“Saat mengalami PPD (postpartum depression) saya dianggap ibu yang kurang beriman dan bersyukur, hingga kemasukan setan. Saya dianggap manja dan bahkan dicap ibu yang tidak berguna,” tukas Nur Yana, penggagas Komunitas Mother Hope Indonesia.
Depresi setelah melahirkan memang bisa terjadi pada siapa pun, juga. Tak hanya Yana, ada ribuan ibu di Indonesia yang mengalami hal serupa. Setidaknya, hal ini bisa digambarkan dari banyaknya anggota Mother Hope Indonesia yang tersebar di berbagai daerah Indonesia.
“Sejauh ini jumlah anggota komunitas Mother Hope Indonesia yang tergabung di Facebook kurang lebih ada sekitar 45.000 anggota,”
Belum lama ini saya berkesempatan, saya berkesempatan berbincang secara virtual dengan sosok Mbak Yana. Perempuan berhijab ini pun menuturkan kisahnya, memberikan gambaran bahwa sampai saat ini masih begitu banyak stigma yang melekat pada saat seorang ibu mengalami depresi setelah melahirkan.
Setelah mengalami kehilangan anak pertamanya, Yana mengalami depresi pasca melahirkan. Ketika itu, informasi dan pengetahuan mengenai depresi pasca bersalin atau yang kerap disebut Postpartum Depression belum semasif sekarang. Rintangan demi rintangan menghantam Yana yang masih berjuang untuk berdamai dengan kehilangan.
“Saat itu tahun 2011-2013 saya melahirkan bayi yang meninggal dan anak kedua. Saya belum mendapatkan pemahaman, edukasi apalagi dukungan dari keluarga. Ending-nya, depresi saya semakin parah bahkan berujung upaya bunuh diri. Namun, saat itu saya bisa dibilang telat mencari bantuan,” ujarnya memulai kisah.
Dirinya baru mencari bantuan psikolog klinis setelah bayinya berusia 9 bulan. Ia pun berusaha menjalani semua upaya konseling dan psikoterapi hingga akhirnya pada 2014 berhasil pulih. Berkunjung ke psikiater juga dilakukannya setelah melahirkan anak ketiga.
Berdasarkan pengalamannya melalui depresi seorang diri tanpa dukungan, Yana kemudian berinisiatif menciptakan ruang bagi para ibu untuk berbagi pengalaman mengenai depresi. Adalah Mother Hope Indonesia, sebuah wadah tempat ibu baru di luar sana bisa berkeluh kesah tanpa merasa dihakimi.
Berikut kutipan obrolan saya dengan Mbak Yana :
Kisah Komunitas Mother Hope Indonesia Berdiri
Halo Mba Yana, boleh diceritakan sekarang lagi sibuk apa saja?
Saat ini komunitas kami sedang launching buku Antologi Memoar MotherHope Indonesia yang perdana, berjudul “Mommies, You are Not Alone”. Buku ini berkisah tentang pengalaman 18 ibu penyintas depresi, bipolar dan psikosis pasca melahirkan, serta nakes yang mendampingi ibu yang mengalami gangguan mood pada masa perinatal.
Buku ini dilengkapi oleh teori dari tim psikiater dan psikolog, serta dukungan dari Facebook hingga pemerhati kesehatan jiwa ibu dari dalam maupun luar negeri. Sekarang kami sibuk mengadakan rangkaian promosi dan edukasi melalui radio dan Instagram.
Oh ya, kami juga sedang menyiapkan rangkaian Hari Kesehatan Jiwa Maternal Sedunia 2021 yang akan dirayakan pada 2 dan 9 Mei 2021. Nantinya akan ada panel diskusi dan bedah buku bertemakan Investment and Equity in Maternal Mental Health Care.
Dengan adanya pandemi COVID-19 yang memengaruhi semua aspek, apakah ini berlaku berdampak dengan adanya peningkatan jumlah ibu yang mengalami Postpartum Depression?
Studi di Cina mencoba mencari berapa banyak ibu yang mengalami gejala depresi pasca persalinan di masa COVID. Sebanyak 30% responden dari 864 ibu yang baru saja melahirkan (6-12 minggu), mengalami gejala depresi. Angka ini belum dibandingkan dengan masa sebelum pandemi, jadi angkanya belum final.
Ada juga Studi dari Wu et al 2020 Cross sectional study dari 4124 ibu hamil, dari 25 RS di 10 provinsi di Tiongkok yang diadakan pada 1 Januari-9 Februari kemarin, memperlihatkan 1285 ibu dinilai mengalami depresi setelah COVID diumumkan secara publik sebagai pandemik, dan 2839 ibu hamil sebelum deklarasi pandemik.
Dari hasil EPDS juga menunjukan bahwa ibu hamil yang dinilai setelah deklarasi COVID-19 memiliki gejala depresi yang lebih tinggi (26.0% vs 29.6% ) dan memiliki kecenderungan self harm yang lebih tinggi daripada ibu hamil sebelum deklarasi pandemik.
Beruntung, sekarang semakin banyak komunitas ibu dan bayi yang muncul membicarakan Postpartum Depression baik melalui media sosial atau seminar. Hal ini menunjukkan apa yang pernah saya alami dulu bukan lagi hal yang tabu.
Merujuk pada pengalaman anggota MHI, apakah ada benang merah yang memicu mereka mengalami depresi pascamelahirkan ini?
Postpartum Depression dan gangguan mood lainnya pada masa kehamilan dan pascamelahirkan terjadi karena berbagai kombinasi faktor biologis, psikologis dan sosial (multifaktorial). Untuk faktor biologis misalnya karena faktor genetika keluarga ibu mengalami gangguan jiwa, masalah hormonal, keguguran berulang, kehamilan beresiko tinggi, dan lainnya.
Dilihat dari sisi sosial misalnya adanya kesulitan menyusui dan tidak ada dukungan, baik itu dari pasangan maupun keluarga. Konflik rumah tangga dengan suami atau mertua, KDRT, perselingkuhan, hingga masalah ekonomi terutama selama pandemik turut menyumbang potensi depresi yang mereka alami.
Ketika mengalami PPD dahulu, seperti apa reaksi keluarga dan mertua? Hal apa yang akhirnya membuat Mba Yana bangkit?
Waktu itu mereka menganggap saya ibu yang kurang beriman dan bersyukur, hingga kemasukan setan. Saya dianggap manja dan bahkan dicap ibu yang tidak berguna.
Sebelum akhirnya datang ke psikolog saya mendatangi pertemuan kelompok dukungan dari komunitas peduli trauma, bertemu dengan sesama penyintas masalah kesehatan jiwa. Hingga akhirnya kami berdua memutuskan ke psikolog terutama setelah selamat dari percobaan bunuh diri terakhir.
Dengan segala pengalaman yang pernah Mbak alami, adakah stigma yang sampai sekarang masih melekat di tengah masyarakat dan ingin sekali dihapus?
Kurang beriman, bersyukur, dianggap kemasukan setan, bahkan gila. Saya juga ingin menghapus penilaian bahwa ibu depresi adalah ibu yang buruk dan kejam, bahkan dinilai manja dan mengada-ada saja.
Berkaca dari pengalaman yang ada, hal apa saja perlu dilakukan suami untuk mendukung istri tercinta?
Ada banyak hal yang bisa dilakukan agar istri senantiasa kuat.
- Dengarkan istri, jangan menghakimi perasaannya
- Jembatani ibu dan keluarga lain ketika ada kunjungan pascamelahirkan. Boleh saja dijenguk, asalkan pastikan ibu dan bayinya cukup beristirahat sehingga lekas pulih. Meminimalisir kunjungan yang ada juga bisa membuat bonding ibu dan bayi, juga melancarkan ASI
- Hindari body shaming supaya kepercayaan dirinya meningkat
- Sebagai suami, bekali dengan ilmu tentang ASI dan perawatan bayi. Ayah bisa lho terlibat dengan turut memandikan, menggendong, menggantikan popok, hal sederhana tetapi bermakna. Jangan sungkan bergantian begadang dengan ibu. Bantu pekerjaan domestik ketika sempat misalnya memasak dan mencuci piring sehingga ibu bisa istirahat sejenak
- Tidak melakukan KDRT baik secara fisik, psikologis atau menelantarkan secara ekonomi
- Menemani ibu ke dokter kandungan, dokter anak atau konselor menyusui
- Mendampingi ibu ke psikolog klinis atau psikiater jika dibutuhkan
- Tak kalah penting, biarkan juga Ayah beristirahat dan merawat dirinya karena Ayah juga bisa mengalami baby blues bahkan depresi pascamelahirkan. Sayangnya, hal ini kerap luput dari perhatian.
Dengan didirikannya komunitas Mother Hope Indonesia, apa pesan dan harapan yang ingin disampaikan untuk seluruh perempuan di Indonesia?
Sumber: Facebook Mother Hope Indonesia
Postpartum Depression dan gangguan mood lainnya pada masa kehamilan dan pasca melahirkan dapat terjadi pada 1 dari 5 ibu di seluruh dunia, tanpa mengenal ras, agama, suku bangsa, bahkan tingkat sosial ekonomi.
PPD itu nyata, namun kabar baiknya adalah PPD dapat dipulihkan, ibu bisa kembali bahagia dan kembali merawat buah hatinya dengan optimal. You are not alone, you are not be blamed. Bicaralah pada pasangan dan orang terdekat yang bisa dipercaya, jangan ragu untuk meminta bantuan psikiater maupun psikolog klinis, akan selalu ada harapan.
Parents, semoga kisah tentang pendiri Mother Hope Indonesia ini dapat menginspirasi Anda, para orangtua tangguh di luar sana.
Baca juga:
Dirikan Kumpulan Emak Blogger, Mira Sahid: "Tak Hanya Jadi Berdaya, Menulis Juga Proses Healing"
Hamil dan Menjadi Penyintas Kanker Payudara, Ibu Ini Bagikan Perjuangannya
Pengalaman Keguguran: "Mertua dan Ipar Menyindirku punya Rahim Lemah"
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.