Selama ini, kasus depresi pasca melahirkan biasanya dialami oleh seorang ibu. Namun rupanya, ayah dari bayi baru lahir juga bisa mengalami PPD. Berikut ini adalah kisah depresi seorang ayah, yang membuka mata bahwa post-partum depression bisa menyerang siapa saja, baik pria maupun wanita.
Suatu siang ketika aku menjemput kedua anakkua dari acara perkemahan musim panas, pikiranku melayang ke arah bagaimana istriku dan aku akan mengatur rutinitas sekolah mereka di bulan September.
Kami memiliki 3 anak yang berusia 8 tahun, 5 tahun, dan seorang bayi baru lahir. Bagaimana stresnya mengurus tiga anak, mulai meningkat dari hari ke hari.
Saat itulah, suara di dalam kepalaku memotong, “Apa pedulimu? Kau akan mati ketika hal itu terjadi.” Dan saya punya pikiran jelas tentang bagaimana mengakhiri hidup, yakni lompat dari atap apartemen.
Dia mengakui bahwa sebelumnya dia telah mengalami depresi secara klinis. Namun kini, dirinya hidup setiap hari dengan rasa sakit yang menjalar ke sekujur tubuh, kurang motivasi, dan keinginan untuk melukai diri sendiri.
Pada satu waktu, dia ingin terlepas dari semua penderitaan itu. Dan di waktu yang lain, dia ingin menghukum dirinya sendiri karena berpikir demikian.
Depresi seorang ayah disebut male postpartum depression
Hal itu terjadi 4 bulan yang lalu. Kini aku menerima bahwa pikiranku sakit dan aku butuh pertolongan. Ada banyak alasan yang bisa menjadi penyebab mengapa aku mengalami depresi.
Akan tetapi, aku tidak pernah berpikir bahwa penyebabnya adalah male postpartum depression. Yang menurut beberapa studi, hal ini menimpa seperempat populasi ayah yang baru saja memiliki anak.
Depresi pasca melahirkan yang dialami lelaki sering tidak dipahami. Banyak yang berpikir bahwa tidak masuk akal jika ayah mengalami depresi karena ibulah yang mengalami kesusahan mengandung dan melahirkan.
Apalagi di dunia yang menganut norma bahwa lelaki adalah sosok yang kuat dan selalu rasional. Karenanya, banyak lelaki yang mengalami depresi seorang ayah ketika anaknya lahir, namun tidak memahami situasi yang ia jalani.
Depresi dan gangguan kecemasan dilihat sebagai sebuah kelemahan. Bahkan ayah tiga orang anak ini juga menolak untuk mengakui bahwa dirinya sedang sakit mental.
Depresi seorang ayah tiga anak yang merasa tak berdaya ketika menjadi pengangguran
Lima bulan yang lalu, istriku melahirkan anak ketiga kami. Dia bayi yang sehat dan bersemangat.
Ketika dua kakaknya lahir, aku langsung kembali bekerja dua hari kemudian. Namun kali ini, aku mengambil cuti melahirkan untuk ayah.
Depresi seorang ayah, yang menjadi pengangguran ketika anak ketiganya lahir
Aku merasa senang karena bisa menghabiskan waktu 5 minggu penuh bersama keluarga. Dan ketika cutiku habis, aku akan kembli bekerja ke tempat baru yang aku sukai.
10 hari setelah kelahiran anak ketiga kami dilalui dengan penuh bahagia. Tawaran pekerjaan baru dibatalkan tanpa alasan yang jelas.
Keputusanku untuk mengambil cuti ayah adalah satu sebabnya. Namun itu semua tak mengubah fakta pahit yang sedang kuhadapi.
Ketidakpastian dan kondisiku yang tidak punya pekerjaan adalah kenyataan pahit yang harus kutelan.
Kemudian, ketika dirinya terkena flu. Dia menjadikan sakit tersebut sebagai alasan, untuk tidur secara terus menerus sepanjang hari.
Hal ini berlanjut selama berbulan-bulan, jauh setelah sakit flunya sembuh. Dia mengatakan bahwa perilaku ini bukan dirinya sama sekali.
Biasanya dia adalah orang yang selalu aktif sepanjang hari dan tidak pernah melewatkan satu detik pun tanpa beraktifitas.
Namun kini, aku selalu merasakan sakit secara fisik, susah bernafas, tidak punya energi maupun ambisi, dan selalu ingin menangis sambil meringkuk seperti bayi, atau memukul tembok dengan tanganku sepanjang waktu.
Kesabaranku sebagai orangtua pun hilang entah kemana. Aku sering marah-marah, membentak anak-anakku hanya untuk kesalahan kecil. Istriku akan selalu mencoba membuatku rileks, dengan membawa ketiga anak kami keluar rumah agar aku bisa menenangkan diri.
Biasanya ketika mereka pergi, aku hanya akan menatap kosong dinding rumah. Dan ketika anak istriku kembali, aku akan kembali membenci semua orang.
Aku tahu aku sedang menjadi orang brengsek, dan aku membenci diriku sendiri karena hal itu. Aku tidak melihat jalan keluar dari masalah ini.
Aku hanya ingin rasa sakit, membenci diri sendiri, dan perasaan sesak ini berakhir.
Depresi seorang ayah yang merasa bunuh diri adalah jalan keluar terbaik bagi masalahnya.
Itulah ketika aku mulai melihat atap rumah kami jadi tempat terbaik untuk mengakhiri semuanya. Bunuh diri menjadi seperti obat yang mampu menyembuhkan segala penyakit bagiku, untungnya aku segera sadar bahwa itu tidak benar.
Aku mengatakan pada istriku, aku ingin mencari pertolongan. Secepatnya.
Namun, tidak mudah mencari pertolongan untuk penyakit mental. Dia dan sang istri kesulitan mencari psikiater maupun terapis yang mau menolong mereka.
Mencari yang berkualitas lebih sulit lagi. Akhirnya, malah seorang dokter umum yang membantu ayah tiga anak ini menangani depresi.
Dokter tersebut menjelaskan reaksi kimia depresi yang hadir setelah sakit flu parah adalah hal yang umum terjadi. Tubuh sudah bekerja keras untuk melawan virus flu sehingga level dopamin di otak bisa mengalami kerusakan.
Ayah yang menjadi pengangguran setelah hadirnya anak ketiga ini sangat terkejut kalau salah satu penyebab kondisi mentalnya yang parah adalah depresi pasca melahirkan. Dia juga mulai menggali informasi dan akhirnya menemukan penjelasan bahwa depresi pasca melahirkan pada lelaki adalah hal yang bisa terjadi.
Ternyata, meskipun lelaki tidak mengandung dan melahirkan, namun suami yang mendampingi istri menjalani semua proses tersebut juga mengalami tekanan psikologis. Apalagi jika sebelumnya sudah punya anak, kerepotan mengurus anak dan bayi baru lahir bisa membuat suami juga mengalami stres seperti ibu.
Level hormon testosteron cenderung menurun ketika pasangan dari lelaki yang bersangkutan melahirkan. Perubahan hormon ini bisa sangat drastis pada pria, hingga berisiko terkena depresi.
Tidak heran jika ayah ini mengalami depresi, setelah mengalami kurang tidur selama berhari-hari, kehilangan pekerjaan, hingga susahnya mengurus tiga anak di rumah.
Mengetahui bahwa ada alasan di balik depresi yang kualami, yang terjadi di luar reaksi smosional biasa, adalah sebuah kelegaan dan sumber kekuatan.
Belajar menerima kepahitan hidup
Depresi seorang ayah yang kini belajar menerima kepahitan dalam hidup.
Kini, ayah yang depresi itu sudah bisa menjalani hidupnya dengan jauh lebih baik. Dia menjalani perawatan, dan bersenda gurau ketika sedang diterapi.
Dia terus berusaha untuk sembuh, baik dengan terapi maupun konsumsi obat-obatan. Dia pun mulai berhenti minum alkohol, olahraga setiap hari.
Dia juga mencoba keluar dari zona nyaman dan berinteraksi dengan masyarakat untuk mengetahui bagaimana perasaannya sendiri.
Akhirnya, aku memutuskan untuk memeluk hal pahit itu. Beberapa bulan setelah aku mencapai titik nadir, kini proses penyesuaian diri yang sederhana berjalan baik untukku.
Depresiku belum hilang sepenuhnya. Tetapi kini aku bisa mengendalikan emosiku sendiri.
Tidak meledak-ledak dan bisa menjalani tugas berat dalam pekerjaan. Bahkan, aku juga bisa tertawa bersama anak-anakku setiap hari.
Tidak semua orang seberuntung diriku yang memiliki keluarga sehat dan sangat mendukungku melewati masa-masa sulit. Siapapun dirimu, bersandarlah pada keluargamu, mereka tidak akan membenci dirimu karena meminta bantuan.
Depresi hampir saja membunuhku dan aku yakin ini semua belum berakhir. Menjaga kesehatan mentalku adalah proses yang berlangsung seumur hidup.
Untuk sekarang, aku hidup untuk hari ini dan menerima fakta pahit bahwa aku memiliki penyakit mental.
Ini adalah kisah nyata depresi seorang ayah yang membagikan pengalamannya untuk membuat semua orang menyadari bahwa depresi pasca melahirkan pada suami itu benar adanya. Dan para pria yang mengalami hal serupa harus berusaha untuk mencari pertolongan medis.
Semoga bermanfaat.
Referensi: Vox
Baca juga :
Ayah Juga Bisa Alami Depresi Postpartum
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.