Terlalu sering menonton televisi dapat berakibat buruk untuk anak. Salah satunya gangguan perhatian maupun sensory disorder (gangguan proses sensori).
Seorang ibu bernama Risca Widyasari menulis pengalamannya sebagai seorang ibu dari anak yang terkena gangguan proses sensori. Selama ini, ia tidak menyadari bahwa kebiasaan anaknya menonton televisi akan berakibat buruk untuk perkembangan kognisinya.
Ia menulis surat ini agar menjadi pelajaran bagi dirinya sendiri maupun ibu yang lainnya agar tak mengabaikan kebiasaan buruk anak yang biasa disepelekan oleh para orangtua. Jangan sampai, gangguan proses sensori yang dialami oleh anak jadi tak terdeteksi.
Saat dihubungi oleh penulis theAsianparent Indonesia, Risca mengatakan bahwa sejak anaknya mengikuti beragam terapi, ada banyak kemajuan yang didapatkan.
“Alhamdulillah ya, kalau sekarang sudah lebih bisa diajak komunikasi. Bisa fokus ketika mengerjakan sesuatu dibandingkan sebelumnya yang asik sendiri. Dulu anak saya minim kontak mata sama orang lain,”
Untuk mengatasi gangguan proses sensori yang dialami oleh anaknya, pada 3 bulan pertama, Rei (3 tahun) melakukan terapi 3 kali dalam satu minggu. Masing-masing berupa dua sesi sensori integrasi dan satu sesi okupasi terapi. Kemudian, tiga bulan setelahnya, sesi terapi bertambah dengan adanya terapi wicara. Setelah evaluasi kembali, terapi wicaranya bertambah jadi dua kali dalam seminggu.
Saat ini, kemajuan paling pesat yang didapatkan oleh Rei adalah seputar terapi wicaranya, “tinggal melatih dia bercerita. Terapi sensori integrasi dan okupasi masih akan dilanjutkan sampai ia masuk usia sekolah,”
Artikel terkait: Terlambat bicara atau autisme? Identifikasi bedanya.
Risca menjabarkan lebih lanjut bahwa terapi mengatasi gangguan proses sensori tersebut penting dilakukan agar ia bisa lebih konsentrasi belajar koordinasi antara mata dan tangan ketika menulis dan motorik halus lainnya.
Bebas televisi
Jika dulu Rei adalah anak yang lekat dengan televisi, kini keadaan berubah. Rei yang sekarang bahkan tidak pernah menonton televisi lagi, “tapi kalau ada acara kumpul-kumpul keluarga atau dia main ke rumah saudara, televisi itu masih sangat susah dihindari. Kalau di rumah dia sudah tidak menonton televisi lagi.”
Risca bercerita tentang perjuangan panjang membebaskan anak dari jerat televisi. Pada minggu pertama terapi di bulan Februari 2016, ia sudah menerapkan satu minggu bebas televisi pada Rei.
Selain mencabut saluran televisi, ia juga melakukan perjanjian dengan suami untuk tidak menyetel televisi jika anak belum tidur.
“Reaksi anak saya? Ngamuk pasti. Dia nangis tantrum dengan segala gaya tantrumnya dia. Dalam sehari, dia bisa tantrum sampai berkali-kali. Barulah pada minggu ke 3 dan 4, dia sudah agak lupa dengan televisi.”
Risca memilih untuk alihkan perhatian Rei dari televisi dengan kegiatan yang lain. Karena ia dan suami adalah penggemar buku, maka aktivitas pertama yang menjadi alternatif setelah tidak ada televisi adalah membaca buku.
Rutinitas membaca buku ini juga bukan sebuah kegiatan yang mudah dilakukan. Awalnya, ia akan memangku anaknya untuk membaca buku. Dengan posisi seperti itu, Rei hanya melirik dan langsung kabur dari pangkuannya.
Tapi ia tak mudah menyerah. Secara rutin, ia memberikan satu buku perhari. Buku yang ia berikan saat itu adalah buku cerita bergambar dengan kertas biasa. Hasilnya, buku itu sukses disobek-sobek oleh Rei.
“Akhirnya saya berikan dia buku seperti Halo Balota yang anti sobek dan berformat board book. Selain anti sobek, buku itu juga anti rusak, kalau basah tinggal dilap saja,” terangnya.
Sesuai saran terapis, ia juga memberikan kegiatan yang lain seperti bermain puzzle kayu dan lego. Kadang, ia juga belajar kosa kata dengan Flashcard.
Artikel terkait: Terapi wicara sederhana yang bisa dilakukan di rumah.
Jika sudah bosan dengan berbagai permainan indoor, Risca akan mengajaknya bermain ke playground di supermarket, “kadang saya ke supermarket hanya untuk menemani dia main perosotan. Karena kalau main di PAUD, kita harus daftar menjadi muridnya dulu.”
Mengubah ketergantungan Rei pada televisi sempat berdampak pada pola makannya. Biasanya, Rei adalah anak yang suka makan sambil menonton televisi. Namun, setelah lepas dari televisi, Rei sempat melakukan aksi mogok makan. Ia menolak untuk disuapi.
“Akhirnya saya biarin. Taruh piring makan di kursi makan dia dan memastikan bahwa piring tersebut ada dalam jangkauan dia. Ketika dia lapar, dia akan mengambil sendiri makanannya.”
Jika cara tersebut dibilang sebagai sesuatu yang kejam, maka Risca tak masalah dikatakan tega pada anak. Karena ia sudah habis cara supaya anaknya mau makan, tak sekedar mengemut makanannya di mulut saja.
Saat anaknya sudah mulai lapar, ia akan berinisiatif sendiri mencari makanan camilan yang ada di kulkas. Kebiasaan minum susu formula 2-3 kali sehari setelah lepas ASI ikut membantunya dalam penuhi nutrisi anak.
Artkel terkait: Mengapa anak terlambat bicara?
Perjuangannya membiasakan makan tanpa menonton televisi berbuah pada bulan ketiga. Anaknya sudah mau untuk makan bubur kacang hijau sendiri. Sekalipun masih perlu disuapi dalam hal makan nasi, namun Risca selalu bersyukur dengan perkembangan apapun yang dialami oleh anaknya.
Kini, Rei juga sudah mulai mau diajak menyanyi lagu anak-anak walau dengan pengucapan yang terdengar masih lucu. Saat ia tak bisa menirukan lirik lagu yang dinyanyikan, ia tetap melakukan kontak mata dengan ibunya sambil membuka mulut seolah ingin ikut bernyanyi.
“Dia sudah lebih bisa mengidentifikasi diri dan benda-benda. Ia bisa lebih memperhatikan sekitarnya. Saat anak sudah bisa memperhatikan sekitarnya, maka ia sudah siap untuk melakukan terapi wicara. Karena terapi wicara adalah poin penting yang terlihat pada tumbuh kembang anak,” jelasnya.
Artikel terkait: Kenali ciri anak yang alami gangguan proses sensori berikut ini.
Lebih jauh, ia menjabarkan bahwa variasi cakupan tumbuh kembang setiap anak itu berbeda-beda. Tak semua orangtua bisa memahami hal ini. Orang tua banyak yang berpikir bahwa anaknya baik-baik saja, padahal ada hal tak terlihat yang akan mengganggu perkembangan anak nantinya.
Singkatnya, semua bersumber pada sensori anak. Jika proses sensori anak berjalan dengan baik, maka semuanya akan baik-baik saja. Gangguan atau telat bicara hanyalah satu indikator dari banyaknya indikator lain dari keterlambatan perkembangan anak.
Perang batin
Awalnya, tak mudah bagi Risca untuk membuka diri ke publik tentang masalah yang ia alami terkait dengan masalah sensori anaknya. Namun, setelah ia berbagi di komunitas pecinta buku, banyak membaca di internet, ia baru berani memutuskan bahwa ia harus berbagi pada orangtua lainnya agar para orangtua belajar dari kesalahan yang ia perbuat.
Hasilnya? Ternyata tulisan yang awalnya hanya curhat karena permintaan temannya untuk menulis jadi viral. Ada lebih dari 61.000 akun yang membagikan status Facebooknya.
Ia perlu waktu untuk berdamai dengan diri sendiri dan mengabaikan egonya. Ia tahu bahwa ia harus bangkit dan fokus untuk terapi anaknya.
Pada mulanya, ia juga tak mau berbagi cerita pada selain keluarga besar. Sehingga tiap kali ada yang bertanya kemana perginya Rei setiap harinya, ia akan menjawab bahwa Rei sedang berangkat sekolah.
Ia sangat bersyukur karena tidak terlalu terlambat menyadari bahwa anak usia 2 tahun 2 bulannya itu memiliki masalah gangguan proses sensori (sensory processing disorder).
Artikel terkait: Tumbuh kembang bayi usia 19 bulan.
Ia berpesan kepada para orangtua untuk tidak mengabaikan sekecil apapun keterlambatan perkembangan anaknya. Sebagai orangtua yang anaknya perlu melakukan terapi khusus, ia juga menegaskan bahwa tidak ada hal yang perlu ditakutkan dari proses terapi yang akan dijalani anak.
“Bentuk terapi yang dilakukan itu seperti bermain saja, tapi terarah,” ungkapnya.
Dengan semua perjuangannya dalam mengejar ketertinggalan anaknya, Risca masih bersikap rendah hati bahwa apa yang ia lakukan tak ada apa-apanya dibanding dengan perjuangan para orangtua yang anaknya mengalami down syndrome.
Risca pun juga mendapatkan kekuatan tambahan dari orangtua yang memiliki anak spesial lainnya.
Mereka bilang, “cuma orangtua spesial yang dianugrahi anak-anak spesial.”
Untuk para orangtua yang hendak memasukkan anaknya ke tempat terapi, ibu rumah tangga yang juga menjual buku-buku anak ini berpesan, “ketika anak menangis sewaktu terapi, itu adalah awal bahwa anak harus beradaptasi dan belajar menerima stimulasi. Bukankah ketika belajar jalan lalu jatuh pun dia menangis? Prinsipnya sama.”
Risca berharap, orangtua juga peka dengan perkembangan anaknya dan tak ragu untuk menjalani terapi jika dibutuhkan. Ia berencana untuk terus berbagi tips dan cerita mengenai pengalaman dan pengetahuannya tentang gangguan proses sensori seperti yang dialami oleh anaknya agar menjadi pelajaran untuk orangtua lainnya.
Baca juga:
Anugerah Tersembunyi – Hidup Bersama Anak Autis
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.