Membayar hutang puasa bulan Ramadan sering dilakukan utamanya pada hari Senin dan Kamis. Selain itu, ada kalanya seseorang belum sempurna puasanya karena berhalangan akibat satu dan lain hal. Lantas, seperti apa hukum dan niat ganti puasa?
Puasa Ramadan hukumnya wajib bagi seluruh umat Islam yang sudah balig dan berakal sehat. Namun, tidak semua muslim dapat mengerjakan puasa Ramadan secara penuh, contoh perempuan yang mengalami masa haid dan nifas. Namun, hal ini bisa diganti di waktu berikutnya.
Hukum dan Niat Ganti Puasa
Allah tidak akan memberikan beban dan cobaan melebihi kemampuan umatnya, tak terkecuali dalam hal ibadah. Dalam praktiknya, ada saja halangan yang menyebabkan seseorang tidak bisa berpuasa di bulan Ramadan.
Oleh karena itu, orang tersebut wajib menggantinya di luar bulan tersebut atau disebut juga qadha puasa. Mengqadha puasa dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu berturut-turut sesuai jumlah hari puasa yang ditinggalkan, atau terpisah asalkan jumlah hari puasa yang ditinggalkan terpenuhi.
Nabi Muhammad SAW bersabda,
“Qadha (puasa) Ramalan itu, jika ia berkehendak, maka ia boleh melakukannya terpisah. Dan jika ia berkehendak, maka ia boleh melakukannya berurutan. ” (H.R. Daruquthni, dari Ibnu ‘Umar).
Sebagai contoh, seseorang yang hendak mengganti puasa Ramadan 6 kali, dapat memilih menjalankannya selama 6 hari berturut-turut, atau pada hari-hari tertentu ketika ia mampu menjalankan asal totalnya tetap 6 hari.
Sebagai informasi, bagi Anda yang hendak melakukan qadha puasa pada hari Senin dan Kamis maka tidak perlu menggabungkan niat puasa qadha dengan niat puasa Senin dan Kamis. Yang perlu dilakukan adalah melafalkan niat qadha puasa, karena qadha puasa itu hukumnya wajib.
Artikel terkait: Membaca Niat Puasa Ramadan Setelah Subuh, Bagaimana Hukumnya?
Niat qadha puasa Ramadan dibaca pada malam hari seperti ketika seseorang mengerjakan puasa Ramadan, dengan lafal bahasa Arab sebagai berikut.
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ قَضَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ لِلهِ تَعَالَى
Nawaitu shauma ghadin ‘an qadhā’I fardhi syahri Ramadhāna lillâhi ta‘âlâ.
Artinya, “Aku berniat untuk mengqadha puasa Bulan Ramadan esok hari karena Allah Ta’ala.”
Aturan dan Ketentuan Qadha Puasa
Dalam Bahasa Arab, Qadha’ bermakna hukum dan penunaian. Sementara secara istilah, para ulama mendefinisikan qadha’ sebagai:
فِعْل الْوَاجِبِ بَعْدَ وَقْتِهِ atau di-Indonesiakan menjadi Mengerjakan kewajiban setelah lewat waktunya
Dalil tentang qadha puasa Ramadhan ini berdasarkan firman Allah SWT:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (١٨٤
Artinya; “Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka Itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (Qs. Al-Baqarah: 184)
Dalam ayat tersebut disebutkan bahwa seorang muslim diperbolehkan untuk tidak berpuasa dalam keadaan tertentu. Seorang Muslim yang seharusnya berpuasa boleh meninggalkan puasa jika ada Udzur Syar’i atau halangan berupa sakit dan dalam perjalanan jauh yang melelahkan.
Mengutip beragam sumber, terdapat 6 golongan orang yang diperbolehkan tidak berpuasa Ramadan dan wajib mengqadha puasa pada hari lainnya, antara lain:
- Musafir atau seseorang yang melakukan perjalanan jauh sesuai ketentuan Islam
- Orang yang sakit sehingga tidak memungkinkan berpuasa
- Ibu hamil
- Perempuan yang sedang haid dan nifas
- Orang lanjut usia
- Ibu menyusui
Artikel terkait: Tingkatkan Kebaikan dengan 12 Amalan Saat Puasa Ramadhan Ini!
Tentang qadha puasa Ramadhan ini, Rasulullah SAW bersabda:
وَلاَ يَجِبُ التتابعُ في قَضَاءٍ رَمَضَانَ لِمَا رُوِى انّ النبيَّ صلي الله عليْه وسلّم ” سُئِلَ عن قضاءِ رمضانَ فقال اِنْ شَاءَ فرقهُ وإن شَاءَ تَابِعَهُ “.
“Tidak wajib berurutan dalam men-qadha puasa Ramadan berdasarkan hadis yang diriwayatkan, “bahwa Rasulullah shalllahu ‘alaihi wassalam ditanyai tentang qadha puasa Ramadan, maka Rasulullah menjawab, “jika ia berkehendak, maka ia boleh melakukannya terpisah. Dan jika ia berkehendak, maka ia boleh melakukannya secara berurutan.”
Para ulama sepakat secara Ijma’ bahwa orang yang diwajibkan mengqadha’ puasanya harus melakukannya setelah bulan Ramadan hingga sebelum menjelang Ramadan selanjutnya. Serta diharamkan melakukan qadha puasa di hari-hari yang diharamkan.
Puasa Qadha Ramadan sebaiknya dilakukan sesegera mungkin, namun jika belum sempat menunaikan qadha’ puasa, maka bulan Sya’ban merupakan batas akhir untuk membayar hutang puasa. Hal ini sebagaimana hadis dari Abu Salamah, ia mendengar ‘Aisyah Ra, yang mengatakan:
كَانَ يَكُونُ عَلَىَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِىَ إِلاَّ فِى شَعْبَانَ . قَالَ يَحْيَى الشُّغْلُ مِنَ النَّبِىِّ أَو بِالنَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم
Artinya: “Aku dahulu punya kewajiban puasa. Aku tidaklah bisa membayar utang puasa tersebut kecuali pada bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari, no. 1950; Muslim, no. 1146).
Parents, semoga informasi tentang niat ganti puasa ini bermanfaat, ya. Jangan lupa melunaskan semua hutang puasa wajib sebelum memasuki bulan Ramadan ya, Parents.
Baca juga:
6 Pertanyaan Seputar Bayar Utang Puasa Ramadhan, Bolehkah Digabung dengan Puasa Lain?
Niat dan Doa Buka Puasa Ganti Ramadan, Parents Sudah Menjalankannya?
Berbagai Keistimewaan Puasa Ayyamul Bidh dan Manfaatnya bagi Kesehatan Tubuh