Catatan anak broken home
Bila pasangan selebritas Gading Marten dan Gisella Anastasia benar-benar bercerai, bagaimana nasib putri tunggal mereka, Gempita Nora Marten, kelak? Bagaimana rasanya tumbuh dewasa dalam posisi sebagai anak broken home?
Itulah yang dikhawatirkan netizen begitu informasi gugatan cerai yang dilayangkan Gisella Anastasia kepada Gading Marten mengemuka. Di hari yang sama dengan meledaknya berita rencana perceraian Gading-Gisel, tagar #savegempi merajai trending topic di media sosial Twitter.
Artikel terkait: Viral tagar #savegempi, ini doa Gempi untuk orang tuanya
Lewat tagar tersebut, netizen mengirimkan doa-doa kepada gadis cilik berusia 3 tahun itu agar bisa tetap kuat dan bahagia. Netizen memandang, retaknya pernikahan Gading dan Gisel akan menjadi awal penderitaan bagi Gempi, panggilan Gempita, yang terancam menjadi anak broken home.
Seberapa besar kemungkinan sebuah perceraian bisa merusak masa kecil anak? Benarkah semua anak broken home memanggul trauma seumur hidup mereka?
Membayangkan nasib Gempi berdasarkan catatan anak broken home
Dilan, 31 tahun, masih duduk di kelas 3 sekolah dasar ketika orang tuanya berpisah. Ia anak bontot dari 3 bersaudara, satu-satunya anak laki-laki. Apa yang ia rasakan setelah perceraian orang tuanya, itu adalah trauma dan dendam berkepanjangan.
Kedua orang tuanya tak pernah menjelaskan bahwa mereka bercerai, pun alasan mereka bercerai. Dilan hanya bisa menyimpulkan ketika ayahnya angkat kaki dari rumah. Ia tak pernah berani bertanya mengapa orang tuanya harus berpisah, bahkan hingga kini setelah usianya menginjak kepala tiga.
Sebelum ayahnya pergi, ia sudah sering meyaksikan pertengkaran. Ia masih bisa ingat, seberapa destruktif pertengkaran itu, bahkan suatu kali ayahnya sampai melempar asbak ke arah ibunya. Belakangan ia tahu, ayahnya telah menikah lagi sebelum bercerai dari ibunya.
“Aku nggak sedih pas mereka cerai. Aku cuma merasa takut berada di antara mereka berdua,” jelasnya.
Tak ada penjelasan, tak ada permintaan maaf, dan kemudian menyusul: tak ada kasih sayang yang cukup dari orang tua. Semakin ia beranjak besar, tumbuh rasa marah di dalam diri Dilan. “Aku menganggap orang tuaku ada hanya untuk ngasih uang,” katanya.
Hal paling utama yang membuatnya marah adalah kedua orang tuanya tak pernah berani duduk di hadapannya untuk meminta maaf. Padahal ia merasa, pertengkaran yang disertai kekerasan dan perceraian itu telah merusak masa kecilnya.
“Mungkin kalau ortu berusaha mengomunikasikan perceraian mereka ke anak dengan baik-baik, efeknya nggak bakal setraumatis yang aku dan kakak-kakakku alami,” kata Dilan.
Catatan anak broken home: Trauma perceraian dan KDRT tak pernah bisa hilang
Catatan anak broken home ini menjadi pengingat bagi para orangtua bahwa tindakan orang dewasa berpengaruh pada masa kecil anak.
Dilan menyaksikan, kemarahan yang besar juga datang dari kakak pertamanya. Ia sudah duduk di bangku SMA saat itu. Sempat hidup ugal-ugalan, sekolahnya berantakan, suka melawan orang tua, dan sekali waktu minggat dari rumah.
Bahkan hingga kini, kata Dilan, kakak pertamanya selalu menjadi orang yang paling keras terhadap ayah mereka. Padahal, sudah sejak beberapa tahun lalu mereka memperbaiki hubungan dengan keluarga baru ayahnya.
Kebencian Dilan kepada orang tuanya baru memudar ketika ia menginjak usia pertengahan 20-an. Ia merasa, memaafkan adalah satu-satunya yang bisa ia lakukan. Toh, perceraian itu sudah terjadi.
Bagaimanapun, trauma perceraian yang diwarnai kekerasan dalam rumah tangga masih membekas. Ia tumbuh menjadi pribadi yang keras, punya kecenderungan mengulangi kekerasan yang sama, dan takut pada pernikahan.
“Aku yakin, buat semua anak broken home, pengalaman melihat KDRT itu nggak mungkin hilang,” ujarnya lagi.
Menghadapi perceraian orang tua di usia sangat muda juga membuatnya nyaris tak punya memori dari masa kecil tentang kebersamaan keluarga. Ia hanya punya satu kenangan: acara makan bersama saat tahun baru di restoran prasmanan. Beberapa menit sebelum tanggal berganti, ia tengah mengantre makanan. Tepat saat gilirannya tiba, tahun berganti, lampu dimatikan. Ia kaget sampai-sampai menjatuhkan piringnya.
Hanya itu kenangan yang tersisa.
Kelak, jika ia menikah dan mengalami kemungkinan terburuk harus bercerai, ia meyakini satu hal: ia harus menjelaskan perceraian itu kepada anaknya.
Catatan anak broken home: “Perceraian sebagai jalan terbaik” bukan sesuatu yang tidak mungkin
Catatan anak broken home: “Aku nggak sedih pas mereka cerai. Aku cuma merasa takut berada di antara mereka berdua”
Melihat kasus Dilan, trauma perceraian sebenarnya bukan datang dari perceraian itu sendiri, melainkan karena pertengkaran orang tua dan KDRT yang ia saksikan. Selain itu, juga karena sikap orang tua kepada anak setelah perceraian.
Sebenarnya, perceraian bukan hal buruk dan justru bisa menyelamatkan keluarga. Apabila hubungan suami istri justru semakin tidak bahagia ketika dipaksakan bersama, ayah dan ibu yang stres justru membuat psikologi anak terganggu.
Apabila ayah dan ibu bisa mengelola proses perceraian dengan tenang, anak mendapat pengertian yang cukup atas pilihan itu, dan ada kesepakatan baik-baik tentang pengelolaan waktu bersama anak pasca-perceraian, bisa dibilang bercerai justru lebih baik daripada mempertahankan rumah tangga yang situasinya menyerupai neraka.
Tak perlu menyesali pasangan yang tampak bahagia seperti Gading dan Gisel harus bercerai. Bisa jadi, itulah yang terbaik untuk keduanya dan putri mereka Gempi saat ini dan seterusnya.
Baca juga:
Azka jadi lulusan terbaik, Deddy Corbuzier: "Siapa bilang anak broken home pasti rusak?"
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.