Akibat thalassemia, bayiku meninggal tak lama setelah lahir. Kata thalassemia tidak pernah melintas di pikiranku sebelumnya.
Thalassemia? Kata ini tak pernah melintas di pikiranku
Masih lekat dalam ingatanku betapa gembiranya saya dan suami ketika mengetahui saya hamil. Maklumlah ini adalah kehamilan yang pertama dan sangat dinantikan.
Pada awal kehamilan terutama di trimester pertama, saya tidak terlalu sering mengalami gejala morning sickness. Saya masih dapat melakukan aktivitas rutin seperti mengajar les dan kuliah.
Bisa dikatakan saya menikmati kehamilanku ini terutama setelah melewati trimester pertama. Cek rutin kehamilan oleh dokter kandungan dilakukan dan saya melakukan tes darah dengan hasil yang cukup bagus menurutnya.
Thalassemia, adalah sebuat kata yang tidak pernah melintas di dalam pikiranku saat itu. Tetapi, apa yang digariskanNya ternyata berbeda… Dokter mendeteksi adanya thalassemia pada bayiku.
Awal terdeteksi Thalassemia
Di usia kandungan 24 minggu, dokter menemukan ada sedikit ascites (cairan) di paru-paru dan perut janin menurut hasil USG. Lalu Ia mereferensikan saya ke klinik fetomaternal (kehamilan beresiko) di RSCM.
Ternyata diagnosa dokter adalah kemungkinan Thalassemia karena jumlah Hb dan MCV darah saya di bawah normal dan hasil USG menunjukkan gejala-gejala anemia pada bayi seperti adanya ascites dalam organ tubuh, pembengkakan liver dan tebalnya plasenta.
Artikel terkait: Bisakah USG mengungkapkan semuanya?
Pertemuan dengan dokter yang akan membantu kelahiranku
Setelah mencari pendapat beberapa dokter lain, akhirnya kami mendapat referensi dokter yang sering menangani kasus kehamilan beresiko dengan jalan transfusi darah ke tali pusat janin.
Setelah ditransfusi, kondisi janin membaik dengan berkurangnya ascites dan meningkatnya Hb. Namun liver dan jantung bayi masih mengalami pembengkakan karena anemia.
Kondisi kesehatan saya yang semakin sulit
Di kehamilan yang semakin besar, saya mengalami kaki bengkak dan berat badan saya naik drastis yang disebabkan kurangnya protein dalam darah. Saya harus diopname 2 kali di rumah sakit.
Yang pertama karena saya mengalami kontraksi tak lama sesudah transfusi yang ke-2. Saya harus bed rest di rumah sakit hingga kondisi saya kembali normal dan dapat melakukan transfusi ke-3.
Dua minggu kemudian, tekanan darah saya sangat tinggi dan didiagnosa mengalami preeklampsia sehingga saya harus diopname. Setelah kondisi berangsur membaik, saya bisa pulang ke rumah.
Artikel terkait: Waspadai preeklampsia pada kehamilan
Kelahiran bayi saya yang mendadak
Sehari sesudah konsultasi dengan dokter dan telah menjadwalkan untuk transfusi darah berikutnya, saat itu usia kandungan saya 35 minggu, tiba-tiba saya mengalami kontraksi yang cukup hebat dan air ketuban saya pecah di rumah.
Saya segera dibawa ke rumah sakit di daerah Tangerang, yang sudah disetujui dengan dokter untuk menjadi tempat saya melahirkan. Beberapa jam kemudian, tepatnya pukul 23.45 bayi laki-laki kami lahir melalui operasi Caesar.
Artikel terkait: 5 Hal penting tentang kelahiran bayi prematur
“Mengapa tidak terdengar suara tangisan bayiku?”, pikirku. Dokter berkata jantungnya sangat lemah dan harus segera dibawa ke NICU (Neonatal Intensive Care Unit).
Walaupun besar harapan saya untuk melakukan IMD (Inisiasi Menyusui Dini) pada bayiku, keselamatannya adalah yang terpenting. Suami saya yang mendampingi bayi kami begitu ia lahir.
Kenyataan bahwa bayi kami telah meninggal
Saya belum bisa merasa lega karena saya terus memikirkan kondisi bayi kami yang masih harus berjuang hingga saya tidak dapat beristirahat dengan nyenyak setelah operasi. Pada keesokan paginya, suster sempat datang untuk mencari suami saya, tapi ia sedang pulang ke rumah untuk mengambil keperluan kami.
Firasat saya mengatakan ada sesuatu yang terjadi, namun saya tetap berdoa demi keselamatan bayi kami. Kurang lebih pukul 7 pagi, suami saya datang ke kamar dan mengatakan bahwa bayi kami telah meninggal, Tuhan telah memanggilnya kembali ke sisiNya.
Hal yang membuatku sedih adalah saya baru bisa melihat dan menggendongnya untuk pertama kali saat ia sudah terbaring kaku, tetapi wajahnya begitu damai seperti sedang tertidur dengan pulas.
Menurut dokter, kondisinya sangatlah lemah sehingga ia harus dibantu dengan alat untuk bertahan hidup. Kami percaya bahwa malaikat kami sudah berada di Surga. Maka dari itu kami harus tetap berjuang seperti bayi kami telah berjuang selama hidupnya.
Saya mengerti dan bisa merasakan pedihnya kehilangan orang yang dicintai, perasaan ibu yang kehilangan bayinya baik itu keguguran atau meninggal saat melahirkan.
Maka dari itu, saya berharap kisah ini dapat membantu para orang tua lainnya terutama untuk memeriksakan diri sebelum menikah atau hamil agar dapat mengetahui sejak dini bila ada kelainan seperti Thalassemia atau lainnya.
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.