Kasus cacing dalam kaleng sarden terus menuai kehebohan. Apalagi pemerintah juga menarik 27 merk ikan kalengan yang positif mengandung cacing, baik produk impor maupun produk dalam negeri.
Tentu saja hal ini berimbas pada menurunnya penjualan sarden. Perlukah kita berhenti membeli ikan kalengan atau bahkan membuang sarden yang sudah terlanjur dibeli?
Dokter Handrawan Nadesul menuliskan pendapatnya terkait hebohnya cacing dalam kaleng sarden.
Bagaimana menanggapi kasus cacing dalam kaleng sarden
Kami mengutip apa yang dituliskan oleh dokter Handrawan di akun Facebook-nya.
GEGER IKAN SARDEN, BAGAIMANA SIKAP KITA?
Geger ikan kalengan sarden bikin panik karena ungkapan ada cacing. Istilah cacing ini menimbulkan rasa takut dan jijik, tentu sebagai sesuatu yang dibayangkan awam membahayakan tubuh.
Apa siapa bagaimana sesungguhnya ihwal cacing dalam sarden ini?
Ikan kalengan awalnya hanya terbuat dari jenis ikan sarden, ikan berukuran lebih kecil. Namun kemudian berkembang menjadi jenis ikan lebih besar, salah satunya mackarel.
Apapun jenis ikannya, kalengan ikan tetap disebut ikan sarden.
Yang disebut cacing dalam ikan mackarel itu memang betul salah satu parasit pada ikan yang bisa menginfeksi manusia. Namanya anisakis.
Seperti parasit lain yang bersifat zoonosis (infeksi dari hewan yang bisa menulari manusia), anisakis melewati siklus hidupnya dari ikan laut, khususnya ikan karnivora yang memangsa ikan kecil, udang, dan cumi.
Bagaimana penularan cacing dalam kaleng sarden terhadap manusia?
Siklus hidup cacing anisakis melalui beberapa tahapan, dan tahap akhirnya menjadi larva pada tubuh ikan pemangsa. Di dalam tubuh ikan pemangsa, selain ikan mackarel, sering ditemukan pada ikan selar dan tenggiri.
Dalam tubuh ikan inilah larva kemudian lahir menjadi cacing dewasa, yang tidak hanya dalam pencernaan ikan bermukimnya, melainkan bisa menembus memasuki daging ikan juga. Maka, cacing dewasa anisakis ditemui dalam daging ikan juga.
Manusia tertular cacing anisakis apabila menelan ikan yang positif mengandung cacing anisakis dalam keadaan hidup. Dan itu terjadi kalau mengonsumsi mentah atau memasaknya setengah matang.
Tidak terinfeksi apabila ikan sudah diproses pemanasan di atas sekurangnya 70 derajat Celcius atau pendinginan minus 20 derajat Celcius.
Kita tahu proses pengalengan ikan apapun sudah lebih dari 120 derajat Celcius, selain pada waktu pemancingan disimpan dalam suhu rendah. Mestinya, sekalipun ada ikan yang positif bercacing anisakis, cacing sudah tewas.
Waspadai ikan mentah atau yang tidak diolah hingga matang
Menelan cacing tewas sama halnya seperti kita menelan ulat dalam petai atau pada kangkung atau sayur mayur yang tanpa kita sadari. Atau sama saja menelan goreng jangkrik, belalang, atau menelan ulat sagu mentah.
Tidak ada makna penyakit, melainkan alasan jijik dan estetika belaka. Sama sekali tidak mengganggu kesehatan.
Dan kalau Menteri Kesehatan bilang menelan cacing anisakis mati hanya menambah asupan protein dari cacing, tidak perlu dicemooh atau kita jadi nyinyir. Maksudnya agar masyarakat tidak panik dan beranggapan tidak menjadi soal sekalipun sudah menelan cacing anisakis yang sudah almarhum.
Ini posisi ilmiahnya. Sesungguhnya lebih penting kita mewaspadai kalau mengolah sendiri ikan selar dan tenggiri, dan tentu jenis mackarel.
Kebiasaan makan ikan mentah jauh lebih berisiko ketimbang kalengan sarden yang cacingnya sudah tidak berpotensi bikin penyakit.
Adapun penyakit yang ditimbulkan oleh cacing anisakis disebut anisakiasis yang berwujud reaksi alergi ringan berupa gatal-gatal sampai yang berat reaksi anaphylactic shock, sebagai salah satu gejala yang lebih dikenal sebagai keracunan ikan laut.
Salam sehat,
Dokter Handrawan Nadesul
Apa yang dituliskan oleh dokter Handrawan ini menjelaskan bahwa cacing dalam kaleng sarden tidaklah berbahaya. Tetapi agar aman, pastikan ikan yang Anda makan telah dimasak dengan matang.
Untuk pencegahan, Anda bisa mengonsumsi obat cacing setiap 6 bulan sekali.
Baca juga:
Heboh sarden bercacing, kata dokter: "Itu bukan cacing pita"
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.