Bagaimana perasaan saya waktu psikolog anak memberi tahu kami bahwa Kaka memiliki sindrom autisme? Cukup buruk, Bunda. Apalagi karena saat itu (tahun 2000) tidak banyak informasi tentang autisme, demikian pula forum orang tua dengan anak autis yang sekarang banyak kita jumpai di internet.
Kurangnya pemahaman tentang mengapa dan bagaimana memperlakukan seorang anak memiliki sindrom autisme mengakibatkan kurangnya dukungan terhadap anak autis berikut orang tuanya. Orang-orang (pada masa itu) cenderung menyamakan autis dengan anak idiot, dan hal ini cukup membuat saya depresi karena merasa gagal menjadi orang tua.
Satu-satunya dukungan yang saya dapatkan adalah dari keluarga, baik dari kedua orang tua saya maupun dari orang tua almarhum suami. Ayah dan ibu saya tetap mendukung saya untuk melanjutkan kuliah dan mengambil alih tanggung jawab untuk mengasuh Kaka, meskipun mereka tahu ia anak autis.
Saya masih ingat kami harus mengantar Kaka (saat itu usianya 3 tahun) untuk mengikuti terapi di pusat autisme yang berlokasi cukup jauh dari rumah orang tua, dan kami harus menghadirinya setiap hari, kecuali Sabtu dan Minggu.
Kaka sangat pendiam
Salah satu ciri autis pada Kaka adalah ia sangat pendiam dan jarang mengeluarkan suara. Ia memiliki ritual tersendiri yang tak dapat diganggu gugat, mulai dari pagi hari hingga menjelang tidur. Sebuah gangguan pada ritualnya akan membuat ia murka dan menangis dan menjerit tanpa bisa dihentikan, sampai akhirnya ia capek dan tertidur.
Setelah mengikuti terapi, para terapis mengatakan Kaka hanya memiliki sekitar 60% sindrom autisme (yang saat itu lebih ringan dibandingkan teman-teman lainnya di pusat autisme!).
“Apakah ia akan bisa menjadi seperti anak normal lainnya?” tanya saya. Terapis yang baik hati dan murah senyum itu menjawab, “Apakah ada sesuatu yang termasuk tidak normal pada Kaka? Dia itu ganteng sekali lho, Bu.”
Kaka hanya menderita autisme ringan, dan oleh sebab itu para terapis menganjurkan agar kami membiarkan ia bersosialisasi dengan teman-teman sebayanya, dan bukannya membentengi dirinya karena ia anak autis.
Anjuran ini membuat saya dan orang tua menyekolahkan ia di sebuah sekolah swasta umum yang terbuka untuk anak autis dengan persentase tertentu. Sekolah swasta menjadi pilihan kami karena jumlah murid yang relatif lebih sedikit sehingga perhatian guru lebih merata.
Syukurlah Kaka berhasil melewati tahap PAUD dan taman kanak-kanak tanpa hambatan apapun, dan sudah lancar membaca sebelum ia duduk di kelas satu Sekolah Dasar.
Berbagi kasih sayang dengan adik
Tantangan selanjutnya datang ketika Kaka hendak mempunyai adik (saya mengandung 6 bulan saat suami meninggal dunia). Apakah ia akan siap menerima kenyataan bahwa ia harus berbagi kasih sayang dan perhatian dengan adik bayinya?
Pertanyaan ini cukup menjadi teroris dalam pikiran saya karena anak normal pun akan merasakan hal semacam ini, apalagi anak autis. Awalnya sih ia merasa terganggu dengan tangisan adik bayinya di malam hari. Bahkan sempat beberapa kali melampiaskan kekesalannya dengan menutup mulut dan mencubit tangan si adik yang saat itu baru berumur beberapa bulan.
Tidak banyak yang dapat memahami anak autis
Tidak semua orang bisa memahami bahwa Kaka adalah anak autis yang memerlukan perhatian dan penanganan khusus. Salah satu guru di sekolah yang sedang hamil muda mengeluhkan hal ini (yah Anda masih ingat kan bagaimana suasana hati saat Anda sedang hamil muda). Waktu itu Kaka duduk di kelas 4 SD, suatu tahap di mana anak normal tahu bagaimana harus bertindak waktu ibu guru sedang marah.
Kami yang menganggap ia sudah menjadi normal, cukup terpukul ketika kepala sekolah memanggil kami dan mengatakan tingkah Kaka di kelas sudah sangat mengganggu karena ia berteriak-teriak dan melemparkan bangku waktu ibu guru yang sedang hamil muda tadi memarahi murid satu kelas (kalau tidak salah sih saat itu gara-gara banyak yang tidak mengerjakan PR).
Ibu kepala sekolah mengultimatum kami untuk lebih memperhatikan pengasuhan Kaka di rumah, atau kami harus mencari sekolah lain kalau perilaku Kaka tidak menampakkan perubahan.
Saya tidak harus mencari sumber permasalahan yang memicu perilaku tidak stabil Kaka kemana-mana, karena ternyata masalahnya ada pada diri saya sendiri. Saya ingat saat itu saya sedang mengalami masalah di tempat kerja, dan secara tak sadar sering memarahi Kaka dan adiknya hanya karena masalah sepele.
Ya saya sadar bahwa itu adalah pelampiasan kekesalan yang saya rasakan di tempat kerja, dan anak-anak yang tak tahu apa-apa telah menjadi korbannya.
Nilai UAN yang membanggakan
Salah satu kebahagiaan hadir ketika tiba saat kelulusan SD dan kami menerima ijazah Kaka. Disitu tertulis Kaka mendapat nilai UAN (Ujian Akhir Nasional) 9 dan nilai UAS (Ujian Akhir Sekolah) 8,5 untuk mata pelajaran Matematika.
Ya saya tahu kita sebaiknya tidak hanya menghargai prestasi seorang anak berdasarkan nilai yang didapatnya di sekolah. Tapi, bagaimanapun juga, prestasi yang diraih Kaka cukup membanggakan kami, dan juga para guru di sekolah.
Saya yakin Anda telah dan mengetahui apa yang sebaiknya dikonsumsi dan didapatkan oleh anak autis melalui buku, internet maupun konsultasi dengan staf medis kepercayaan Anda. Menurut saya, kesiapan orang tua juga penting karena membesarkan anak autis bukan perkara sepele.
Jika Anda adalah orang tua yang saat ini sedang mengasuh dan membesarkan anak-anak dengan sindrom autisme, klik di sini untuk mendapatkan tips dari saya yang mungkin bisa menjadi pencerahan untuk Anda.
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.