Hanya karena lebih suka merajut daripada bermain bola, seorang ibu memarahi putranya.
Baru-baru ini jagat Twitter diramaikan oleh unggahan akun bernama @trianovandaptr yang menceritakan keponakan laki-lakinya yang punya hobi merajut. Postingan itu pun menjadi viral dan di-retweet sebanyak lebih dari 30 ribu kali.
Merajut yang identik dengan kegiatan ibu-ibu, memang tidak populer dijadikan hobi anak-anak. Namun, bocah yang disebut yang bernama Tama justru tertarik bekerja dengan benang untuk menghasilkan karya.
Kisah ibu yang memarahi putranya karena suka merajut
Akun @trianovandaptr mengunggah foto Tama yang tengah asik merajut dan juga hasil karya rajutannya. Dia mengisahkan kesedihan sang keponakan setelah dimarahi oleh ibunya hanya karena hobinya itu.
Menurut sang ibu, anak laki-laki seharusnya bermain bola atau layangan, bukan bermain benang dan alat merajut karena itu mainan untuk anak perempuan.
Anak itu tertarik dengan rajutan karena sering melihat tantenya (pengunggah di Twitter), merajut sehingga dia penasaran dan minta diajari. Dia pun belajar merajut dengan tekun tapi sayang, belum juga karyanya selesai dia dimarahi oleh sang ibu dan tidak boleh merajut lagi.
Akun @trianovandaptr mengaku dia bersedih dan tidak kuat melihat keponakannya selalu dimarahi orangtuanya karena dianggap tidak semaskulin teman-teman lelakinya. Padahal, menurutnya Tama tidak memiliki sifat keperempuan-perempuanan (kemayu). Hanya saja, dia memang seorang lelaki yang sifatnya lembut.
“Sebenarnya dia lelaki yang lembut, tapi tidak ‘lekong’. Dia hanya tidak suka permainan yang melibatkan fisik, dalam pelajaran olahraga saja dia selalu tertinggal. Dia lebih suka main pita dan benang, dan 2 minggu yang lalu dia sudah bisa merajut,”
Dukungan dari warganet untuk Tama
Foto: Twitter/trianovandaptr
Banyak orang yang tersentuh hatinya melihat postingan @trianovandaptr itu. Mereka pun memberi dukungan moral dan menyayangkan sikap sang ibu yang tega memarahi putranya hanya karena suka merajut.
“Loh, kenapa nggak dibolehin berkarya seni. Dia punya bakat seni bukannya di apresiasi disupport malah dilarang. Aneh orangtuanya. Yang menggemari merajut memang didominasi oleh wanita, tetapi seni itu nggak memandang gender. Siapa tahu jadi seniman kontemporer,” komentar akun @riripariri.
“Hi Tama, ini alat rajut kakak (atau Om ya?) sejak SMP sekitar hampir 19 tahun lalu, *tua ya hahaha*. Masih disimpan hingga sekarang. Cuma mau bilang, bahwa kamu sah-sah saja merajut. Itu hal yang sangat keren. Semoga mamamu bisa baca pesan ini ya. Semangat!” akun @umenumen ikut memberi semangat.
Ada pula akun yang merespons dengan berpesan pada para orangtua agar tidak mengerdilkan bakat anak-anaknya.
“Pesen buat orangtua, please stop bunuh mimpi anak-anak kalian kelak. Arahin bukannya cuman ngelarang tapi nggak ngasih solusi. Percaya atau nggak, ini bakal berdampak ke anak ketika mereka sekolah, bisa jadi crisis identity berkepanjangan. Luntang-lantung passion-nya dikubur,” tulis @kayrazing.
Tanggapan Psikolog, Anak Dimarahi Ibu karena Suka Merajut
Psikolog anak sekaligus Dosen Fakultas Psikologi dari Universitas Indonesia (UI), Nael Sumampouw mengungkapkan, tindakan pembatasan bakat yang dilakukan orangtua Tama termasuk stereotip gender.
“Seorang anak laki-laki yang melakukan aktivitas merajut atau menyulam tidak kemudian menjadi anak perempuan, tidak ada yang salah dengan anak laki-laki merajut atau menyulam,” ujar Nael dilansir Kompas.com (1/7/2020).
Menurut Nael, orangtua yang terlalu membatasi keahlian anak dapat berdampak pada relasi anak dan orangtua.
“Anak kecewa, semakin membuat jarak dengan orangtua karena merasa tidak didukung, tidak dicintai,” tuturnya.
Nael menambahkan, jika anak diperlakukan seperti itu, ia akan berpikir kalau dirinya tidak diinginkan atau diharapkan oleh orangtuanya hanya karena area/dominan kecil dalam dirinya yakni kegiatan yang dianggap tidak pas dengan jenis kelaminnya tersebut. Padahal dalam aspek lain, anak tersebut merupakan anak yang baik-baik saja.
Mengapa orangtua melakukan pembatasan seperti itu?
Nael menjelaskan, ada sejumlah faktor yang membuat orangtua melakukan pembatasan keahlian kepada anak. Seperti sosialisasi tentang gender yang orangtua dapatkan sepanjang hidupnya dari orangtua mereka, keluarga besar, lingkungan pergaulan, dan lainnya.
Ia menganggap, tindakan seperti itu membuat batasan antara menjadi laki-laki atau perempuan yang dinilai oke dan keren.
Terakhir, Nael berpesan orangtua sebaiknya mendampingi anak, agar anak menggali apa yang mereka sukai dari kegiatan tersebut.
“Hindari menyalahkan/menghakimi pada anak, tindakan eksplorasi minat melalui berbagai macam kegiatan bisa dilakukan,” tutup Nael terkait dengan ibu memarahi putranya suka merajut.
Baca juga:
Dampak Buruk Bila Kita Sering Memarahi Anak di Muka Umum
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.