Mendengar Jepang, kebanyakan orang akan langsung terbayang kulinernya yang menggiurkan dan kedisiplinan masyarakat tinggi. Faktanya, budaya Jepang juga unik. Hikikomori adalah salah satu budaya yang mengakar sekaligus menjadi sorotan karena dinilai ekstrim.
Fenomena ini bahkan sudah dikategorikan ‘penyakit’ sosial yang mewabah populasi di Jepang. Mirisnya, sebagian besar penderitanya adalah anak muda. Seperti apa budaya ini sebenarnya?
Hikikomori adalah Budaya Jepang yang Diwaspadai
Mengutip laman The Conversation, hikikomori merupakan fenomena menarik diri ekstrim yang bermula pada 1990 silam. Momen ini adalah periode ketika Jepang tengah mengalami kesulitan ekonomi, sehingga banyak anak muda yang terhambat mencapai impiannya.
Tidak ingin menanggung rasa malu, mereka pun memilih ‘menghilang’ dari muka bumi. Oleh psikiater Jepang Profesor Tamaki Saito, fenomena ini disebut hikikomori (hiki berarti menarik dan komori bermakna berada di dalam).
Kala itu, fenomena tersebut masih dianggap wajar dan tidak dikategorikan sebagai penyimpangan kondisi mental. Merujuk data yang ada, setidaknya terdapat 1,2% populasi di Jepang yang melakukannya. Besar kemungkinan, angka ini telah meningkat terlebih tengah pandemi seperti sekarang ini.
Bahkan, fenomena ini telah merambah ke belahan dunia lain. Mereka sebagai pelaku hikikomori memiliki beberapa ciri. Yaitu menarik diri dari kehidupan sosial, bahkan mengisolasi diri di kamar bertahun-tahun lamanya.
Seorang pakar hikikomori, Dr Takahiro Kato pernah mengalami masalah ini pada masa remajanya. Hal itu yang memicu Dr. Kato tertarik meneliti dan ingin menyingkirkan fenomena ini dari generasi muda Jepang.
Dr Kato mempelajari hikikomori di Universitas Kyushu, Fukuoka. Ia telah melihat beberapa kasus parah yang diderita para pria berusia 50-an yang sudah menarik diri dari kehidupan sosial selama 30 tahun!
Para penderitanya tidak hanya menolak kontak dengan teman dan keluarga, tetapi lebih dari itu. Menyedihkan karena orang yang melakoni gaya hidup seperti ini adalah orang yang cerdas dan memiliki intelektualitas tinggi.
“Saya sangat khawatir karena kini sekitar satu persen dari populasi Jepang mengidap hikikomori atau gangguan sejenisnya. Sebagian besar dari mereka adalah lulusan universitas sehingga sangat berpengaruh terhadap perekonomian negeri ini. Sejumlah penderita adalah lulusan universitas ternama dan ini sangat menyedihkan,” tutur Dr. Kato.
Artikel terkait: Mengenal Konsep Ikigai, Filosofi Hidup Bahagia ala Orang Jepang
Hikikomori Adalah Sarana Menghilangkan Trauma
Riset menunjukkan bahwa hikikomori dijadikan medium oleh anak muda Jepang untuk meredakan rasa malu akibat trauma. Sebut saja kegagalan dalam ujian, atau tidak mendapatkan pekerjaan idaman.
Hal ini disebabkan akar kuat di Jepang menekan orang yang ‘berbeda’ sehingga menimbulkan rasa malu mendalam. Contohnya adalah Yuto Onishi (18) asal Tokyo yang sudah mengurung diri di kamarnya selama hampir tiga tahun.
Ia akhirnya menyadari hal itu tidak benar dan mulai mencari pengobatan enam bulan lalu. Selama masa ‘menghilang’ tersebut, Yuto menghabiskan hari di kamar tidur berselancar di internet. Sisa waktu di malam hari ia gunakan untuk membaca komik manga Jepang.
Selama mengurung diri, Yuto tak pernah berbicara dengan orang lain. Saat memulai terapi, Yuto mengatakan bahwa kondisinya kemungkinan dipicu sebuah insiden saat dia duduk di bangku SMP yaitu gagal menjadi juara kelas.
Dr Kato menegaskan, lingkungan sekitar memberikan kontribusi terhadap munculnya hikikomori yang paling banyak menghinggapi keluarga kelas menengah.
“Kondisi ini sangat jarang menimpa keluarga miskin. Keluarga kelas menengah adalah kelompok yang paling rentan menderita hikikomori,” ujar Kato. Hal ini semakin diperparah dengan orangtua yang bukannya menarik anak ‘keluar’, namun mendukung keputusan anak-anak mereka.
“Jepang sangat berbeda dengan masyarakat Barat. Sebagai contoh, hubungan ibu dan anak sangat berbeda. Orangtua Jepang terlalu melindungi anak-anak mereka. Oleh karenanya, beberapa orang sangat sulit menjadi mandiri. Itulah mengapa jumlah kasus hikikomori di Jepang sangat tinggi,” imbuh Dr. Kato.
Artikel terkait: 7 Cara Orang Tua Jepang Menyiasati Anaknya yang Susah Makan
Kultur Keluarga Menjadi Kunci
Sumber: The Japan Times
Dalam laman National Geographic, seorang fotografer Maika Elan mengulik budaya hikikomori lebih dalam. Ia menyebut selalu ada dua sisi koin di negeri manapun di dunia, termasuk Jepang yang menjadi destinasi impian banyak orang.
“Selalu ada dua sisi yang saling bertentangan. Modern dan tradisional, padat tapi juga kesepian. Restoran dan bar selalu penuh tapi jika Anda mengamati lebih dekat, kebanyakan orang makan sendiri-sendiri. Dan di jalanan, tidak peduli jam berapa, Anda selalu menemukan karyawan yang kelelahan.”
Elan yang berasal dari Vietnam pertama kali mendengar tentang hikikomori ketika ia tinggal di Jepang selama enam bulan. Ia kemudian bertemu dengan perempuan Jepang bernama Oguri Ayako yang bekerja sama dengan New Start, sebuah organisasi nonprofit yang berfokus pada hikikomori dan kehidupan terisolasi mereka.
Membutuhkan waktu hingga berbulan-bulan untuk Ayako membujuk para hikikomori agar mau membuka diri. Setelah lima atau enam pertemuan, Elan baru diperbolehkan mengambil foto.
“Awalnya, aku pikir mereka pemalas dan egois. Di luar sana, banyak orang yang bekerja mati-matian. Hikikomori kebalikannya, membawa keseimbangan bagi Jepang,” lanjut Elan.
Elan kemudian berusaha menarik benang merah maraknya fenomena ini. Salah satunya kebanyakan keluarga Jepang hanya memiliki satu orang putra. Orangtua akhirnya menggantungkan banyak harapan kepada satu-satunya anak mereka. Ini menjadi tekanan tersendiri.
Alasan lainnya mungkin karena pergeseran budaya di Jepang dari masyarakat kolektif menjadi individualis.
“Di Jepang, di mana keseragaman sangat dihargai, reputasi dan penampilan luar menjadi hal yang sangat penting. Bagi sebagian orang, pemberontakan hadir dalam bentuk kebisuan.
Semakin lama hikikomori terpisah dari masyarakat, semakin mereka merasa gagal. Mereka akan kehilangan kepercayaan diri dan akhirnya semakin takut keluar dari rumah. Tinggal di dalam kamar akan membuat mereka merasa ‘aman’,” pungkas Elan.
***
Baca juga:
Bisa Kita Contoh Nih Parents! Begini Aturan Bermain Anak-Anak Jepang
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.