Apakah Anda pernah merasakan apa yang saya alami? Bahwa saya merasa kalau akan menjadi orang yang lebih bahagia jika tidak punya anak.
Jauh sebelum saya menjadi ibu, dan terikat dalam komitmen pernikahan, ternyata ada sebuah tulisan di kolom di sebuah surat kabar. Sang kolumnis, Ann Landers bertanya kepada para pembacanya, “Jika Anda harus mengulanginya lagi, apakah Anda akan memiliki anak?”
Hampir 10.000 orangtua menjawab di kartu pos tulisan tangan — beberapa dari mereka mengatakan hal-hal seperti, “Saya berharap saya tidak pernah punya anak.”
Beberapa minggu kemudian, Landers membagikan hasil surveinya dan menuliskannya dalam sebuah artikel berjudul “70 Persen Orang Tua Mengatakan Kalau Anak-Anak Tidak Layak.”
Saya kebetulan menemukan kliping lama dengan judul ini 23 tahun kemudian. Kini status saya pun sudah jauh berubah. Saya adalah seorang ibu.
Dibesarkan di keluarga yang taat agama, saya percaya jika melahirkan seorang anak menjadi sebuah takdir Ilahi. Jadi setelah saya menjadi seorang ibu, saya pun berusaha melakukannya dengan baik.
Keyakinan bahwa saya melakukan yang benar oleh Tuhan membuat tahun-tahun awal saya mengasuh anak menjadi sangat mendalam. Saya menikmatinya setiap saat.
Ibu yang Lebih Bahagia Jika Tidak Punya Anak, Ibu yang Egois?
Ketika pertama kali saya membaca artikel Ann Landers, saya adalah seorang anak berusia 24 tahun yang penuh harapan. Ketika itu saya pun tengah menikmati bulan madu, bersiap akan menjadi ibu.
Saya menulis jawaban saya sendiri untuk jajak pendapat Landers, mengecam dia dan para pembacanya. Menganggap mengapa mereka begitu egois? Mengapa bisa berpikir jika seorang ibu akan lebih bahagia tidak punya anak?
Aku pun mengingatkannya tentang bagaimana bahagia dan rasa sempurna ketika kita memiliki anak. Saat bisa menggendong bayi yang sedang tidur, mendengar deru napasnya yang manis dengan bau khas ASI.
Saya pun sampai menangis ketika saya menulis artikel itu dan mengomel terhadap siapa pun yang menyangkal keajaiban menjadi ibu. Mengapa seorang perempuan tidak mau jadi ibu? Ketika itu saya tidak sampai habis pikir.
Siapa sangka. Saya pun akhirnya merasakan hal yang serupa. Ya, saya merasa lebih bahagia jika tidak punya anak.
“Saya Berharap Saya Tidak Pernah Punya Anak”
Dua belas tahun kemudian, setelah hari yang sangat melelahkan sebagai ibu tunggal baru, di mana saya harus mencari nafkah seorang diri untuk saya, dan empat anak remaja. Saya pun mengetik di Google: “Saya berharap saya tidak pernah punya anak.”
Saya tidak banyak mengakui bahwa saya menyesali hidup saya atau bahwa saya, memang, menyesali memiliki anak. Tidak. Saya hanya berharap lewat Google saya bisa menemukan ibu lain yang merasakan hal yang sama.
Berharap dengan harapan bahwa beberapa ibu lain terbangun di usia pertengahan 30-an, menyadari realitasnya, dan berbagi perasaan memalukan itu: Saya berharap saya tidak pernah punya anak.
Google telah lama menjadi ‘bola kristal’ saya. Saya telah berkonsultasi sebelumnya pada saat-saat sulit.
“Apakah saya menderita melanoma?”
“Apakah saya menderita Alzheimer?”
“Haruskah aku menceraikan suamiku?”
Kepanikan sesaat dituangkan ke dalam kotak mesin pencari yang penuh perhatian, dikirim melalui gelombang udara untuk mencari jawaban.
Seseorang, siapa pun yang mengerti dan dapat memberi tahu saya bahwa saya tidak sendirian, saya tidak menderita kanker stadium 4 stadium akhir, saya mungkin harus menceraikan suami saya, dan ya, beberapa wanita menyesali pilihan mereka untuk memiliki anak, tetapi sangat sedikit yang berbicara tentang itu.
Sebagian besar dari diri saya memahami bahwa saat-saat penyesalan paruh baya atas anak-anak adalah cerminan dari kekacauan saya sendiri.
Dunia Saya Terbalik, Saya Lebih Bahagia Jika Tidak Punya Anak
Sebagai seorang penganut agama yang sedang memulihkan diri, saya memulai hidup di satu dunia: dunia di mana seorang ibu sebaiknya memang tinggal di rumah, memiliki banyak anak kecil, tidak perlu memiliki karier, dan bergantung pada pasangannya untuk bisa menafkahi keluarga
Setelah perceraian saya, saya tiba-tiba berbalik ke dunia lain: dunia di mana perempuan harus bekerja, menafkahi, orangtua, anak-anaknya dan berdiri untuk semua harapan yang sama seperti orang lain – bahkan jika dia tidak siap untuk itu, berpendidikan untuk itu, atau siap untuk menjalaninya, namun harus tetap melakukannya.
Hari ini, saya adalah ibu tunggal dari empat anak di Utah dan saya dikelilingi oleh ratusan perempuan lain yang berjalan dengan sepatu yang sama. Perempuan yang berpikir bahwa mereka melakukan hal yang benar dengan agama mereka yang kuno, yang menikah terlalu muda dan memiliki terlalu banyak anak (salah satu teman saya memiliki 9 anak!), dan sekarang menghadapi masa depan yang keras dengan modal pendidikan yang seadanya.
Ini adalah perjalanan yang sulit, menjadi ibu, dan saya menyadari kenyataan pasca-perceraian saya memengaruhi tingkat kebahagiaan saya sehari-hari dan tentu saja membuat mengasuh anak menjadi lebih luar biasa daripada yang sudah ada.
Saya harus mengatakan: Saya beruntung. Dengan bisnis saya sendiri yang berkembang pesat dan karier kerja dari rumah, saya entah bagaimana membuatnya berhasil.
Meski begitu, ‘membuatnya berhasil’ bukanlah seperti yang saya harapkan sebagai perempuan sekaligus ibu.
Saya pikir saya akan menemukan diri saya dan kepuasan dalam pernikahan dan anak-anak saya, seperti yang dijanjikan banyak orang.
Sebaliknya, di sinilah saya berada di tengah-tengah keibuan dan saya merasa tersesat.
Saya merasa waktu yang saya miliki sangat tersedot dan sedang dalam situasi benang kusut yang begitu usang. Saya merasa seperti saya bertanggung jawab untuk membawa dunia. Dan pada banyak hari, saya merindukan kesederhanaan untuk fokus hanya pada satu hal: diri saya sendiri.
Bukanlah Hal Egois, Ini Sebuah Pilihan
Bagi sebagian orang, kalimat ini mungkin terdengar egois, tapi kurasa ada sejuta ibu yang mengerti.
Di sini, di tengah menjadi ibu, saya telah menghabiskan 15 tahun hidup untuk (dan bersama) anak-anak saya, dan saya menyadari menjadi ibu adalah tentang menyambut mereka ke dalam hidup saya seperti halnya mengorbankan diri saya sendiri, waktu saya, otonomi saya.
Karena bayi saya akan selalu ada di sini. Dan aku akan selalu menjadi milik mereka.
Tidak ada istirahat. Tidak ada kata berhenti. Tidak ada liburan. Ada rasa bersalah yang terus-menerus. Realitas itu serius dan terkadang begitu melelahkan.
Ini adalah kenyataan yang lebih dari kita ibu perlu berbagi dengan non-ibu.
Karena memahami kenyataan adalah satu-satunya cara untuk membantu non-ibu menjawab pertanyaan yang mereka googling: “Apakah saya akan menyesal tidak memiliki anak?”
Di saat-saat paling sadar saya, saya menyadari bahwa saya tidak harus berjuang melawan peran sebagai ibu.
Jangan salah paham, saya mencintai anak-anak saya. Saya tidak merasa dendam terhadap mereka; anak-anak saya meningkatkan kebahagiaan saya dan kepuasan hidup saya.
Saat ini, perempuan dianggap bertanggung jawab atas keseimbangan yang mustahil dilakukan. Mustahil bisa melakukan pekerjaan, keluarga, dan meluangkan waktu untuk dirinya sendiri. Saya pikir sangat penting bagi para ibu untuk berbicara tentang kenyataan sebagaimana adanya atau yang ia rasakan. Bahkan, ketika Anda sudah mulai dengan rencana terbaik.
Ya, buat saya, tidak selamanya saat seorang ibu merasa lebih bahagia jika tidak punya anak maka menjadikannya ibu ataupun perempuan egois.
Baca juga:
Surat Terbuka Seorang Ibu Rumah Tangga yang Hampir Depresi
Bunda, kenali 4 tanda depresi paska melahirkan atau postpartum depression ini
Depresi Ibu Rumah Tangga itu nyata! Ini kisah ibu yang mengalaminya
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.