Sama seperti ibu, depresi postpartum juga bisa terjadi pada ayah.
Ayah cenderung tak sadar alami depresi postpartum
6 tahun lalu, Craig Mullins sedang berusaha meraih gelar di bidang konseling dan ia menjadi ayah baru di saat yang sama. Saat itu ia tidak sadar kalau sedang mengalami depresi postpartum.
Ia baru menyadarinya ketika gejala depresi postpartumnya telah menghilang dan putrinya telah berusia satu setengah tahun.
“Saya bahagia waktu putri kami lahir. Namun angan-angan saya tentang menjadi ayah berbanding terbalik dengan kenyataan,” jelas Mullins pada The Huffington Post.
Putrinya mengalami kolik dan ia menangis berjam-jam tanpa bisa ditenangkan. Mullins dan istrinya pun mulai sering bertengkar, dan itu belum pernah mereka alami sebelumnya.
“Itulah masa tergelap dan saya merasa putus asa,” kenang Mullins yang kini berpraktek di bidang penanganan depresi postpartum di Colorado. “Saya merasa sangat tertekan, dan rasa tertekan itu menjelma menjadi mudah tersinggung, marah dan sulit menemukan kesenangan pada apapun.”
Khalayak memandang sebelah mata
Depresi postpartum telah diterima secara luas sebagai ‘masalah wanita’, terutama para ibu yang baru melahirkan. Jadi wajar saja jika sejumlah netizen menyatakan komentar bahwa “Tak ada yang namanya depresi postpartum pada ayah baru.”
“Saya pikir orang berpendapat seperti itu karena mereka tidak mengerti apa faktor penyebabnya,” jelas Katherine Stone, pendiri Postpartum Progress, sebuah blog dan organisasi nirlaba. “Sulit memahami tentang depresi postpartum pada pria jika sudut pandang yang dipakai adalah ‘kalau saya tidak melahirkan bayi, bagaimana mungkin akan mengalami depresi postpartum?’ “
Pandangan yang kurang tepat tentang depresi postpartum, menurut Stone, dipicu oleh pemahaman bahwa perubahan hormon adalah faktor tunggal penyebab depresi postpartum pada ibu baru. Padahal faktor lain seperti kurang tidur dan stres juga bisa menjadi pemicu yang signifikan.
Pada ayah baru depresi postpartum cenderung dipicu oleh faktor non hormonal seperti kekhawatiran tentang finansial dan mampukah ia menjadi ayah yang baik.
“Bagi saya, hal-hal semacam itu membuat saya kesal,” jelas Mullins. “Semua itu cukup membuat seseorang merasa stres hingga waktu tertentu, dan Anda baru akan menyadarinya setelah masa itu berlalu.”
Dampak depresi postpartum ayah bagi anak mereka
Depresi postpartum pada pria tak terdeteksi karena pengetahuan tentang masalah ini sangat terbatas, juga karena pria menunjukkan gejala yang berbeda ketika ia mengalaminya. Tidak seperti wanita, para pria penderita depresi postpartum tidak mudah meneteskan air mata.
Namun mereka cenderung kesal dan marah. Banyak pria yang melampiaskan kekesalan mereka kepada penggunaan zat tertentu (merokok, narkoba, miras, dll) atau justru menarik diri. Bisa juga dengan mengalihkan perhatian ke pekerjaan, nge-game atau pornografi. Dan kebiasaan ini sangat umum dilakukan pria (yang tidak sedang depresi), sehingga mereka dan orang-orang di sekitarnya tidak sadar kalau ia tengah mengalami depresi.
Para peneliti menyimpulkan, depresi postpartum adalah fenomena yang wajar. Sebanyak 4-10% pria mengalaminya pada saat pasangan mereka hamil hingga tahun pertama sesudah kelahiran bayi. Depresi postpartum bukan hanya mengganggu kestabilan emosi ayah, namun juga berpengaruh pada perkembangan emosional anak mereka.
Depresi ayah akan mempengaruhi caranya mengasuh anak.
“Suasana hati ayah sangat mempengaruhi cara mereka berinteraksi dengan anak,” kata Sheehan Fisher, co-author penelitian dan instruktur sains psikiatri dan perilaku di Northwestern’s Feinberg School of Medicine. “Dan bagaimana cara ayah mengasuh anak tergantung pada suasana hatinya saat itu, sama seperti ibu.”
Cara mengatasinya
Stone mengatakan, berbicara adalah penyelesaian terbaik. Ketika ayah mengatakan pada ibu bahwa ia juga sedang tertekan, hal itu sebaiknya dilakukan bukan sebagai jawaban atas keluh kesah ibu yang kelelahan mengasuh bayi.
Wanita, katanya sih, diciptakan dari tulang rusuk pria. Apa yang dirasakan satu tulang rusuk, otomatis akan dirasakan pula oleh tulang rusuk yang satunya. Jadi wajar dong jika si dia merasa kesal di saat Anda merasa galau. Lagipula, kehadiran Si Kecil semestinya bisa menambah kebahagiaan Anda berdua. Bukan malah memperlebar jarak antara Anda dan pasangan.
Parents, semoga penjelasan di atas bisa memperbarui kekompakan Anda dan pasangan dalam membina rumah tangga.
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.