Belum lama, jagat hiburan dihebohkan dengan kisah aktor Hollywood Johnny Depp yang menjadi korban cancel culture. Hal ini menyebabkan ia terjun bebas dalam industri film yang membesarkan namanya.
Cerita Johnny Depp Alami Cancel Culture
Mengutip berbagai sumber, Johnny berbicara bagaimana kejadian cancel culture menjadi sebab kejatuhannya dalam industri film.
“Ini merupakan situasi yang kompleks karena dapat dilihat sebagian peristiwa dalam sejarah yang berlangsung selama ini, cancel culture, atau menilai seseorang dengan terburu-buru pada dasarnya berakibat tidak baik,” singgung Johnny Depp.
Kisah bermula ketika aktor ini mengalami pemboikotan oleh publik berkat tudingannya sebagai pelaku kekerasan seksual terhadap mantan istrinya, Amber Heard. Tuduhan ini muncul bersamaan dengan konflik perceraiannya yang sempat menghebohkan dunia.
Media Inggris, The Sun, bahkan menjulukinya sebagai wife beater alias pemukul istri dalam berbagai pemberitaan. Bintang Pirates of the Caribbean ini sempat mengajukan gugatan pencemaran nama baik atas istilah itu pada November 2020.
Artikel terkait: Apa Itu Cyberstalking? Ini Pengertian dan Cara Menghindarinya
Akan tetapi, ia harus merasakan kepahitan karena hakim memutuskan bahwa kata-kata itu “secara substansial benar.” Akibat sederetan skandal tersebut, popularitasnya menurun drastis dan film terbarunya kala itu, Minamata, sulit rilis di jaringan bioskop Amerika Serikat.
Ayah Lily Rose Depp ini juga kehilangan peran dalam sejumlah proyek mega termasuk franchise Fantastic Beasts, di mana seharusnya ia berperan sebagai Gerald Grindewald. Padahal, Johnny termasuk dalam salah satu aktor terbesar Hollywood saat ini.
Lewat berbagai peran uniknya, filmnya selalu sukses besar di pasaran dan sukses mendulang uang dalam jumlah fantastis. Mirisnya, media sosial membuktikan nama besar dirinya bahkan tidak bisa melindunginya dari fenomena ini.
“Saya katakan lagi kepada Anda bahwa tidak ada yang aman (dari cancel culture). Tidak satu pun dari Anda, tidak ada orang di luar pintu itu. Tidak ada yang aman, selama seseorang mampu mengucapkan satu kalimat,” terangnya.
Artikel terkait: Mengenal Basorexia, Keinginan Mendadak untuk Berciuman, Apakah Normal?
Marak di Barat, Bagaimana dengan Indonesia?
Bagi yang belum tahu, cancel culture merupakan bentuk boikot terhadap seseorang yang dikenal publik. Fenomena ini terjadi ketika tanpa sengaja publik figur tersebut melakukan kesalahan yang tidak bisa diterima, sehingga membuat mereka akhirnya ‘dienyahkan’ dari lingkup media sosial.
Kesalahan yang dimaksud mencakup mengutarakan pendapat yang rasis/seksis/homophobia/transfobik/xenofobik atau yang dianggap bermasalah lainnya oleh penduduk di dunia maya.
Hal ini juga bisa menyasar seseorang ketika tidak sengaja mengunggah sesuatu di media sosial lalu memicu reaksi. Beberapa tahun terakhir, fenomena ini siapa sangka marak menyasar figur publik Amerika Serikat.
Selain Johnny Depp, budaya cancel turut menyerang produser Hollywood kawakan Harvey Weinstein setelah pengungkapan kasus pelecehan seksual. Penulis novel kawakan J.K. Rowling merasakan hal serupa karena salah satu komentarnya yang dinilai transfobia alias menjatuhkan kaum transgender.
Mengutip laman VOA Indonesia, peneliti komunikasi sosial dan budaya Universitas Indonesia Devie Rahmawati beropini sendiri. Cancel culture adalah upaya untuk memotret, mempertontonkan, melabel, dan mempermalukan orang tersebut di hadapan publik melalui medium teknologi media sosial.
Artikel terkait: Mengulik Lebih Dalam Sosiopat dan Perbedaannya dengan Psikopat
Cancel Culture di Indonesia
Lantas, bagaimana dengan di Indonesia? Nyatanya, budaya ini mulai bermunculan. Sebut saja upaya masyarakat memboikot Ayu Ting Ting karena komentar salah satu haters, juga boikot Saipul Jamil akibat pelecehan seksual yang menimpa dirinya.
Guru Besar Sosiologi Universitas Gadjah Mada Sunyoto Usman, menyebut cancel culture di Indonesia sejauh ini masih merupakan fenomena urban, karena hanya melibatkan masyarakat dengan akses dan literasi digital mumpuni.
Catatan mesin analisa “Google Trends” menggambarkan istilah cancel culture baru mulai populer di Indonesia pada awal Agustus 2019 dan terkonsentrasi di Pulau Jawa. Istilah itu masih kalah populer dibandingkan istilah ‘boikot’ yang sebenarnya memiliki pemahaman serupa.
Lebih lanjut, Devie memaparkan bahwa dampak negatif sejatinya lebih dirasakan oleh masyarakat biasa ketimbang figur yang menjadi sasaran. Pasalnya, ketika fenomena ini menyerang seorang tokoh tidak lantas membuat tokoh tersebut berhenti berkarya.
Bisa jadi, karya sang selebritas semakin dikenal dan dinikmati publik yang sebelumnya tidak mengetahui. Sebaliknya, kalangan biasa yang terkena imbasnya bahkan bisa berurusan dengan hukum.
Parents, semoga informasi terkait cancel culture ini membuka wawasan dan lebih bijaklah dalam bermedia sosial.
Baca juga:
Mengenal Intermittent Explosive Disorder, Ledakan Amarah yang Bisa Picu Konflik
People Pleaser: Penyebab, Tanda, & Cara Berani Bilang "Tidak"
Mengenal Istilah Phubbing, Saat Seseorang Lebih Fokus pada Ponsel daripada Orang Sekitar