Kasus bullying karyawan KPI ramai dibicarakan publik setelah laki-laki berinisial MS menyampaikan pengakuannya melalui surat terbuka untuk Presiden Jokowi.
Dalam surat terbuka tersebut ia yang merupakan karyawan KPI menceritakan, selama 2 tahun sepanjang 2012-2014, ia dibully dan dipaksa untuk membelikan makan, dilecehkan, dipukul, dimaki, dan dirundung oleh rekan kerjanya.
“Tahun 2015, mereka beramai ramai memegangi kepala, tangan, kaki, menelanjangi, memiting, melecehkan saya dengan mencorat coret buah zakar saya memakai spidol. Kejadian itu membuat saya trauma dan kehilangan kestabilan emosi,” tulis MS.
MS mengaku pada 11 Agustus 2017, korban mengadukan kekerasan seksual dan penindasan tersebut ke Komnas HAM melalui email.
Namun, Komnas HAM membalas dan menyimpulkan apa yang ia alami sebagai kejahatan atau tindak pidana. Korban diarahkan membuat laporan polisi.
Korban pelecehan seksual dan bullying itu akhirnya melaporkan apa yang menimpanya ke Polsek Gambir pada 2019. Namun respons polisi tak sesuai dengan harapannya.
“Saya ingin penyelesaian hukum, makanya saya lapor polisi. Tapi kenapa laporan saya tidak di-BAP? Kenapa pelaku tak diperiksa?” keluhnya.
Para pelaku bullying dan pelecehan seksual terhadap korban MS di KPI pusat itu adalah sama-sama pria. Bagaimana kasus bullying orang-orang dewasa seperti kasus MS itu bisa terjadi, apa penyebabnya, dan bagaimana cara kita mendidik anak agar tidak menjadi pelaku atau juga korban bullying, berikut kita simak pendapat dari beberapa psikolog.
Artikel terkait: Bullying di Sekolah
Kasus bullying karyawan KPI dan dampaknya bagi korban MS
Dalam surat terbukanya tersebut, MS mengaku pelecehan seksual dan perundungan tersebut mengubah telah pola mentalnya, menjadikannya stres, hina, hingga trauma berat.
“Kadang di tengah malam, saya teriak teriak sendiri seperti orang gila. Penelanjangan dan pelecehan itu begitu membekas, diriku tak sama lagi usai kejadian itu, rasanya saya tidak ada harganya lagi sebagai manusia, sebagai pria, sebagai suami, sebagai kepala rumah tangga. Mereka berhasil meruntuhkan kepercayaan diri saya sebagai manusia,” tulis MS.
MS juga menceritakan pada tahun 2016, karena stres berkepanjangan, ia jadi sering jatuh sakit. Keluarganya sedih karena ia sering tiba tiba gebrak meja tanpa alasan dan berteriak tanpa sebab.
“Saat ingat pelecehan tersebut, emosi saya tak stabil, makin lama perut terasa sakit, badan saya mengalami penurunan fungsi tubuh, gangguan kesehatan,” tutur MS.
Hingga 8 Juli 2017, MS akhirnya memeriksakan diri ke Rumah Sakit PELNI untuk Endoskopi. Hasilnya, ia mengalami Hipersekresi Cairan Lambung akibat trauma dan stres.
Apa dampak bullying selama bertahun-tahun dari sudut pandang psikolog?
Novita Tandry, seorang psikolog anak, remaja dan keluarga turut merespons terkait kasus bullying karyawan KPI Pusat tersebut.
Kepada theAsianparent ia menyampaikan dampak bullying yang dilakukan dalam waktu lama itu pada akhirnya akan sangat berpengaruh ke fisik atau tubuh korban.
“Akan berpengaruh ke ‘soma’, raga, tubuh juga. Yang kedua, korban akan kena yang dinamakan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD), bisa dilihat dari trauma-trauma yang dia hadapi, kondisinya yang tidak bisa tidur, tidak bisa konsentrasi, dihantui bertahun-tahun,” jelas Novita Tandry.
Sementara itu, praktisi psikolog Toetiek Septriasih juga menyampaikan bahwa korban bullying memiliki peluang lebih besar sebagai pelaku bully. Korban berpeluang mengulangi ritme kekerasan tersebut.
Selain itu, kemungkinan dampak selanjutnya adalah memiliki gangguan kejiwaan yang serius, karena mentalnya rusak.
“Kasus yang banyak saya temui adalah depresi berat. Dan dampak yang paling bahaya adalah bunuh diri,” tutur perempuan yang dikenal dengan panggilan Jeng Toet ini.
Dampak bullying jangka panjang yang bisa terjadi pada korban:
- Konsep diri menjadi negatif
- Kecemasan, takut dengan suasana baru
- Menutup diri dari pergaulan
- Depresi
- Bunuh diri
- Menjadi pelaku bullying(tidak semua).
Artikel terkait: Dampak Bullying pada anak yang harus diwaspadai orangtua!
Tak hanya remaja yang kerap terlibat bullying, dewasa juga, mengapa?
Dalam surat terbuka kasus bullying di KPI itu, MS bercerita selama bertahun-tahun ia dibully oleh rekan kerjanya, padahal kedudukan mereka setara.
Dari kasus bullying di KPI ini kita bisa lihat bahwa kekerasan dan perundungan bisa juga terjadi pada orang dewasa, bukan hanya pada anak-anak atau remaja.
Ketika orang sudah menginjak masa dewasa, mestinya orang menjadi semakin sabar dan bijak. Namun, kenapa orang dewasa juga masih punya nafsu untuk merisak orang lain?
Novita Tandry menyampaikan bahwa ketika seseorang sudah punya ‘kenikmatan’ merundung orang lain dari kecil, akan sulit sekali dirubah karakter tersebut bahkan saat ia telah dewasa.
“Pada saat seseorang diberikan kekuasaan (untuk merundung), akhirnya kebablasan, dan malah terus menikmatinya,” jelasnya.
Terkait ini, Toetiek juga menyampaikan bahwa sebagian besar pelaku perundungan adalah orang yang dulunya juga menerima perlakuan serupa.
“Premanisme itu juga termasuk bullying yang dilakukan orang dewasa,” jelas Toetiek.
Artikel terkait: Bila anak jadi korban bullying, ini 5 hal yang harus dilakukan orangtua
Cara orang tua mendidik anak agar tidak menjadi pelaku bullying
Kasus bullying bisa dikurangi dengan edukasi yang baik, terutama dimulai dari pendidikan dalam keluarga sejak dini. Gaya parenting sangat berpengaruh terhadap karakter anak.
“Jangan sampai orangtua sendiri yang menjadi pelaku bullying sendiri kepada anak-anaknya sendiri. Sehingga anak-anak terbiasa dengan hukuman fisik, hukuman verbal, yang juga merupakan perundungan. Yang kemudian hal itu dibawa anak sampai dewasa. Sehingga ketika si anak bertemu dengan orang yang tidak dia sukai, respons pertama yang ia lakukan adalah membullynya, karena ia punya kekuatan yang lebih besar atau kekuasaan yang lebih tinggi,” jelas Novita.
Seturut dengan Novita, Toetiek juga menyampaikan hal yang sama bahwa orangtua mengambil peran penting dalam edukasi melawan bullying tersebut.
“Di dalam pola asuh orangtua jangan sampai ada kekerasan sama sekali,” tegasnya.
Karena sedikit kekerasan akan direspons dan berdampak besar ke depannya. Kekerasan ini akan direkam dan membekas pada inner child anak, kata Toetiek.
“Inner Child atau rekaman masa kecil yang akan terus ada sampai dewasa. Jika masa kecil kita diisi kekerasan akan berpengaruh sampai dewasa,” jelasnya.
Cara selanjutnya adalah menanamkan afeksi atau kasih sayang dalam keluarga. Mungkin orangtua merasa tidak pernah memukul anak, namun pengabaikan kepada anak juga adalah bentuk kekerasan.
“Ketika afeksi seseorang terpenuhi, maka orang akan baik-baik saja,” kata Toetiek.
Respons dan sikap KPI Pusat terhadap kasus bullying karyawan KPI
Menyikapi kasus bullying karyan KPI ini, pihak KPI Pusat menyampaikan melalui rilisnya bahwa akan melakukan investigasi internal. Selain itu KPI Pusat juga akan melakukan hal-hal sebagai berikut:
- Turut prihatin dan tidak mentoleransi segala bentuk pelecehan seksual, perundungan atau bullying terhadap siapapun dan dalam bentuk apapun.
- Melakukan langkah-langkah investigasi internal, dengan meminta penjelasan kepada kedua belah pihak.
- Mendukung aparat penegak hukum untuk menindaklanjuti kasus tersebut sesuai ketentuan yang berlaku.
- Memberikan perlindungan, pendampingan hukum dan pemulihan secara psikologi terhadap korban.
- Menindak tegas pelaku apabila terbukti melakukan tindak kekerasan seksual dan perundungan (bullying) terhadap korban, sesuai hukum yang berlaku.
Baca juga:
Bunda, Ini Dia Perkembangan Cara Berpikir Cepat Si Kecil di Usia 1-3 Tahun
Anak Kurang Mendapat Kasih Sayang dari Ayah, Ini 3 Dampak Negatif yang Ditimbulkan!
Anaknya di-bully, ayah murka dan kasih pelajaran ke bocah 10 tahun hingga patah tulang
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.