Pandemi Virus Corona membuat kebanyakan orang hanya bisa menghabiskan waktu di rumah. Untuk mengatasi rasa bosan, salah satu aktivitas yang dilakukan adalah bermain media sosial hingga bemunculan beragam ‘tantangan’. Misalnya, Mugshot Challenge yang beberapa waktu belakangan ini jadi tren di media sosial.
Namun nyatanya, tren yang pertama kali muncul di situs TikTok ini terbilang kontrovesional. Pasalnya, riasan dalam tren ini dinilai menyinggung para korban kekerasan.
Mugshot Challenge: Bisa picu trauma bagi korban kekerasan
Potret foto ‘Mugshot’ untuk catatan kriminal yang dilakukan pihak kepolisian| Foto: Shutterstock
Secara umum, partisipan dalam mugshot challenge ini ditantang untuk berdandan dengan riasan berantakan, seakan dirinya sedang babak belur. Beberapa orang bahkan menambahkan efek darah dan membuat wajah lebam agar riasan terasa begitu nyata.
Ide tantangan tersebut diambil dari foto mugshot. Ini merupakan sebutan dari potret wajah seseorang yang digunakan untuk kepentingan formal, biasanya identik dengan kriminal yang dilakukan oleh pihak polisi.
Permainan tantangan make up ini pun menjadi tren ketika beauty influencer tersohor di Amerika bernama James Charles ikut serta. Setelahnya, para warganet pun ikut meramaikan jenis tantangan di ini di berbagai media seperti Twitter, TikTok, dan Instagram.
Sudah ada lebih dari 155 juta tagar #mugshotchallenge di media sosial TikTok sendiri. Beberapa video yang menampilkan tantangan ini juga disukai hampir setengah juta akun wargana net. Menandakan bahwa sudah banyak sekali orang yang ikut serta melakukan tren ini.
Menyinggung korban kekerasan
Banyak orang beranggapan bahwa challenge ini terlihat menyenangkan dan seru. Namun, sebagian orang lainnya justru merasa jenis tantangan ini dinilai tidak pantas karena menyinggung mereka yang menjadi korban kekerasan. Baik pihak yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, mengalami relationship abuse, maupun yang mengalami bullying di sekolah.
Selain dinilai tidak sensitif pada korban, jenis tantangan seperti mugshot challenge ini dapat memicu trauma bagi mereka yang mengalami kekerasan. Hal ini juga disampaikan oleh beberapa warganet yang merespon unggahan James Charles.
“Kau tahu, aku harus melakukan operasi hidung karena menjadi korban KDRT. Hingga sekarang, hidungku belum pulih. Dan aku ingat betul kekerasan yang aku dapatkan waktu itu. Jadi, jenis tantangan ini bukanlah suatu candaan dan bisa dianggap enteng. Seharusnya kamu lebih paham. Ini bisa menjadi pemicu dan menyinggung para korban,” tulis akun Twitter @Twinks_KS.
Mugshot Challenge yang sempat diunggah James di akun Twitter miliknya
Menanggapi cuitan tersebut, James berkomentar, “Halo, maaf karena kamu telah melewati masa yang berat dan traumatis. Namun ini adalah tren TikTok, orang mengunggah foto ‘mugshot’ dan tidak ada hubungannya dalam kekerasan rumah tangga. Love you.”
Meski demikian, respon James juga ditanggapi kritis oleh banyak orang. Pasalnya, yang diunggah dalam tantangan lebih menunjukkan seseorang dalam keadaan babak belur daripada mugshot.
Karena menuai protes banyak orang, James pun menghapus unggahan mugshot challenge miliknya. Namun, masih banyak warganet lain yang tidak sensitif dan masih melakukan tantangan ini.
Mugshot Challenge adalah bentuk glorifikasi terhadap kekerasan
Tidak hanya di Amerika, banyak warganet di Indonesia juga kerap turut serta mengunggah tantangan ini. Baik perempuan maupun laki-laki mengunggah mugshot challenge mereka di akun sosial media. Dilansiri dari Tempo, mereka bahkan menulis ‘korban kekerasan dalam rumah tangga’, ‘KDRT’, ‘aku jatuh cinta pada kriminal’, sebagai keterangan foto.
Komisioner Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Siti Aminah Tardi menanggapi fenomena tantangan TikTok ini. Ia menilai, jenis tantangan ini tidak sensitif pada korban kekerasan. Ini memperlihatkan kekerasan sebagai sesuatu yang seolah dirayakan atau diglorifikasi.
“Menurut saya, tantangan tersebut tidak sensitif terhadap korban. Seakan-akan penganiayaan atau KDRT seolah dirayakan dengan ber-make up demikian,” ujar Siti seperti yang dilansir dari laman Tempo.
Tidak hanya itu, unggahan mugshot challenge juga berpotensi menghilangkan kepekaan terhadap bentuk kekerasan sesungguhnya. Karena menurutnya, bisa saja orang lain menjadi tidak percaya jika nanti ada korban yang mengunggah foto luka akibat kekerasan sesungguhnya di media sosial untuk meminta bantuan.
Lebih bijak dalam mengikuti tantangan di media sosial
Siti juga memaparkan, jika bentuk tantangan ini sebenarnya tidak bisa dilarang. Namun, ia menganjurkan agar publik lebih peka dan mengontrol diri dalam mengikuti jenis tantangan di media sosial.
Masyarakat perlu berempati dan mempertimbangkan perasaan korban kekerasan. Sehingga Siti menyarankan agar warganet lebih bijak dalam mengikuti tantangan di media sosial.
“Dengan memilih tantangan yang tidak mengandung pembenaran terhadap kekerasan, berarti kita ikut andil dalam menghentikan budaya kekerasan,” pungkasnya.
Berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan, hingga tahun 2019 sudah ada 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan. Angka ini terbilang meningkat sebanyak 6 persen dari tahun sebelumnya.
Oleh karena itu, mari kita bijak dalam mengikuti tantangan atau tren yang sedang ada di media sosial, ya, Parents. Tidak lupa, selalu bimbing si kecil dalam bermedia sosial juga. Sehingga ia bisa paham untuk tidak mengikuti jenis tantangan yang sekiranya menyinggung, kurang pantas, atau pun dapat membahayakan keselamatan dirinya sendiri.
***
Referensi: Tempo.co, Metro UK, Mashable SE Asia
Baca juga:
Pandemi corona bikin kasus KDRT meningkat tajam, begini cara mengatasinya!
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.