Pernikahan merupakan suatu hal yang sakral, di mana dua orang diharapkan untuk bisa menjaga komitmen. Sayangnya, di tengah perjalanan tak jarang perselingkuhan terjadi, baik yang dilakukan pihak perempuan atau pun lelaki. Tak hanya pada pihak lelaki, nyatanya hukum cerai akibat istri selingkuh pun telah dijelaskan dari kacamata agama dan negara.
Apa Itu Selingkuh?
Jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, selingkuh berarti:
- suka menyembunyikan sesuatu untuk kepentingan sendiri; tidak berterus terang; tidak jujur; curang; serong
- suka menggelapkan uang; korup
- suka menyeleweng.
Sedangkan menyeleweng berarti:
- menyimpang dari jalan yang benar (dalam arti kiasan seperti menyimpang dari tujuan atau maksud, tidak menurut perintah, menyalahi aturan, memberontak, berzina)
Apa Itu Zinah?
Salah satu perilaku yang diatur dalam hukum perselingkuhan dalam pernikahan adalah perzinahan. Tapi, apakah yang dimaksud dengan berzinah?
Dikutip dari hukumonline.com, menurut R. Soesilo zinah adalah “persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya”.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 284 menghukum pelaku zinah dengan hukuman maksimal 9 bulan penjara. Ada sejumlah aspek hukum mengenai zinah ini, yakni:
- Yang disebut zinah adalah hubungan persetubuhan di luar nikah antara dua orang yang salah satu atau keduanya telah menikah;
- Perzinahan harus bisa dibuktikan dengan (a) pengakuan tersangka perzinahan, dan/atau (b) saksi mata, yang dalam hukum Islam harus memenuhi persyaratan: 4 orang lelaki dewasa yang menyaksikan adanya penetrasi hubungan seksual.
- Kasus zinah adalah delik aduan. Hanya pasangan resmi dari pelaku perzinahan yang berhak melaporkan tindak perzinahan. Polisi tidak berhak menangkap pelaku perzinahan tanpa laporan dari pasangan resmi pelaku perzinahan.
- Pada perceraian karena alasan perzinahan, mantan suami istri tidak bisa rujuk.
- Meski yang melaporkan perzinahan adalah pasangan resmi dari salah satu tersangka perzinahan, proses hukum mengenai dua (atau lebih) orang yang terlibat dalam perzinahan.
- Perzinahan dilakukan atas dasar suka sama suka tanpa adanya paksaan dari siapa pun.
Artikel terkait: Belajar dari Kisah “Layangan Putus”, Bagaimana Selingkuh dalam Pernikahan Bisa Dipidana?
Hukum Cerai Akibat Istri Selingkuh Menurut Agama Islam
Dalam Agama Islam, perselingkuhan tentu merupakan perbuatan yang dilarang dan harus dijauhi. Hal ini sejalan dengan ayat al quran dalam surat Al Isra:32,
“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina adalah perbuatan yang keji dan jalan yang buruk dan jika terjadi perzinahan, maka akibat buruk untuk pelakunya adalah di dunia dan akhirat.”
Melansir dari konsultasisyariah.com, ketika seorang istri berselingkuh, ulama memberikan rincian sebagai berikut:
1. Setelah Berselingkuh, Istri Bertaubat dan Menyesali Perbuatannya
Pertama, istri bertaubat dan sangat menyesali perbuatannya, bahkan ia berusaha meminta maaf kepada suaminya, mengubah cara pergaulannya dan cara berpakaiannya. Ia menjadi wanita yang dekat dengan Allah, menutup aurat dan menghindari pergaulan dengan lelaki yang bukan mahram.
Untuk kondisi ini, suami boleh mempertahankan istrinya dan tidak menceraikannya. Dengan dua syarat,
- Suami harus siap memaafkan istrinya dan tidak mengungkit masa lalunya, setelah ia bertaubat.
- Suami siap merahasiakan kasus istrinya dan tidak menceritakannya kepada siapapun.
Dengan sikap ini, diharapkan semoga akan menjadi sumber pahala bagi suami, karena ini termasuk bentuk kesabaran. Pernyataan mengenai ‘suami boleh mempertahankan istrinya’ artinya bukan kewajiban. Suami bisa mempertimbangkan dampak baik dan buruknya, untuk menentukan pilihan, cerai ataukah dipertahankan. (Fatwa Islam, no. 162851)
Ada sebagian suami yang tak kuasa menceraikan istrinya, namun sangat sulit baginya memaafkan perselingkuhan yang dilakukan sang istri Sehingga yang terjadi, suami hanya bisa marah dan marah, bahkan menzalimi istrinya.
Dalam kondisi ini, pilihan cerai adalah jalan yang lebih baik, dari pada mempertahankan istrinya, agar tidak menimbulkan perbuatan maksiat yang baru.
Artikel terkait: Mau Mengurus Perceraian di Pengadilan Agama, Begini Caranya
2. Setelah Berselingkuh, Istri Belum Bertaubat dan Tidak Menunjukkan Penyesalan
Kedua, sang istri belum bertaubat dan tidak menunjukkan penyesalan, bahkan pergaulannya masih bebas seperti sebelumnya, meskipun bisa jadi ia hanya meminta maaf kepada suaminya.
Untuk kondisi ini, ulama berbeda pendapat, apakah suami wajib menceraikan istrinya atau boleh mempertahankannya.
Pendapat pertama, suami boleh mempertahankannya. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Dr. Muhammad Ali Farkus mengatakan,
“Seperti yang telah dipahami dalam aturan syariat, bahwa zina yang dilakukan salah satu diantara suami istri, menjadi sebab ditegakkannya hukum rajam. Namun jika hukuman ini tidak bisa ditegakkan, karena persyaratan untuk itu tidak terpenuhi, ikatan nikah tidak difasakh (dibubarkan) disebabkan zina yang dilakukan salah satunya. Dan tidak wajib difasakh, baik kasus zina itu terjadi sebelum hubungan badan atau sesudahnya, menurut pendapat mayoritas ulama.”
Wajib Cerai karena Suami Dayuts
Pendapat kedua, suami tidak boleh mempertahankan istrinya dan harus menceraikannya. Karena ketika sang suami mempertahankan istrinya, dia dianggap tidak memiliki rasa cemburu, dan tergolong suami dayuts. Dan sikap ini termasuk dosa besar.
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tiga orang yang tidak akan Allah lihat mereka pada hari kiamat: Orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, wanita tomboi, dan lelaki dayuts.” (HR. Ahmad 5372, Nasai 2562, dan dishahihkan Syuaib Al-Arnauth).
Dalam Musnad Imam Ahmad terdapat penjelasan siapakah Dayuts,
“Lelaki dayuts yang membiarkan perbuatan keji pada keluarganya.” (Musnad Ahmad no. 6113).
Sebelum Istri Bertobat dari Zina, Harus Diceraikan
Dan Allah SWT telah berfirman:
Lelaki yang berzina tidak boleh menikahi melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dinikahi kecuali oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin. (QS. An-Nur: 3).
Oleh karena itu, pendapat yang kuat di antara pendapat ulama, bahwa wanita pezina, tidak boleh dinikahi kecuali setelah dia bertaubat. Demikian pula ketika seorang istri berzina, tidak boleh bagi sang suami untuk tetap mempertahankannya, selama dia belum bertaubat dari zina, dan dia harus menceraikannya. Jika tidak, dia termasuk dayuts.
Artikel terkait: Istri cenderung selingkuh setelah 6 tahun menikah, apa alasannya?
Hukum Cerai Akibat Istri Menurut Peraturan Negara
Selain dilarang oleh agama, perselingkuhan juga dapat menjadi pemicu retaknya rumah tangga. Jika perselingkuhan telah mengarah ke perbuatan zina, maka suami/istri dari pasangan yang melakukan zina dapat melaporkan istri/suaminya ke polisi atas dasar Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”). Berikut bunyi pasalnya:
“Diancam dengan pidana penjara maksimal sembilan bulan:
- Seorang pria yang sudah menikah yang melakukan mukah atau overspel padahal diketahui bahwa Pasal 27 BW berlaku untuknya;
- Seorang wanita yang sudah menikah melakukan mukah.
- Seorang pria yang ikut melakukan perbuatan tersebut, padahal diketahui bahwa yang turut bersalah sudah kawin.
- Seorang wanita yang ikut melakukan perbuatan tersebut, padahal diketahui bahwa yang turut bersalah sudah kawin”
- Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal menjelaskan lebih lanjut mengenai mukah/overspel atau yang disebut Soesilo sebagai zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan isteri atau suaminya. Untuk dapat dikenakan pasal ini, maka persetubuhan itu harus dilakukan atas dasar suka sama suka, tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak.
Dari ketentuan tersebut di atas, tampak bahwa baik istri Anda maupun laki-laki yang mempunyai hubungan khusus dengan istri Anda dapat dikenakan pidana berdasarkan Pasal 284 KUHP. Namun, proses penuntutan secara pidana hanya dapat dilakukan atas pengaduan Anda atau istri dari laki-laki itu, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 284 ayat (2) KUHP.
Ditegaskan pula oleh R. Soesilo bahwa Pasal 284 KUHP ini merupakan suatu delik aduan yang absolut, artinya tidak dapat dituntut apabila tidak ada pengaduan dari pihak suami atau isteri yang dirugikan (yang dimalukan).
R. Soesilo menambahkan bahwa pengaduan ini tidak boleh dibelah, maksudnya, apabila laki-laki (A) mengadukan bahwa isterinya (B) telah berzinah dengan laki-laki lain (C), maka (B) sebagai yang melakukan perzinahan dan C sebagai yang turut melakukan perzinahan, kedua-duanya harus dituntut.
Namun, karena pada dasarnya upaya hukum pidana seharusnya merupakan ultimum remidium (upaya terakhir) dalam penyelesaian suatu masalah, kami menyarankan Anda untuk lebih mengedepankan upaya kekeluargaan dengan istri Anda maupun laki-laki tersebut dengan mengingat tujuan dari suatu perkawinan itu sendiri.
***
Demikianlah informasi terkait hukum cerai akibat istri selingkuh berdasarkan agama dan negara. Semoga informasi di atas bermanfaat, ya, Parents.
Baca juga:
https://id.theasianparent.com/tanda-pasangan-selingkuh
https://id.theasianparent.com/hukum-meninggalkan-istri-dalam-pernikahan-siri
https://id.theasianparent.com/ciri-istri-tidak-bahagia