Kalis Mardiasih adalah seorang penulis dan aktivis perempuan asal Blora, Jawa Tengah. Di usianya yang masih muda, perempuan kelahiran 16 Februari 1992 itu telah menulis tiga buah buku, masing-masing berjudul Muslimah yang Diperdebatkan (2019), Hijrah Jangan Jauh-jauh Nanti Nyasar (2019), dan Sister Fillah, You’ll Never Be Alone (2020).
Di media sosial, ia rajin sekali memberikan narasi alternatif untuk melawan pandangan-pandangan kuno yang sering kali menyudutkan perempuan. Ia juga aktif menyuarakan keberagaman lewat berbagai kegiatan serta mengelola sebuah toko buku bernama Akal Buku yang berbasis di Yogyakarta.
Di luar sepak terjangnya sebagai seorang penulis dan aktivis, Kalis juga seorang istri. Pada tahun 2019, ia menikah dengan Agus Mulyadi, seorang laki-laki yang juga berprofesi sebagai penulis. TheAsianparent Indonesia berkesempatan mendengar pandangannya dalam membina rumah tangga yang setara.
Seperti apa, sih, rumah tangga yang setara itu? Lalu, mengapa penting bagi suami istri untuk menanamkan nilai kesetaraan dalam rumah tangga? Inilah wawancara kami dengan Kalis Mardiasih dan pandangannya tentang rumah tangga yang setara.
Halo Mbak Kalis, apa kabar? Lagi sibuk apa sekarang?
Halo, Intan. Mbak Kalis masih sibuk seperti biasanya saja, masih menulis, sedang mempersiapkan sebuah penerbit, dan juga bekerja sebagai fasilitator gender, ya.
Mbak Kalis, sebagai sosok perempuan dan juga aktivis yang sudah membina rumah tangga, aku ingin tahu pandangan Mbak Kalis tentang rumah tangga yang setara. Seperti apa, sih, Mbak?
Rumah tangga yang setara artinya sebuah institusi pernikahan di mana salah satu pihak tidak ada yang berperan sebagai penguasa dan pihak lainnya lagi sebagai pelayan atau bawahan. Tidak ada yang menguasai atau dikuasai, tidak ada yang dikontrol atau mengontrol, tetapi relasinya sebagai manusia dewasa yang saling bekerja sama, saling mendukung, saling mengasihi, saling support untuk hidup yang lebih bermakna, hidup yang lebih berkualitas, hidup yang lebih baik sesuai dengan harapan dua orang ini di masa depan.
Perlu enggak suami dan istri menjalin relasi yang setara? Alasannya kenapa?
Perlu banget karena menjadi laki-laki yang berpura-pura untuk terus berkuasa, yang paling kuat, yang paling semuanya, itu capek. Sebaliknya juga istrinya. Ketika inisiatifnya, gagasannya, atau pikirannya itu disumbat terus, dibatasi, ya enggak bisa.
Namanya manusia itu, kan, punya ekspresi, punya inisiatif, kalau itu dibikin buntu hanya karena harus nurut terus karena segala keputusan ada di suami, kamu enggak punya pendapat gitu ya enggak bisa. Suatu saat akan meledak.
Jadi relasi yang setara itu penting biar semua anggota di dalam lembaga pernikahan itu sehat mental. Relasi yang setara, kerja sama, saling menghargai, saling menghormati, saling memvalidasi keberadaan dan kemanusiaan satu sama lain itu sehat banget buat dua-duanya.
Menurut Mbak Kalis Mardiasih, apa, sih, ukuran yang bisa dipakai untuk menilai rumah tangga yang sehat, rumah tangga yang setara?
Rumah tangga yang sehat, rumah tangga yang setara itu semua anggota yang ada di lembaga perkawinan berhak memiliki pendapat, berhak memiliki suara, berhak memilih keputusan yang terbaik untuk diri mereka.
Artinya kalau punya anak, berarti anaknya juga berhak untuk punya keputusan, ya, kalau sudah masuk usia dewasa. Kalau anak-anak kan belum punya consent, belum bisa punya keputusan sendiri, tetapi juga enggak boleh abusive meskipun masih anak-anak.
Di dalam rumah tangga yang setara juga enggak ada kekerasan apa pun. Selain itu, aku menganggap rumah tangga yang setara itu yang penuh dengan cinta dan kasih sayang, karena enggak ada yang menindas, enggak ada yang merendahkan, enggak ada yang men-subordinasi, memarjinalisasi, atau meminggirkan eksistensi atau keberadaan salah satu anggota keluarga itu. Sehingga kalau semuanya setara, enggak ada yang merendahkan, enggak ada yang meminggirkan, enggak ada kekerasan, ya pasti penuh kasih sayang.
Artikel terkait: Sibuk Urus Dua Anak, Rahne Putri: “Jangan Lupakan Mimpimu Sendiri Sebagai Individu”
Rumah tangga itu, kan, sangat kompleks dan menyangkut berbagai hal mulai dari urusan keuangan, urusan domestik, karier masing-masing, keputusan untuk memiliki anak bahkan sampai urusan yang terkecil pun harus dibicarakan berdua. Kalau dilihat dari perspektif kesetaraan, bagaimana, sih, cara Mbak Kalis dan suami mengatur hal-hal ini? Mulai dari soal keuangan dulu. Bagaimana cara Mbak Kalis mengelola keuangan secara setara dengan suami?
Kebetulan karena belum punya anak dan saya sama Agus sama-sama bekerja, jadi sebelum menikah memang kami enggak ada konsep nafkah. Yang ada adalah konsep iuran berdua. Jadi saya sama Agus patungan buat kebutuhan bulanan dengan jumlah yang sama besar. Buat bayar listrik, bayar internet, dan segala macam.
Ada juga tabungan berdua untuk merencanakan rumah masa depan karena kami ngontrak dan enggak dapat warisan juga, ya, jadi tabungannya sejauh ini baru buat tanah dan rumah aja, sih. Selain tabungan itu, kalau kami mau jajan-jajan, ya, kami enggak ngurusin jajan masing-masing. Karena ya udah itu duit kamu, Agus jajan apa ya terserah, saya jajan apa ya terserah karena duit masing-masing.
Kalau untuk tugas domestik, bagaimana pandangan Mbak Kalis tentang pembagian tugas domestik suami dan istri dalam kehidupan berumah tangga? Seperti apa, sih, Mbak pembagian tugas yang ideal? Mengingat urusan pembagian domestik ini sering banget jadi bahan nyinyiran di media sosial. Banyak banget yang menuduh kalau perempuan memperjuangkan kesetaraan berarti enggak mau masak, enggak boleh menyiapkan bekal untuk suami, harus bisa benerin genteng sendiri dan tuduhan-tuduhan lainnya
Saya masak karena saya yang bisa masak, ya. Agus itu anak laki-laki pertama dalam keluarga yang mengasuh anak-anaknya dengan norma gender tradisional dan dia punya dua orang adik perempuan, di mana dengan begitu ia tidak pernah dididik untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan domestik karena semua pekerjaan domestik itu pasti dua adik perempuannya yang mengerjakan.
Tetapi dari sebelum menikah, Agus sudah cukup terpapar bahwasanya pekerjaan domestik itu seharusnya bukan pekerjaan perempuan, pekerjaan domestik itu tidak punya jenis kelamin, ya. Dia sudah sering saya ajak diskusi.
Walaupun, dalam praktiknya, ketika misalnya saya minta tolong cuci piring, hasil kerjanya enggak sempurna. Jadi akhirnya saya kerjakan sendiri. Tapi dia jago ngepel, dia jago ganti seprei. Kita fleksibel, sih, yang penting dia sudah paham bahwa pekerjaan domestik itu bukan pekerjaan perempuan dan dia mau belajar. Dia mau dimintai tolong. Pada prinsipnya gitu.
Artikel terkait: 5 Fakta RA Kartini, Pejuang Emansipasi Perempuan yang Meninggal di Usia Muda
Soal karier, pandangan Mbak Kalis tentang perempuan yang berkarier bagaimana? Pernah enggak, sih, Mbak, suami protes dengan karier Mbak Kalis sekarang sebagai seorang aktivis? Mengingat risikonya, kan, cukup besar, mulai dari ujaran kebencian di media sosial, ancaman, persekusi, dan lain sebagainya
Dia enggak pernah protes karena dari sebelum menikah, kan, sudah tahu kalau pekerjaan saya memang seorang aktivis, isu perempuan lagi. Dia sudah terpapar dengan materi kerjaan saya sejak sebelum menikah. Terus kalau saya daftar fellowship atau kegiatan-kegiatan di luar negeri gitu dia juga enggak pernah protes.
Kadang-kadang bahkan saya menyampaikan, izin gitu mau pergi, dia malah bertanya kenapa harus izin. Dia bilang kalau itu, kan, baik buat kamu, menurut kamu kegiatan itu baik enggak? Kalau baik, ya sudah berangkat aja.
Paling-paling yang kami sepakati adalah soal berapa lama kami pergi, misalnya dia enggak siap banget kalau istrinya ada pekerjaan di luar kota satu bulan enggak pulang-pulang. Dia enggak membayangkan kondisi gitu, takut kangen katanya. Sehingga waktu itu kami menyepakati misalnya kalau ada pekerjaan di luar kota satu minggu, setelah itu pulang dulu ke rumah dua hari terus abis itu berangkat lagi.
Walaupun pada praktiknya saya perginya, ya, kadang-kadang ada yang 10 hari baru bisa pulang, tapi juga enggak apa-apa yang penting disampaikan. Yang penting komunikasinya lancar, ya. Apalagi dia tahu kalau pekerjaan ini adalah hidup saya. Saya melakukan ini karena passionate untuk melakukan advokasi-advokasi hak perempuan.
Artikel terkait: Cerita Sogi Indra Dhuaja Jadi Ayah ASI, “Kesuksesan ASI Eksklusif Dipengaruhi Peran Ayah”
Seperti apa dukungan suami selama ini untuk Mbak Kalis Mardiasih?
Dia enggak pernah keberatan dengan apa yang saya lakukan, itu saya anggap sebagai dukungan dari dia. Dia enggak pernah keberatan kalau saya selalu punya inisiatif-inisiatif baru dan kalau misalnya seharian saya harus bekerja gitu ya, maraton meeting misalnya dan saya enggak masak gitu ya, ya dia beli makanan sendiri. Fleksibel, sih, enggak kaku relasinya.
Ketika sedang mengalami konflik dengan suami, apa yang biasanya Mbak Kalis dan suami lakukan? Cara menyelesaikan konflik yang sehat menurut Mbak Kalis bagaimana?
Relasi kami layaknya manusia biasa, kok. Enggak perfect banget. Ada masanya kami bertengkar dan kemudian merespons perbedaan pendapat dengan emosi, itu biasa banget, lah. Enggak mungkin banget ketika bertengkar kemudian langsung berpikir rasional.
Kita, kan, masih manusia biasa, ya. Jadi, misalnya saya lagi emosi, Agus lagi emosi, ya kami pernah misalnya enggak mood ngomong satu hari atau dua hari gitu, ya. Masih bertegur sapa tapi enggak mood ngomong dengan happy aja.
Nah, terus abis itu, biasanya pas emosi sudah reda, dua-duanya ngomong, dengan cara menyampaikan, sebenarnya kemarin keinginanku itu, ya, begini, lho. Terus Agus juga akan ngomong, aku kemarin agak enggak suka ketika respons kamu seperti ini, misalnya gitu.
Kami saling mengutarakan apa yang ada di dalam isi kepala masing-masing. Ya sudah abis itu minta maaf dan baikan lagi. Intinya adalah tetap aja gitu dalam situasi berbeda pendapat pasti ada saat-saat emosi, tetapi setelah itu, ya, dengan kepala jernih, dua-duanya harus mendapat kesempatan untuk bicara secara setara.
Bagaimana pandangan Mbak Kalis Mardiasih tentang keputusan untuk tidak memiliki anak?
Tubuh seseorang itu, kan, sesuatu yang paling privat, sesuatu yang paling asasi yang dimiliki oleh seseorang. Sehingga dia memiliki hak untuk memutuskan apa yang terbaik untuk tubuhnya sendiri. Tetapi kemudian pada praktiknya tubuh perempuan itu dinormakan, diberi penghukuman oleh masyarakat dan negara.
Padahal, itu tubuhnya sendiri. Terkait keputusan untuk tidak memiliki anak, itu, kan, sebetulnya sesuatu yang sifatnya sangat pribadi. Sekarang kalau yang punya tubuh dan pasangannya sudah berkeputusan untuk tidak punya anak, memang kita mau ngapain?
Memang kita mau menyemangatin mereka ayo-ayo beraktivitas seksual sampai kamu bisa memiliki anak? Memang kamu mau jadi wasit? Enggak juga, kan. Toh, kita juga enggak pernah tahu alasan di balik pasangan suami istri memutuskan untuk tidak memiliki anak gitu.
Kalau saya, sih, yakin itu pasti suatu keputusan yang besar dalam hidup. Kenapa kita harus memikirkan orang lain harus punya anak atau tidak?
Yang menjadi masalah adalah ketika dia punya anak dan kemudian anaknya tidak terurus dan menjadi masalah sosial. Dan itu akan punya efek kepada kita, kepada masyarakat. Tapi kalau dia tidak punya anak, dia memiliki hidup yang berkualitas, dia memiliki hidup yang bahagia, terus masalahnya apa?
Parents, itulah wawancara kami dengan Kalis Mardiasih, seorang penulis dan aktivis perempuan yang kiprahnya telah menginspirasi banyak orang untuk menciptakan dunia yang lebih adil bagi perempuan. Semoga makin banyak perempuan Indonesia yang berdikari seperti Kalis, ya. Terima kasih, Kalis!
Baca juga:
Tini Djajadi- Memperjuangkan Kesetaraan Hak Penyandang Disabilitas
Women International Day 2019 ingatkan pentingnya ajarkan kesetaraan gender pada anak
Sheila's Playground, Cara Seru Ceritakan Keseharian Anak Lewat Komik