Pentingnya membangun karakter resilient pada anak sejak kecil, sesuai dengan quote dari khalifah Ali Bin Abi Thalib.
“Didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup bukan di zamanmu.”
Di era digital yang serba cepat, tantangan yang dihadapi anak-anak generasi alfa (generasi yang lahir di antara tahun 2010 – 2024) sangat luar biasa. Berbeda jauh dengan kita orang tua millennial yang besar di tahun 90-an.
Generasi alfa sudah terbiasa dengan teknologi informasi, bahkan sejak masih di dalam kandungan. Tantangannya pun berbeda. Dari derasnya arus informasi yang sukar dipilah, cyber-bullying hingga harus bersaing dengan robot kelak ketika bekerja.
Oleh karena itu, anak-anak tak cukup hanya dibekali dengan pendidikan agar pandai. Mereka juga harus dibekali cara bertahan hidup yang sesuai dengan zamannya agar menjadi pribadi yang kuat, lentur dan tahan banting. Karakter itu disebut sebagai resilient.
Apa itu karakter resilient?
Dalam Bahasa Indonesia, resilient secara harfiah diartikan elastis atau lentur. Resiliensi atau daya lentur adalah kemampuan individu untuk dapat beradaptasi dengan baik meskipun dihadapkan dengan keadaan yang sulit.
Dalam ilmu perkembangan manusia, resiliensi memiliki makna yang luas dan beragam. Hal ini mencakup pemulihan dari masa traumatis, mengatasi kegagalan hidup, dan menahan stress agar dapat berfungsi dengan baik dalam menjalankan tugas sehari-hari.
Dapat disimpulkan bahwa karakter resilient adalah individu yang kuat dan lentur, mampu beradaptasi terhadap kejadian atau masalah yang berat. Juga mampu bertahan dalam keadaan tertekan dan bangkit setelah mengalami kejadian traumatis.
Mengapa anak-anak perlu dididik untuk memiliki karakter resilient?
Stres bukan hanya miliki orang dewasa, anak-anak pun bisa terpapar stres. Panjangnya jam belajar di sekolah, tuntutan dari orang tua dan guru juga bisa memicu stress pada anak. Hubungan kedua orang tua (ayah dan ibu) atau hubungan antara orang tua dan anak yang kurang harmonis bisa menimbulkan ketidaknyamanan pada anak-anak.
Selain itu, pergaulan yang kurang sehat, persaingan antar teman dan media sosial juga bisa memengaruhi karakter seorang anak. Terlebih lagi jika terjadi bullying (perundungan), ini dapat menyebabkan anak mengalami trauma psikis dan psikologis.
Dalam menghadapi kondisi yang buruk seperti di atas, anak berkarakter resilient dapat pulih dengan lebih cepat. Ia akan segera move on. Seperti bola bekel yang elastis, ia dapat melenting ke atas bahkan setelah mengalami trauma.
Orang tua bisa saja berupaya menjaga agar anak selalu berada dalam kondisi lingkungan yang baik. Tapi sampai kapan? Mengingat hidup tak selamanya mulus. Karena itu, alih-alih protektif terhadap anak, kenapa tidak membuatnya menjadi tangguh dan lentur supaya siap menghadapi hidup yang up and down? Agar anak sukses, mereka harus memiliki ketahanan untuk bangkit dari tantangan dan mengatasi kegagalan.
Anak-anak berkarakter resilient umumnya memiliki sifat-sifat berikut:
- Menunjukkan minat yang tulus di sekolah
- Dapat memecahkan masalah secara efektif
- Tegas dan inisiatif
- Empati terhadap orang lain
- Bertanggung jawab dan dapat dipercaya
- Dapat menetapkan dan mencapai tujuan yang realistis
- Mempertahankan tujuan dan pandangan hidup yang positif
- Bertindak secara mandiri (otonom)
- Mau meminta dukungan ketika membutuhkan
Bantu anak menumbuhkan karakter resilient
Menariknya, resilient adalah keterampilan yang bisa dipelajari. Parents dapat membantu si kecil menumbuhkannya dengan beberapa cara:
- Selalu berikan perspektif yang berbeda. Ketika si kecil terpaksa harus menghadapi peristiwa yang menyebabkan stres, tunjukkan bahwa masa depan akan lebih baik. Dorong ia mempertahankan rasa optimis selama masa-masa sulit ini. Kelak skill ini akan sangat berguna ketika ia tumbuh dewasa.
- Dorong anak untuk lebih mengenali diri sendiri. Menghadapi situasi yang sulit secara langsung dapat menjadi latihan dalam menemukan jati diri, terutama untuk anak kecil. Dorong ia untuk berbicara secara terbuka tentang pengalaman-pengalaman mereka.
- Ajari si kecil cara mengurus diri sendiri. Misalnya, makan dengan benar, berolahraga, dan meluangkan waktu untuk beristirahat. Beri mereka contoh dan pemahaman tentang manfaat mengurus diri sendiri. Juga, jangan beri anak jadwal kegiatan yang terlalu padat.
- Ajari anak bahwa perubahan tak dapat dihindari. Perubahan bisa menjadi kenyataan yang menakutkan bagi anak-anak dan orang dewasa. Mengajari anak Anda sejak usia dini tentang ketidakpastian hidup akan memungkinkan mereka siap untuk menghadapi kondisi yang sulit dengan lebih mudah.
Semoga informasi ini bermanfaat.
Baca juga:
Kenali Tipe Kepribadian Anak Melalui Urutan Kelahirannya di Dalam Keluarga
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.