Sebagai orangtua, siapa sih yang tidak ingin memberikan hal yang terbaik pada buah hatinya? Tak terkecuali pola asuh yang baik. Hati-hati, nyatanya pola asuh yang tidak tepat sangat berkaitan erat menyebabkan depresi pada anak.
Pola asuh seperti apa?
Penyebab dan Ciri Depresi pada Anak
Selama ini Parents mungkin menganggap depresi hanya bisa terjadi pada orang dewasa, padahal kondisi ini bisa menimpa anak sejak dini. Bahkan sejak bayi.
Fakta inilah yang saya dapat saat mengikuti event Instagram Live theAsianparent bertajuk “Hati-hati, Pola Asuh yang Salah Bisa Sebabkan Anak Depresi” beberapa waktu lalu.
“Memasuki usia balita dan seterusnya, lingkungan sekitar dan pergaulan dapat menjadi faktor utama stressor pada anak. Apalagi kondisi pandemi seperti sekarang ini. Anak terlalu banyak di rumah dan kesempatan untuk bertemu teman sebaya jadi terbatas. Belum lagi kalau sudah sekolah, tugas menumpuk dan membuat orangtua ikut stres juga,” tutur dr. Santi Yuliani, Sp. KJ.M.Sc selaku narasumber.
dr. Santi menjelaskan bahwa stres dapat terjadi sejak si kecil masih berusia sangat belia. Jika kondisi ini dibiarkan, tak menutup kemungkinan anak akan mengalami depresi kedepannya. Oleh karena itu ia mengingatkan, penting bagi Parents untuk bisa lebih sensitif dan mencermati seperti apa gejala depresi pada anak.
“Kenapa perlu lebih diperhatikan, karena look-nya tentu berbeda pada orang dewasa yang sudah lebih lumrah mengekspresikan perasaannya,”ujarnya.
Dokter psikiater yang sering memberikan edukasi lewat Instgram @santi_psychiatrist ini menambahkan, “Kita memang harus bisa membeda antara sedih biasa dengan depresi. Sedih adalah mood atau perasaan yang wajar pada manusia, tetapi tidak selalu dikategorikan sebagai depresi,” sambung dr. Santi.
Depresi pada anak dapat terlihat bila anak menunjukkan gejala sebagai berikut:
- Kesedihan yang tidak wajar, bahkan berlangsung lebih dari 2 minggu;
- Rasa sedih sudah mengganggu fungsi peran dan aktivitas sehari-hari, misalnya aktivitas di sekolah dan kegiatan lainnya;
- Hipersensitif, yang mana anak menjadi mudah marah dan membanting benda di sekitarnya;
- Gangguan konsentrasi, yang jika tidak disiasati oleh orangtua dapat memengaruhi kemampuan kognitif; dan
- Muncul gangguan makan: nafsu makan anak berkurang atau malah meningkat dibanding biasanya
Penting diingat bahwa ciri di atas terlihat pada karakter anak apapun, bergantung pada pola asuh orangtua seperti apa. Namun, umumnya anak yang mengalami depresi mengalami 1 hingga 2 gejala pada dirinya.
Artikel terkait: Bayi Juga Bisa Marah, Ini Tanda dan Penyebab yang Perlu Parents Ketahui
Pola Asuh Salah yang Sebabkan Anak Depresi
Sayangnya tak hanya orang sekitar, pola asuh orangtua yang keliru bisa jadi pencetus depresi anak. dr. Santi memaparkan beberapa pola asuh yang dinilai dapat menimbulkan depresi dalam diri anak.
1. Tidak Membiarkan Anak Menumpahkan Perasaan
“Coba deh, kebanyakan orangtua di Indonesia ketika anaknya sedang sedih responnya apa? Bilangnya, ‘jangan sedih ya, cep cep cep, nggak boleh nangis. Alih-alih membiarkan anak mengekspresikan apa yang dirasakan, orangtua mengarahkan anak agar mengerti. Padahal, anak belum bisa mengerti seperti apa itu jangan bersedih yang dimaksudkan sama dia,” ujar dr. Santi.
Oleh karena itu, dianjurkan agar orangtua menggunakan pendekatan yang berbeda. Salah satu contoh sederhana ialah rutin menanyakan perasaan anak. Apa yang dirasakan anak pada hari itu.
“Misal, nih, anak pulang sekolah, pertanyaannya jangan fokus pada prestasinya di sekolah. Kalau biasanya pertanyaannya ‘di sekolah bisa nggak belajarnya? Coba d ganti, dengan menyananyakan ‘bagaimana perasaan kamu hari ini, teman-teman di sekolah menyenangkan nggak?’. Pertanyaan seperti ini akan membuat anak perlahan terbuka pada kita orangtuanya,” papar dr. Santi.
dr. Santi juga menegaskan pentingnya orangtua menghindari komunikasi yang judgmental, karena cara ini justru membuat anak enggan bercerita dan malah mencari metode atau bahkan panutan lain untuk membuka diri.
2. Memaksa Anak untuk Memahami
Tanpa sadar, tak sedikit orangtua yang menyisipkan emosinya kepada orang lain ketika sedang marah pada anak. Ujung-ujungnya, orangtua lalu menekan anak agar berusaha memahami perasaan orangtua.
Contohnya, saat orangtua dihadapkan pada situasi anak susah makan. Alih-alih fokus pada penyebab makanan tidak disukai anak, orangtua malah meluaskan konteks pada segi yang lain. Misalnya dengan mengucapkan, “Kamu ini nggak paham, ya, susahnya mama sama ayah cari uang seperti apa?”.
Menurut dr. Santi, kebiasaan ini sedikit banyak akan menimbulkan persepsi lain dalam otak anak.
Stres yang dialami orangtua juga kerap dialihkan kepada anak yang sebenarnya belum ia mengerti. Contoh, orangtua jadi memperdebatkan pola asuh karena sifat anak yang dinilai tidak berkenan. Bukannya menurut, anak dapat berpikir mereka adalah seseorang yang buruk dan kehadirannya di dunia tidak diinginkan.
“Perlu diketahui, fase anak usia balita masih berpikir konkret, alias dia belum bisa menggambarkan perasaan secara utuh. Yang anak tahu itu sebatas baik dan buruk, enak dan tidak enak, senang atau tidak,” jelas dr.Santi.
Membiasakan diri memaksa anak mengerti akan berdampak negatif, sebut saja anak jadi tidak betah dan enggan tinggal dengan orangtua. Bahkan lebih parah, terbersit dalam benak anak untuk mengakhiri hidup.
“Penelitian menunjukkan, salah satu faktor yang membuat anak merasa tidak berguna adalah statement orangtua, anak merasa menjadi penyebab masalah sehingga memutuskan untuk bunuh diri,” tukas dr. Santi.
Artikel terkait: Marah pada Orangtua Cerminkan Anak Durhaka? Ini Pendapat Psikolog
3. Membandingkan dengan Anak Lain
Pernahkah Parents menjadikan si kecil objek perbandingan dengan anak seusianya? Terdengar sepele, nyatanya kebiasaan seperti ini dalam pola asuh keluarga bisa membuat si kecil depresi!
“Kebanyakan, nih, kasus yang saya hadapi membandingkan secara fisik. Memang maksudnya bercanda, tapi nggak ada yang tahu itu berbekas dalam hati anak. Daripada membandingkan secara fisik, coba ganti dengan perbandingan prestasi.
Contohnya dengan mengatakan, ‘Memang kamu anak mama matanya sipit, tapi kamu tuh lebih jago matematika, lho, daripada teman kamu yang matanya belo. Ajarkan anak untuk melihat sisi positif dirinya dengan mencintai kelebihan dalam dirinya, latih agar ia senantiasa bersyukur lahir ke dunia ini”, tegas dr. Santi.
Untuk itu, jika terdapat kondisi kala Parents ingin mengucapkan sesuatu atau ‘ngegas’ pada anak cobalah untuk mengatur tombol delay. Caranya, tarik napas mendalam sambil menghitung 1-10 sebelum melontarkan perkataan tertentu.
“Paling penting itu adalah kontak mata agar anak dapat mencerna apa yang dikatakan orangtuanya. Terapkan suara yang konstan, volume dan intonasinya jelas. Gunakan kalimat yang tegas dan tidak bertele-tele. Ingat, tegas itu gak sama dengan marah. Bukan berarti kalau membentak, anak akan menurut sama kita,” kata dr. Santi.
Lantas, adakah standar keberhasilan orangtua mendidik buah hati dengan baik?
“Coba dilihat dari bagaimana perilaku anak, perasaannya, dan pola berpikir. Apakah anak terlihat bahagia dan bisa menikmati kegiatannya sehari-hari? Apakah anak memiliki hobi, nafsu makannya normal, serta mampu mengekspresikan ide dan perasaannya dengan baik. Apabila anak bisa terbuka dan tidak segan bercerita pada orangtua, tandanya Parents sudah berhasil mengasuh anak dengan baik,” pungkas dr. Santi.
Menjadi orangtua merupakan tugas yang akan dilalui sepanjang hidup. Sayangnya, tidak ada sekolah untuk belajar menjadi orangtua yang baik. Meski begitu, bukan berarti tidak belajar dan memperbaikinya bukan? Dengan begitu, bisa membimbing dan menemani anak bertumbuh dengan baik.
Baca juga:
Bukan Berteriak! Ini Cara Marah yang Sehat pada Anak Tanpa Menimbulkan Trauma