Ismail Zulfic, dilahirkan tanpa kedua lengan. Dengan berstatus sebagai penduduk di Bosnia yang kurang mendukung bagi para kaum penyandang disabilitas, Ismail harus menghadapi berbagai diskriminasi sejak ia masih berusia dini.
Ismet Zulfic, ayah Ismail mengungkapkan bahwa putranya ditolak oleh beberapa tempat perawatan anak. Butuh waktu lebih lama dari orang tua dengan anak “normal” lainnya sebelum ia menemukan tempat yang bersedia menerima Ismail.
Elmina, sang ibu juga bercerita bahwa dia kesulitan saat hendak memasukkan Ismail Zulfic ke Taman Kanak-Kanak. Ia harus mengalami penolakan beberapa kali sebelum dapat menemukan sekolah yang mau menerima Ismail.
Meski dengan keterbatasan yang ia miliki, tak menghalangi Ismail Zulfic untuk melakukan hal-hal yang biasa dilakukan orang normal. Elmina, ibu Ismail mengatakan bahwa anaknya pandai bermain video game dengan kakinya.
Yang paling membanggakan, Ismail Zulfic yang baru berusia enam tahun sanggup berenang di kolam renang taraf olimpiade meskipun tanpa lengan.
Sistem yang diskriminatif
Dari 3,5 juta populasi penduduk di Bosnia, 10% diantaranya adalah kaum difabel. Sekitar 300.000 orang penduduknya merupakan penyandang disabilitas, termasuk 84.000 orang yang berjuang saat perang saudara tahun 1992-1995.
Hampir setengah populasi penduduk di Bosnia berada pada usia produktif, namun tak bisa dipekerjakan karena disabilitas yang diderita. Dana sosial yang dicanangkan pemerintah kebanyakan dihabiskan untuk memberi santunan pada para penyandang difabel, dan yang diutamakan adalah para bekas tentara veteran perang.
Tentara veteran perang di Bosnia menerima 950 euro setiap bulan, dan korban perang saudara menerima 650 euro sebulan. Sedangkan penduduk sipil seperti Ismail hanya mendapat maksimal 200 euro per bulan untuk biaya medis. Tentu saja jumlah ini tidak cukup untuk menutupi kebutuhan Ismail.
Zarko Papic dari Bosnia’s Social Inclusion Foundation menyatakan bahwa metode santunan ini merupakan diskriminasi yang sistematis dilakukan oleh negara.
Ismail Zulfic mendapat pelatihan di Sekolah renang untuk difabel
Ismail Zulfic berlatih renang di sebuah klub renang bernama Spid yang ada di Sarajevo tiga kali dalam seminggu. Ismail yang tinggal bersama kedua orangtuanya di Zenica harus menempuh perjalanan 70 km ke Sarajevo untuk mencapai satu-satunya klub renang di Bosnia yang menerima anak difabel.
Meski kegiatan Ismail di klub renang menambah beban finansial keluarga, namun Ismet tetap merasa bangga bahwa anaknya bisa berenang seperti layaknya orang normal. Bahkan mampu berenang dengan jarak setara dengan kolam renang olimpiade.
Spid merupakan kelas renang yang dibuka oleh Amel Kapo yang merupakan seorang lulusan olahraga. Ia tergerak atas dasar keprihatinannya melihat bahwa anak-anak penyandang disabilitas tidak memiliki pelatih renang yang profesional.
Bersama dengan tiga orang relawan, Amel memberikan pelatihan berenang tanpa dibayar sepeserpun. Padahal, tagihan pemeliharaan kolam renang sebesar 650 euro sebulan yang dibayar dengan sumbangan dari dua pebisnis lokal.
Amel telah berusaha mendapatkan dukungan para pejabat, namun ia hanya berhasil mendapatkan 1000 euro dari kementerian kebudayaan untuk mendanai sekolah renang anak-anak difabel itu. Dengan segala keterbatasan yang ada, Ismail dan kawan-kawannya tetap semangat berlatih.
Ismet menerima kenyataan bahwa pemerintah Bosnia tidak terlalu memberikan perhatian pada kaum difabel seperti putranya. Namun ia tetap bangga dan berharap kelak anaknya bisa dikirim untuk mewakili Bosnia dalam olimpiade renang kelas dunia.
Ismail Zulfic adalah contoh baik bahwa keterbatasan fisik dan diskriminasi justru akan menjadikan seseorang lebih maju. Dukungan peuh dari orang tua adalah sumber semangat dalam mencapai semua impiannya.
Baca juga:
Perjalanan Hidup Ryan: Malnutrisi di Panti, Sehat Setelah Diadopsi
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.