Sebuah artikel yang dimuat di situs www.perempuan.com berjudul Pendidikan Gender Sejak Dini yang dimuat pada hari Kamis, 12 November 2009, sontak membuat saya tergelitik untuk berkomentar. Pasalnya pembuka artikel ini bercerita seputar pendidikan gender dimana para ayah dan anak laki-laki mendapatkan privilege di rumah, sementara ibu dan anak-anak perempuan harus menyiapkan pekerjaan rumah.
Hm…sounds familiar? Pastinya ya. Pasti deh suatu kali Anda pernah kesal, karena saat sama-sama sedang lelah sepulang kantor, tiba-tiba turun ‘mandat’ dari suami: “Buatin kopi dong mah…”. Kalau mintanya sambil sedikit memijat-mijat di bahu atau sambil mendaratkan ciuman di kening sih masih lumayan. Tapi, kalau pakai memerintah waduh…gondok juga sih.
Kita yang yang tinggal di Indonesia, mungkin sudah biasa dengan kejadian seperti ini. Malah sudah menganggapnya sebagai sebuah keharusan. Sejak kecil, anak-anak —secara sadar atau tidak — telah mendapatkan pendidikan gender. Mereka diajari orang tuanya tentang pembagian pekerjaan domestik.
Masih tentang siapa yang harus membuatkan kopi untuk ayah, boleh jadi Anda juga ikut andil untuk ‘mewariskan’ tugas mulia ini kepada putri Anda. Wah…kok jadi terdengar seperti “CurCol” soal kopi ya?
Kembali ke pembagian tugas sebagai penerapan pendidikan gender, artikel ini pun berkomentar sama:
“Pemilahan pekerjaan domestik secara absolut memang sudah lazim. Laki-laki dan bahkan perempuan sendiri seolah sudah menerimanya sebagai sebuah kodrat alam yang tak perlu ditolak. Kelelahan luar biasa akibat pekerjaan domestik yang tak pernah ada habisnya itu pasti adakalanya membuat kaum perempuan mengeluh atau akhirnya ‘terkapar’ tanpa kata-kata. Namun nyatanya semua harus terus begitu dan begitu, sehingga perempuan pun akhirnya menerima hal itu sebagai takdir. Namun sungguhkah memang begitu seharusnya?”
Jawabannya tentu “TIDAK HARUS BEGITU DONG…”
Saya masih ingat dulu, ketika suatu pagi saat sedang belajar di Peking University, saya terkejut ketika bertemu dengan rektor saya yang sedang asyik menggowes sepeda di dekat kampus sambil membawa belanjaan. Sekeranjang telur, wortel dan daun bawah menjurai dari keranjang sepedanya. Hihi…saya sempat tergeli-geli sendiri di kepala dan bertanya-tanya…ayah saya yang hakim itu mau nggak ya dimintai tolong ibu saya beli daun bawang ke pasar? Pastinya beliau tidak mau. Atau kalaupun mau, mendiang nenek saya bisa mencak-mencak pada ibu. Saya memang masih mengalami warisan budaya para sepuh yang masih memilah-milah dengan tegas bahwa pekerjaan domestik harus dikerjakan perempuan.
Perubahan jaman dan pendidikan memang sudah banyak mengubah “cerita domestik” ini. Banyak suami kini sudah mau kok berbagi tugas dengan istri, walaupun mungkin belum ‘seideal’ yang para istri inginkan, karena terbentur oleh tradisi pendidikan gender yang sudah dibentuk sejak kecil. Seorang teman yang masih tinggal bersama mertua misalnya, kerap mengeluh karena dirinya dimarahi mertua sewaktu melihatnya dibantu suami mencuci piring. Artikel di www.perempuan.com ini juga memaparkan begitu:
Solusinya? Daripada hanya mengomel, tip-tip seputar pendidikan gender berikut ini mungkin bisa Anda praktikkan. Tentu saja target utama yang harus disasar adalah suami sendiri. Caranya bagaimana? Anda tentu yang paling tahu tentang trik terjitu untuk menyampaikan masalah-masalah ‘unik’ seperti ini pada suami. Mudah-mudahan berhasil, dan siapa tahu di saat Anda sedang lelah, justru suami yang datang dengan secangkir teh hangat plus bonus memijat pundak dan kaki.
Share on Facebook atau G+ jika Anda merasa artikel mengenai pendidikan gender sejak dini ini bermanfaat. Join Komunitas Keluarga Indonesia di G+ untuk mengikuti update info dari kami dan berdiskusi dengan para Keluarga Indonesia
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.