Parents, Ini Alasan Mengapa Kebiasaan Membandingkan Anak Harus Dihentikan

Parents, berdasarkan pengalaman pribadi, inilah alasan kenapa membandingkan anak dengan orang lain perlu kita hentikan.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Parents, sadar tidak kalau kebiasaan membandingkan anak dengan orang lain sudah seperti ‘budaya’ di tengah masyarakat kita? Hal ini juga saya rasakan di masa kecil, bahkan ketika sudah beranjak dewasa. Berikut pengalaman saya terkait budaya banding-membandingkan yang tak pernah berakhir, dan mengapa kebiasaan ini sebaiknya tidak kita lakukan kepada anak-anak kita.

Artikel terkait: Belajar Manajemen Waktu di Kehamilan Pertama, Ternyata Tak Semudah yang Kupikirkan

Sepenggal Pengalaman Pribadi: Alasan Kebiasaan Membandingkan Anak Harus Dihentikan

Sedari kecil, banyak ketidaknyamanan yang saya rasakan hanya karena diperbandingkan. Rasanya seperti dipojokkan sebagai seseorang yang salah atau sebagai kesialan. Sedangkan orang lainnya, jauh lebih baik atau sebagai keberuntungan.

Saya ingat betul ketika SD dulu, orangtua saya sering membandingkan saya anak yang lain karena mereka selalu menyinggahi peringkat 1, sedangkan saya selalu mentok diperingkat 2 atau 3.

Lalu, saat saya beranjak remaja, saya diperbandingkan dengan anak tetangga karena ia anak yang rajin mengurus rumah & dinilai bersih, sedangkan saya katanya pemalas, apa-apa harus disuruh. Katanya, sudah disuruh pun seringnya masih diam di tempat.

Saat saya beranjak dewasa, saya diperbandingkan dengan teman saya yang memiliki gaji besar, bisa membeli banyak hal. Sedangkan katanya, gaji saya masih segitu-segitu saja.

Lalu ketika saya menikah, saya diperbandikan dengan teman saya yang menggelar pesta pernikahan mewah, mendapatkan suami seorang A. Sedangkan saya, sederhana saja.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Saya kira, setelah menikah semua itu akan berubah. Tapi ternyata, terus berlanjut sampai saya dianugrahi seorang anak. Karena setelah itu, anak sayalah yang malah diperbandingkan dengan anak-anak yang lain. Bukan oleh orangtua saya, melainkan oleh tetangga-tetangga saya, bahkan keluarga dekat lainnya.

Anak Saya pun Jadi Korban…

Anak saya, dan anak kakak perempuan suami saya, hanya berselisih 4 bulan. Saya ingat betul ketika anak saya masih berumur 3 bulan, ia terus menjadi perbandingan karna belum bisa tengkurap. Sedangkan anak kakak perempuan suami saya, sedari umur 2,5 bulan sudah mulai bisa tengkurap.

Awalnya, saya menganggap itu biasa saja. Bahkan ada untungnya juga. Karena dengan membandingkan anak saya dengan anak yang lainnya, saya bisa tahu sejauh apa anak saya tumbuh.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Tapi pemikiran yang seperti itu berubah ketika saya pindah rumah sendiri, dan memiliki banyak tetangga baru. Satu di antara mereka memiliki seorang bayi seumuran anak saya, hanya selisih setengah bulan. Karna memiliki anak yang seumuran, kami sering menemukan banyak obrolan yang seru. Lalu, dengan sendirinya kami menjadi teman baik.

Artikel terkait: Alami Baby Blues hingga Drama MPASI, Inilah Perjuanganku Menjadi Seorang Ibu

Setelah berhari-hari bermain bersama, tidak sekedar saya dan teman saya yang memperhatikan anak kami, tapi juga para tetangga yang lain. Embah-embah yang menganggap anak saya seperti cucu mereka sendiri, selayaknya orangtua pada umumnya yang akan gemas ketika melihat seorang bayi.

Karena perhatian itulah, anak saya dan anaknya seringkali menjadi perbandingan oleh orang-orang, karena sejak anak saya bisa duduk sendiri, merangkak, rembetan, bahkan sudah mulai belajar jalan, anak tetangga saya masih gulang-guling di kasur. Dan yang paling sering menjadi topik perbandingan adalah karena anak saya sudah memiliki 6 gigi, sedangkan anak tetangga saya belum tumbuh gigi. Sebenarnya, ini adalah hal biasa, karena tumbuh kembang setiap anak itu berbeda-beda. Dan hal ini pun membuat kami tidak nyaman. 

Aku Juga Kehilangan Teman Baik Karena Kebiasaan Ini…

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Pernah saat itu kami sedang berangkat ke Posyandu. Karena jarak tidak begitu jauh, akhirnya kami memutuskan untuk berjalan kaki. Dalam perjalanan, ia berbagi kegelisahan perihal para tetangga yang terus membandingkan anak kami. Terlebih, suami dan keluarganya melakukan hal yang sama. Saya merasa tidak enak hati, meskipun memang benar begitu adanya. Lalu saya mencoba menenangkan dirinya dengan mengatakan perihal perkembangan setiap anak yang berbeda-beda. Tentu dia memahami ini. Apalagi, ini bukan kali pertamanya ia merawat seorang bayi.

Lambat laun, hubungan saya dengannya sedikit renggang. Sudah jarang mengobrol banyak hal. Bagaimana tidak begitu, setiap kali anak saya dan anaknya bermain bersama, langsung disambangi tetangga yang kemudian membandingkan mereka. Padahal di sana masih ada kami (orangtuanya) yang akan senang sekali ketika anak kami diberikan pujian, pun juga menjadi yang paling sakit hati ketika anak kami disepelekan.

Karenanya kami menjadi jauh. Seperti sore itu, saya melihat banyak anak bermain di halaman salah seorang tetangga. Di sana terdapat banyak orang, termasuk teman saya dan anaknya. Seperti yang biasa saya lakukan, saya membawa anak saya ke sana. Berharap bisa bermain bersama seperti biasa. Tak selang beberapa lama setelah kedatangan kami, ia memilih pergi.

Dari kejadian itu saya jadi tahu suatu hal penting. Ternyata, efek menjadi seseorang yang suka diperbandingkan memang serumit itu. Ini baru pengalaman banding-membandingkan sewaktu anak kami masih bayi, lalu bagaimana jadinya saat mereka tumbuh besar nanti? Bukankah perbandingan ini tidak akan ada akhirnya?

Artikel terkait: Bekerja Sebagai Terapis, Saya Bertemu Banyak Ibu Istimewa yang Dikaruniai Anak Spesial

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Mungkin akan ada yang ngomong ‘Ah, cuek aja. Cuma diomongin tetangga, kok’ atau ‘saya juga dulu gitu, tapi biasa aja, tuh.’

Ya, saya juga dulu melakukan hal yang sama, cuek aja. Tapi sekarang, ketika ini bukanlah perihal saya, melainkan perihal anak saya, entah kenapa ini menjadi hal yang lain. Sebab itu, saya tidak menyalahkan sikap teman saya atas perbuatannya. Mungkin jika saya berada dalam posisinya, saya pun akan melakukan hal yang sama.

Sederhananya, ketidaknyamanan karena diperbandingkan bukan baru berlangsung saat kita menyadari hal itu. Tapi saya (mungkin kita) sudah di perbandingkan bahkan dari masih menjadi seorang bayi, saat belum tau apa apa. Di balik itu, orangtualah yang akan senang dan susah ketika anaknya dibanding-bandingkan, lalu akan membela kita habis-habisan.

Semoga saya bisa menjadi orangtua yang tidak membanding-bandingkan anak saya dengan anak orang lain, meskipun mungkin di masyarakat sudah menjadi hal lumrah. Mungkin, kita sebagai manusia juga suka khilaf dan sering keceplosan, sih. Misalnya, ‘Tuh dek, si A mah anteng banget’ kata saya setiap kali melihat teman anak saya yang kalem. Untung sekarang anak saya belum begitu paham apa yang saya katakan. Andai saja perbandingan ini saya bawa sampai ia dewasa, pasti ia akan merasa tidak nyaman.

Kebiasaan Membandingkan Anak Tidak Ada Manfaatnya

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Kebanyakan orangtua membandingkan anak mereka dengan anak orang lain atau bahkan teman anaknya sendiri. Alasannya, sih, agar si anak termotivasi untuk menjadi lebih baik dengan gambaran seperti anak lain atau temannya. Tapi yang kebanyakan terjadi, dari perbandingan ini justru membuat yang dibandingkan merasa risih. Alih-alih meniru sisi positifnya, dia malah menghindarinya. Bukannya ingin seperti temannya, tapi malah menjadi malas berteman karena ia tidak merasa nyaman dibanding-bandingkan.

Jadi ingat, sewaktu saya ngerasa gak nyaman dibanding-bandingkan oleh orangtua saya dengan anak orang lain. Mungkin orangtua saya ingin menjadikan saya lebih baik seperti anak orang lain atau seperti teman-teman saya. Sayangnya, saya malah enek setiap kali melihat anak yang suka dibanding-bandingin dengan saya. Tapi kalau dipikir lagi, bisa juga orangtua saya melakukan itu karena mereka sendiri gedek diomongin sama tetangga, sih. Hehehe.

Ini hanya cerita banding-membandingkan dalam sudut pandang kecil. Saya yakin, di luar sana banyak juga yang sudah pernah menjadi seseorang yang diperbandingkan. Entah dalam lingkup keluarga, pergaulan, sekolah, kuliah, pekerjaan, atau hal kecil lain yang akan terus kita temui setiap hari. Seperti yang saya katakan sebelumnya, sepertinya banding-mebandingkan ini sudah menjadi suatu kebiasaan di masyarakat kita.

Meski katanya hal itu lumrah terjadi, tetapi kita tahu bahwa dibandingkan dengan orang lain itu tidaklah nyaman. Jadi, sebaiknya kebiasaan membandingkan anak dengan orang lain juga kita hentikan. Sulit, tapi tetap patut dicoba, bukan?

***

Ditulis oleh Bunda Mtl Istq.

Baca juga: 

Mengurus Rumah dan Anak Tanpa Bantuan Asisten, Ini Caraku Melakukannya

Berdasarkan Pengalaman, Ini 5 Hal yang Menjadikan Setiap Perempuan Hebat

Kisahku Menjadi Relawan COVID-19, Tiap Malam Selalu Terbayang Senyum Anak di Rumah

Penulis

mtl istq