Mengajari anak untuk tidak memukul atau menyakiti temannya adalah bentuk cegah bullying sejak dini. Sayangnya, banyak orangtua membiarkan perbuatan anak hanya karena usianya masih kecil.
Balita biasanya belum memahami bahwa tindakannya memukul anak lain akan menyakiti anak tersebut. Kewajiban orangtua adalah mengingatkan anak bahwa perbuatannya salah agar tidak berkembang menjadi perilaku bullying.
Baca juga: Bullying di Sekolah – Bagaimana Sebaiknya Orangtua Bersikap?
Mengajari anak cegah bullying harus dilakukan sedini mungkin. Seorang ibu bernama Risna Nilam menuliskan kegelisahannya mengenai bullying lewat sebuah status Facebook.
Perasaan saya campur aduk anak perempuan saya (2 tahun 4 bulan) yang mencoba ramah dan menyapa, dikasari dengan cara dipukul, didorong dan berkali-kali mau dijadikan sasaran tendangan oleh anak laki-laki usia sekitar 3-4 tahun di rumah kerabat saya sendiri.
Saya tidak memperkarakan anak laki-laki atau perempuan di sini. Tapi perilaku anaknya, dan sikap ibu dari anak tersebut khususnya. Saya marah, tentu saja bu. Menurut akal sehat saya ya saya memang harus marah.
Saya marah sama anak itu? No.
Saya marah sama ibunya yang terlalu cuek dan “biasa” saja melihat perilaku anaknya. Bahkan cenderung membiarkan dan tidak segera menegur atau melakukan solusi cepat supaya anaknya tidak berulang-ulang mengasari anak saya.
Pada saat pertama kali saya lihat anak laki-laki ini berlari ke arah Sabina sambil mengepalkan tangan mencoba memukul badan Sabina. Saya otomatis melindungi Sabina dengan badan saya untuk menghindar, dengan mengeluarkan kalimat “eh jangan ya mas, nanti sakit adeknya.”
Kedua, anak ini mulai mendekati Sabina tapi kemudian tiba-tiba mendorong badan Sabina, saya mulai was-was dan meminta Sabina untuk berada di dekat saya saja.
Ketiga, anak ini tiba-tiba meninju paha kanan Sabina lumayan kencang sampai saya akhirnya menegur ibunya, “Bu anaknya tolong dijaga”. Barulah si ibu yang cuek ini merespon dengan memanggil manggil nama anaknya.
Keempat, Sabina tidur-tiduran di dekat saya sambil bermanja-manja, mendadak anak tadi lari cepat dengan posisi mau menginjak dan menendang kepala Sabina. Alhamdulillah saya masih reflek dan cukup cepat menarik badan dan melindungi kepala Sabina.
Kesal?
Sudah diubun-ubun nahan emosinya bu.
Solusinya?
Saya langsung berdiri dan mengajak pulang eyang-eyang dan tantenya Sabina saat itu juga kemudian pamit ke tuan rumah yang sudah sangat tidak enak dengan saya karena melihat kejadian-kejadian tadi, dan bahkan ikut cerewet mengingatkan ibu dari anak itu.
Selesai?
Belum Bu.. Ketika berpamitan, baru kemudian ibu dari anak tadi mendadak bisa bicara. (Ya, dari tadi si ibu memang cuma memandang saya dengan judes, tapi membisu)
“Mba maaf ya tadi anak saya…”
Reflek saya tentu saja menjawab dan mengingatkan, “maaf juga ya bu, tapi tolong dijaga anaknya, kalau ibu anaknya dipukul juga pasti perasaannya gimana kan..”
Dan ternyata keluarlah jurus berkilah tanpa rasa bersalah dari ibu ini. Dia bilang, “ya namanya juga anak anak bu,” sambil agak tertawa dan memalingkan muka dari saya.
Emosi?
Justru kalimat sederhana nan sepele ini yg menyulut perang Mahabarata buat saya. “ANAKNYA GAK NGERTI BU. TAPI IBU NYA KAN UDAH TUA YA, YANG UDAH PAHAM DAN HARUSNYA NGASIH TAU. GIMANA SIH BU KOK GAK TAU ATURAN!”
Ya memang saya langsung meninggikan intonasi dan keras. Sungguh saya sangat tersinggung dan mau lempar batako ke ibu ini.
Sudah emosi, melotot siap nerima jawaban receh si ibu ini. Eh si ibu yg terlihat judes ini ternyata “melipir alus” dengan hanya melirik sekilas ke saya dan berlari mengejar anaknya yang sebetulnya gak kemana-mana juga di ambang pintu. Ya sudah. Mungkin beliau sudah biasa lari dari kenyataan dan gak nyangka muka sekalem saya bisa ngamuk.
Ibu Risna Nilam dan anaknya, Sabina.
Jadi…
Saya sangat paham anak-anak khususnya di usia batita dan balita sangat butuh eksplorasi, kebebasan, dan pengalaman untuk keperluan perkembangan mental dan fisiknya. Sungguh saya sangat paham bu..
Tapi kalau boleh saya mengingatkan dan harus saya ingatkan, semuanya itu butuh pengawasan orang dewasa. Dewasa dan bijak ya, bukan dewasa dan pendiam, polos sampai terlihat kebodohannya.
Kepada para ibu yang sering atau sudah biasa “membela” anak batita, balita atau umur berapa pun kesayangannya dengan kalimat “YA NAMANYA JUGA ANAK-ANAK BU” padahal anak ibu melakukan sesuatu yang merugikan orang lain.
Ketika anak ibu “suka” atau “sering” memukul menendang dan menyakiti anak orang lain berulang-ulang. Apakah ibu tidak merasa bersalah dan malu?
Tolong bu. Jangan selalu dan terlalu memaklumi sikap kasar anak ibu kepada teman sebayanya. Tolong bu. Ingatkan anak ibu hal yang benar dan yang salah.
Tolong bu. Jangan biarkan sikap tersebut karena sudah biasa kemudian menjadi “benar” dibenak anak ibu. Tolong bu. Kalau ibu menganggap anak ibu sangat BERHARGA, begitu pun saya dan ibu ibu lainnya kepada anaknya.
***maafkan postingan panjang berisi curhat ibu-ibu dua anak ini.. Ini semua gara-gara ditanyain Facebook di kolom status
“What’s on your mind?”. Kemudian baper.
Pengalaman hari ini membuat saya menetapkan hati untuk menawari Sabina les Aikido kalau sudah bisa disuruh milih nanti.
#basmibullyingsejakdini #stopbullyingsejakdini
Postingan tersebut dibagikan oleh lebih dari 19 ribu akun dan sejak tulisan ini diterbitkan angkanya mencapai empat ribuan komentar. Kebanyakan komentar yang masuk adalah setuju dengan curahan hati ibu tersebut untuk cegah bullying sejak dini.
Himma Mulkiy, seorang ibu rumah tangga juga mengalami hal yang sama. Ia bercerita bahwa anaknya seringkali menjadi korban bullying yang dilakukan oleh sepupu maupun anak tetangga yang lain.
Padahal, baik yang dibully maupun membully sama-sama berusia di bawah 5 tahun.
“Ibunya yang suka bully anak saya diam saja kalau anaknya memukul kepala anak yang lain. Sampai-sampai saya kepikiran untuk meminta anak saya untuk memukul balik saja. Tapi sejauh ini baru saya minta anak saya menghindar sambil mengingatkan si anak yang bully anak saya,” tutur ibu yang tinggal di Bekasi ini.
Sedini mungkin, ada baiknya orangtua cegah bullying yang dilakukan oleh anak. Karena itu akan menjadi kebiasaan anak dan anak akan mulai berpikir bahwa bullying adalah hal biasa.
Selain itu, memaklumi perilaku anak yang menyakiti orang lain akan membuatnya mulai menikmati aksinya. Apalagi jika ia terbiasa melihat tayangan kekerasan di media maupun justru melihat orang sekitarnya melakukan hal tersebut.
Jadi, jika Anda melihat anak Anda melakukan bullying, katakan pada mereka untuk menghentikan perbuatan tersebut sambil memberikan pengertian bahwa kita harus jadi penyebar kasih sayang.
Mari cegah bullying sekarang juga!
Baca juga:
9 Strategi Mengajari Anak Membela Diri saat Menghadapi Bullying (Perundungan)
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.