Sungguh Terjadi: Aku Terpaksa Bercerai saat Putri Kembarku Baru Berusia 40 Hari

Berikut adalah cerita pengalaman dari seorang ibu yang menjadi single mother untuk kedua putri kembarnya.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Cerai saat anak masih bayi terlebih lagi kembar, tentu bukanlah keputusan hal yang mudah. Hal inilah yang diakui oleh Raydita, ibu muda yang akhirnya memutuskan untuk membesarkan kedua buah hatinya sebagai single mom. Setidaknya untuk saat ini. 

Sama seperti pasangan suami istri yang lainnya, saat memutuskan untuk menikah, Raydita dan suami pun memiliki harapan yang sama. Membangun dan membesarkan buah hati hati dan tumbuh bersama-sama. 

Nyatanya, impian memang tidak selamanya bisa berbanding lurus dengan kenyataan. Di tengah perjalanan, pernikahan kerap menemukan konflik. Bukan tidak ingin mempertahankan pernikahan, sebab, ketika itu Raydita telah mencoba berbagai cara untuk membantunya mencari akar dan menemukan solusi dari setiap masalah yang ditemuinya.   

Ketika rumah tangganya sudah terasa tak bisa diselamatkan lagi, Raydita memilih untuk pisah rumah ketika putri kembarnya baru berusia 40 hari.

Bukan tanpa perhitungan, segala tantangan dan risiko seperti munculnya stigma negatif terhadap single mom pun mulai muncul di benak kepalanya.  

Kepada theAsianparent, Raydita pun menceritakan apa yang membuatnya berani untuk terus melangkah. Menjalani hari-hari yang tidak akan sama lagi lantaran memutuskan untuk bercerai dan membesarkan anak kembar seorang diri. 

Artikel Terkait: 9 Langkah untuk Bantu Anak Hadapi Perceraian Orangtua

“Cerai Saat Anak Masih Bayi Tidak Mudah”

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

“Aku pisah rumah dari twins saat usia mereka masih 40 hari. Kalau mengurus cerainya memang ketika mereka masuk usia 6 bulan. Setelah pisah rumah sebenarnya aku masih mencoba untuk konsultasi kepada psikolog terlebih dahulu bersama mantan suami, tapi ternyata tidak ketemu jalan keluarnya. Akhirnya aku urus cerai,” paparnya di awal perbincangan dengan theAsianparent Indonesia.

Raydita melanjutkan, sama seperti saat menikah, bercerai menjadi salah satu keputusan terbesar dalam hidupnya. Lebih-lebih, ada dua orang anak yang menjadi buah cinta pernikahan bersama sang suami.

Diakui olehnya, satu hal yang menjadi alasannya memutuskan untuk bercerai ketika anak masih bayi adalah dirinya tak merasa bahagia dalam pernikahannya tersebut.

“Kalau bertahan (menikah) aku nggak happy. Aku nggak happy, jadi ASI seret, dan aku juga berpikir bagaimana aku mau mengasuh anak agar tetap happy kalau aku sendiri tidak bahagia?” tukas perempuan yang kini berprofesi sebagai beauty influencer. 

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

“Dengan segala pertimbangan, ya sudah. Akhirnya aku memutuskan untuk bercerai. Toh, bercerai menurut aku bukan akhir dari segalanya,” lanjutnya.

Raydita sadar, jika ia terus memaksa diri untuk memertahankan rumah tangga, ia dan pasangan bisa terjebak dalam kondisi pernikahan yang tidak sehat. Jika hal ini terjadi, tentu akan memengaruhi tumbuh kembang anak kembarnya.

Sebelum bercerai, mencari bantuan dari profesional seperti konselor atau psikolog pun dilakukan. Raydita mengingatkan, bagi pasangan suami istri yang tengah menghadapi kemelut rumah tangga memang membutuhkan tenaga profesional untuk mengambil keputusan bercerai.

“Jalan pertama sebenarnya tentu saja komunikasi lebih dulu dengan pasangan. Tapi dari pengalamanku, sih, memang agak susah kalau tanpa mediator. Nah kalau mau ada mediator sebaiknya yang professional jadi tidak ada keberpihakan atau berat sebelah,” sarannya.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Harus Memikirkan Dampak Perceraian untuk Anak

Di tengah segala permasalahan yang dihadapi dalam pernikahannya, satu hal yang terus dipikirkan Raydita adalah mencari cara bagaimana kedua buah hatinya bisa tetap tumbuh secara maksimal. Ia tak ingin putri kembarnya merasakan dampak buruk atas keputusan orangtuanya untuk berpisah.

Untuk mengantisipasi hal tersebut, ia juga sempat berkonsultasi dengan psikolog anak.

“Memang sebelumnya aku sempat bahas sedikit (tentang dampak untuk anak) ketika melakukan konseling pernikahan. Setelah cerai aku konsul lagi ke psikolog spesialis anak, dan sampai sekarang kadang masih suka konsultasi,” ungkapnya.

Karena bercerai di usia anak yang masih sangat kecil, ia berpikir bahwa mereka masih belum bisa mengerti akan keadaan pernikahan orangtuanya. Untuk saat ini Raydita menekankan bahwa dirinya hanya ingin fokus pada situasi sekarang saja, sementara untuk dampak jangka panjang ia masih melihat perkembangan buah hatinya di bawah pengawasan psikolog.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Artikel Terkait: 9 Dampak Perceraian Terhadap Psikologis Anak yang Perlu Diwaspadai Orangtua

Menjalani Co-Parenting Bersama Mantan Suami

Meski bercerai, Raydita tetap melibatkan mantan suami dalam pengasuhan putri-putrinya dengan cara menjalani co-parenting.

Sebelum pandemi, ia masih menjadwalkan si kembar untuk bertemu dengan ayahnya satu minggu sekali. Berhubung keadaan masih belum kondusif, co-parenting Raydita saat pandemi ini sebatas kirim video dan mengusahakan komunikasi tetap baik-baik saja.

“Ini (co-parenting) nggak langsung setelah cerai, sih. Komunikasinya berproses. Tapi, ya, untuk sekarang kita in good terms, co-parenting sebisa kita,” ungkapnya.

Sebelum menikah, Raydita dan mantan suami adalah teman dari kecil. Hubungan erat antara kedua keluarga mereka yang dibina berpuluh-puluh tahun pun berpengaruh baik terhadap lancarnya komunikasi mereka sekarang pascaperceraian.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Si kembar tinggal bersama Raydita dan keluarganya. Meski tinggal terpisah dengan ayah kandungnya, Raydita tetap mengusahakan agar putri-putrinya mendapatkan figur ayah dari ayahnya atau kakek mereka.

Tinggal bersama orangtua juga menjadi tantangan tersendiri baginya. Pola asuh orangtua terkadang bisa saja bentrok dengan pola asuh kakek dan nenek.

“Untungnya mama papaku kalau ada apa-apa tanya atau minta persetujuan dari aku. Kadang nggak tega juga mereka, tapi kita semua sepakat satu suara supaya twins nggak bingung.” 

Artikel Terkait: Perceraian: After the Love Has Gone

Hidup Sebagai Single Mother

Menghadapi perceraian, Raydita menyarankan untuk mencari support system yang baik. Salah satu cara yang dilakukannya adalah bergabung di komunitas Single Mom Indonesia. Di sana, ia mendapat banyak informasi dan pelajaran mengenai kehidupan seorang ibu tunggal.

“Tantangan terbesarnya (jadi single mother) lebih dari sisi psikologis saja, misalnya dikomentari orang. Walaupun aku berusaha cuek dan bodo amat, tapi kadang kuping panas saja kalau lagi tidak mood,” ujarnya sambil tertawa.

Bagi Raydita, menjadi single mother bukan berarti tak bisa bahagia. Perempuan berkulit putih ini pun berpesan, jika menjadi seorang ibu tunggal, hal yang paling utama untuk dilakukan adalah membuang jauh-jauh ego.

“Untuk single moms, fokus cari uang dan bahagia sama anak saja. Nggak usah jelek-jelekin mantan, biar nantinya anak yang menilai sendiri. Single itu hanya status, bagaimana kita bersikap, berkata, dan berbuat itu yang menunjukkan siapa kita,” tukas perempuan berusia 30 tahun itu memberikan saran.

Ia menambahkan, saat menyandang status sebagai single mom memang tidak usah ambil pusing dengan perkataan orang lain. Tentu tidak mudah untuk dilakukan, sehingga sah-sah saja baginya untuk seorang single mother merasa sedih atau kecewa.

“Tahu kok (menjadi omongan orang) itu tidak semudah itu. Boleh saja bersedih atau kecewa, tapi kalau bisa cepet bangkit lagi untuk diri sendiri dan anak,” tutupnya.

Perpisaan memang bukan sebuah hal yang mudah, lebih-lebih cerai saat anak masih bayi. Perlu berbagai pertimbangan sebelum mengambil keputusan, terutama memikirkan yang terbaik untuk buah hati. 

Baca Juga:

6 Cara Jelaskan Perceraian pada Anak

3 Cara agar tegar menghadapi perceraian dan bisa melanjutkan hidup

Berbeda Sesuai Kondisi Pasangan, Begini 5 Hukum Perceraian dalam Islam