku. Terisolasi sekian lama membuat Jane pingsan dan terbangun dengan histeria disertai panas tinggi.
Ia bermimpi melihat mendiang ayahnya dan ia pun ingin ikut dengan ayah yang disayanginya. Kendati hal ini terjadi pada buku fiksi di era Victoria, namun hal semacam ini terbukti terjadi di dunia nyata. Di Indonesia, kisah orang dipasung yang sering dilakukan oleh penduduk di daerah terpencil menjadi bukti nyata.
Bentuk Pengisolasian Modern dan Akibatnya
Tidak sedikit orang tua mengunci anak dalam kamar mandi untuk ‘merenungi’ perbuatan ‘nakal’ nya. Menurut pakar kejiwaan, anak yang sering mengalami ‘pemasungan modern’ seperti ini justru menderita karena ia ingin lari dari situasi yang mengurungnya.
Padahal, terkunci dalam suatu ruangan, entah itu besar ataupun kecil, membuat emosi anak terpancing untuk memberontak. Jika hal ini dilakukan berulang-ulang, maka anak akan merasa dipisahkan dari dunianya yang menyenangkan dimana hal ini menjadi cikal bakal kepribadian ganda.
Imbas Kekerasan Psikis
Terlepas dari kepribadian dan karakter asli si anak, kekerasan psikis akan berakibat:
- Minder
- Depresi, labil, bingung akan berbuat apa
- Agresif, mudah marah, mudah menangis
- Sulit mempertaankan hubungan stabil
- Anti-sosial
Stop Kekerasan Psikis
Kekerasan terhadap anak ternyata sangat berpengaruh pada perkembangan emosinya. Luka kekerasan psikis memang tidak dapat divisum, namun akan membekas seumur hidup, tanpa dapat diketahui dan dirasakan siapapun, kecuali oleh korban.
Kita mungkin tidak sempurna dalam membimbing anak, namun paling tidak, kita tidak perlu menambah rasa sakit hati karena ucapan dan tindakan kita yang berdasarkan emosi.
***
Baca juga:
6 Jenis Kekerasan Emosional pada Anak yang Dilakukan Orangtua Narsis
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.